Keramik Bandung Tembus Pasar Internasional, Kisah Perjuangan Elina Farida Eksan

Bagi Elina Farida Eksan, tanah liat bukan sekadar bahan mentah. Di tangannya, tanah liat merupakan medium untuk berkarya dan berinovasi.

Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Giri
Tribun Jabar/Putri Puspita Nilawati
PEMILIK Elina Keramik, Elina Farida Eksan, dengan latar belakang berbagai produk yang dihasilkan di Studio Elina Keramik, Jalan Taman Pramuka No 181, Bandung. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Bagi Elina Farida Eksan, tanah liat bukan sekadar bahan mentah. Di tangannya, tanah liat merupakan medium untuk berkarya, berinovasi, dan membuka peluang ekonomi kreatif. 

Melalui Elina Keramik yang ia dirikan pada 2001, lulusan Seni Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini berhasil mengubah kerajinan tradisional menjadi produk seni bernilai tinggi. Bahkan penjualannya menembus pasar internasional.

“Awalnya saya bikin studio seni, setelah itu berkembang jadi studio kriya, karena saya ingin membuat produk yang tak hanya indah, tapi juga punya nilai fungsi,” kata Elina saat ditemui di Studio Elina Keramik, Jalan Taman Pramuka No 181, Bandung, Rabu (12/11/2025).

Di Studio Elina Keramik, pengunjung tidak hanya bisa melihat hasil karya yang siap jual, tetapi juga bisa melihat bagaimana proses pembuatannya.

Di bagian depan studio, pengunjung bisa menemukan berbagai gelas, bros, dan aksesori lainnya yang terpajang rapi. Lalu di bagian belakangnya terdapat studio proses pembuatan keramik yang begitu nyaman dan sejuk dengan tanaman hijau di pekarangannya.

Beberapa keramik yang sudah selesai dibentuk tampak sedang dijemur di bawah sinar matahari. Sedangkan pegawai lainnya tampak fokus membentuk tanah liat untuk dijadikan produk yang dipesan dengan menggunakan meja putar atau pottery wheel.

“Sekarang sudah menggunakan pottery wheel dengan mesin sehingga prosesnya lebih cepat, tidak lagi manual,” ucap Elina.

Di balik setiap produk Elina Keramik, tersimpan proses panjang yang menuntut kesabaran. Bahan baku berupa stoneware berbentuk tepung dikirim dari Sukabumi, lalu direndam, disaring, dijemur, dan diolah hingga siap dibentuk.

“Setelah dibentuk, dijemur lagi sampai kadar airnya habis, baru dibakar di suhu 800 derajat. Setelah itu diberi glasir, lalu dibakar lagi di suhu 1.200 derajat,” papar Elina.

Proses ini bisa memakan waktu tiga hingga tujuh hari, tergantung cuaca dan ukuran produk. 

“Kalau hujan, pengeringannya lebih lama, enggak bisa langsung di-oven, karena harus kering alami dulu supaya enggak retak waktu dibakar,” ucap dia.

Untuk membuat gelas keramik, prosesnya bermula dari tanah liat padat berbentuk bulat yang siap dibentuk dengan meja putar. Supaya mudah dibentuk, tanah liat ini perlu dibilas air, tak ketinggalan bagian kaki kanan menginjak pedal secara perlahan.

Jemari perajin keramik pun begitu terampil mengubah tanah liat dari awalnya bulat, memanjang, hingga akhirnya melebar seperti cangkir.

Dengan ketekunan dan konsentrasi, perajin pun memoles bagian tanah liat yang masih kasar dengan spons berukuran kecil. Untuk proses pembentukan gelas ini kurang lebih 10 menit saja bisa selesai.

Dari sana, lahirlah beragam produk berbasis keramik, mulai dari aksesori fesyen seperti bros, hingga perlengkapan rumah tangga seperti cangkir dan hiasan dinding. 

Kini Elina Keramik juga merambah karya seni murni (artwork) yang lebih eksperimental.

Ketika memulai usahanya dua dekade lalu, Elina menghadapi tantangan besar, yaitu minimnya pemahaman masyarakat terhadap nilai seni dan fungsi keramik handmade. 

“Dulu orang tahunya keramik itu cuma pot. Jadi saya harus mengedukasi bahwa keramik juga bisa untuk fasyen atau tableware,” ujarnya.

Selain edukasi, tantangan lain datang dari harga. Produk keramik handmade tentu tidak bisa disamakan dengan produk pabrikan massal.

“Orang suka bandingkan harga. Misalnya satu set cangkir di pasaran bisa Rp 100 ribu dapat enam. Padahal kita buatnya satu-satu, warnanya racikan sendiri, dan bentuknya unik. Jadi kita harus jelaskan bahwa ini karya handmade,” ucapnya.

Meski awalnya hanya melayani pasar lokal, Elina perlahan menembus pasar internasional. Melalui berbagai pameran dan kompetisi desain, ia mulai dilirik pemerintah daerah dan kementerian untuk mengikuti pameran di luar negeri.

“Dari situ akhirnya ada pesanan dari luar negeri. Produk keramik ini telah dikirim ke Singapura, Malaysia, Thailand, Dubai, Amerika, hingga Eropa. Tahun lalu kita kirim cangkir kopi ke Belanda, tapi dipasarkannya di Paris,” ujarnya.

Namun pengiriman ke luar negeri tentu tidak mudah, mengingat sifat keramik yang rapuh. 

“Harus dibungkus satu-satu, berlapis, lalu dikirim pakai wooden pallet. Untungnya sejauh ini selalu sampai dengan aman,” tutur Elina.

Dari sekian banyak produk, cangkir dan aksesori menjadi yang paling diminati. 

“Cangkir kopi paling laris, ada juga mangkuk untuk membuat matcha yang sedang hits, banyak juga pesanan bros, magnet kulkas, dan souvenir tematik khas Bandung,” ujar Elina.

Selain estetik, produk-produk tersebut juga fungsional. Cangkir dari Elina Keramik, misalnya, punya daya tahan panas yang lebih lama dibanding gelas biasa. 

“Kalau dituang air panas, suhunya bisa tahan lebih lama, begitu juga kalau dingin,” katanya.

Dalam setiap produknya, Elina pun seringkali menggabungkan kekayaan Jawa Barat, misalnya saja gelas keramik dipadukan dengan bambu sebagai telinga atau pegangan cangkirnya.

Bagi Anda yang tertarik, bisa datang ke Elina Keramik yang buka setiap Senin-Sabtu pukul 08.00-16.00 WIB. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved