Harga Emas Masih 'On Fire', Ini Prediksi Tren-nya, Bakal Menanjak Naik?

Dalam jangka pendek, Rizaldy memperkirakan harga emas masih akan berada dalam tren naik

Penulis: Nappisah | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
EMAS - Pelayan toko memperlihatkan emas batangan kepada calon konsumen di Toko Emas Buana, Jalan Ahmad Yani, Kosambi, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/9/2025). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Harga emas terus menanjak tajam dalam beberapa pekan terakhir. 

Diketahui, harga emas menembus rekor baru di kisaran US$ 4.000 per ons pada Rabu (8/10/2025). 

Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus), Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, menilai momentum ini sebagai refleksi dari perubahan arah kebijakan moneter global dan meningkatnya permintaan aset aman (safe haven).

Kebijakan Moneter adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk memengaruhi kondisi ekonomi makro, terutama dengan cara mengatur jumlah uang yang beredar dan tingkat suku bunga dalam perekonomian.

Tujuan utamanya adalah untuk mencapai dan menjaga stabilitas ekonomi, yang salah satunya tercermin dari kestabilan harga.

“Emas sedang ‘on fire’. Kenaikan ini bukan kebetulan, tapi hasil dari kombinasi antara ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed dan meningkatnya ketidakpastian global,” ujar Rizaldy saat dihubungi Tribunjabar.id, Rabu (8/10/2025).

Baca juga: Harga Emas Hari Ini Rabu 8 Oktober 2025 Kian Meroket, Antam Jadi Rp2.399 Per Gram, Cek Galeri 24

Menurut Rizaldy, faktor paling kuat yang mendorong harga emas adalah ekspektasi penurunan suku bunga acuan AS. 

Suku Bunga Acuan adalah tingkat suku bunga dasar yang ditetapkan oleh Bank Sentral (di Indonesia adalah Bank Indonesia atau BI) dan berfungsi sebagai patokan bagi bank-bank dan lembaga keuangan lainnya di seluruh negeri dalam menentukan suku bunga untuk produk-produk mereka.

Pasar global kini memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam waktu dekat. 

Langkah tersebut membuat imbal hasil riil dari aset berbunga menurun, sehingga emas kembali menarik bagi investor.

“Ketika bunga turun, emas jadi lebih menarik karena biaya peluangnya lebih rendah. Ini yang membuat permintaan melonjak,” jelasnya.

Selain itu, pelemahan dolar AS turut memperkuat tren kenaikan emas. Karena emas diperdagangkan dalam dolar, pelemahan mata uang tersebut membuat harga emas tampak lebih tinggi bagi negara lain. 

Di Indonesia, kata dia, rupiah yang cenderung melemah ikut menambah daya dorong harga emas domestik.

Rizaldy menjelaskan, kondisi geopolitik yang belum stabil mulai dari ketegangan di Timur Tengah, konflik di Eropa Timur, hingga potensi krisis politik di AS menjadi pemicu meningkatnya permintaan emas sebagai aset lindung nilai.

“Setiap kali muncul ketegangan politik atau risiko resesi, investor mencari tempat aman. Emas selalu menjadi pilihan utama,” ujarnya.

Selain investor individu, lanjut dia, bank sentral dunia juga memperkuat posisinya di emas. 

Pembelian emas oleh sejumlah bank sentral besar mencerminkan upaya diversifikasi cadangan devisa dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Baca juga: Harga Emas Pecah Rekor, Minat Masyarakat terhadap Tabungan dan Cicil Emas Melonjak

Meski harga emas telah menembus rekor baru di kisaran US$ 4.000 per ons, Rizaldy menilai masih ada ruang bagi kenaikan lanjutan, terutama bila kondisi global tetap penuh tekanan.

“Skenarionya bisa naik lagi kalau The Fed betul-betul memangkas bunga, atau jika geopolitik makin panas. Tapi tentu ada batasnya pasar juga bisa melakukan koreksi ketika euforia terlalu tinggi,” katanya.

Dia menilai risiko koreksi tetap ada. Jika ekonomi AS menunjukkan data yang lebih kuat dari perkiraan dan The Fed menahan suku bunga lebih lama, harga emas bisa tertekan. 

Begitu pula jika dolar AS kembali menguat tajam atau terjadi aksi ambil untung (profit taking) besar-besaran setelah rekor baru.

Dalam jangka pendek, Rizaldy memperkirakan harga emas masih akan berada dalam tren naik, didorong oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga dan sentimen global yang belum stabil.

 Kendati demikian, dalam jangka menengah, ia memperkirakan harga akan bergerak stabil di level tinggi dengan potensi koreksi alami.

“Kalau melihat pola historis, setiap kali emas mencetak rekor, biasanya ada fase konsolidasi. Itu wajar, karena pasar butuh menyesuaikan diri,” ujarnya.

Data Trading Economics menunjukkan, setelah menembus level tertinggi sekitar US$ 4.000 per ons, model proyeksi menempatkan harga emas dalam 12 bulan ke depan di kisaran US$ 3.648 per ons sinyal bahwa potensi stabilisasi mulai terlihat.

Bagi investor ritel, Rizaldy mengingatkan pentingnya sikap rasional dan disiplin. 

Menurutnya, emas memang layak dipertahankan dalam portofolio investasi, namun bukan sebagai satu-satunya instrumen.

“Emas itu bagus untuk diversifikasi, tapi jangan taruh semua di sana. Gunakan strategi masuk bertahap dan tentukan target harga serta batas risiko,” tuturnya.

Baca juga: Harga Emas Terus Melonjak, Diprediksi Bisa Sentuh Rp 2,5 Juta Per Gram

Dia juga mengimbau investor agar tidak terjebak FOMO (fear of missing out) di tengah lonjakan harga. Pasalnya, banyak orang masuk ketika harga sudah tinggi karena takut ketinggalan. Padahal, bila tidak hati-hati, justru bisa terkoreksi. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved