Ada Sejak 1920, Ini Kisah Heroik Dibalik Bangunan Tua Gedung Pos Indonesia Cilaki

Gedung Pos Indonesia Cilaki atau Museum Pos Indonesia saksi bisu sebuah perjalanan kisah heroik

Editor: Siti Fatimah
Dok PosInd
GEDUNG POS CILAKI - Gedung Pos Cilaki, Saksi bisu perjalanan panjang Pos Indonesia yang didirikan pada 1931 dengan nama awal Museum PTT, keberadaannya sempat terlupakan akibat gejolak revolusi. Berkat inisiatif Direksi Perum Pos dan Giro, museum dihidupkan kembali dan diresmikan pada 27 September 1983 atau pada peringatan Hari Bhakti Postel ke-38. Seiring dengan perubahan status perusahaan, namanya akini bergeser menjadi Museum Pos Indonesia. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Jelang Hari Bhakti Postel ke-80 yang jatuh pada 27 September 2025, ingatan komunal ditarik lagi pada sebuah perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia.

Dalam konteks yang lebih khusus, utamanya dalam merebut kendali atas layanan komunikasi pos dan telekomunikasi dari tangan penjajah. 

Ingatan itu tak jauh.

Cukup dimulai dari Kantor Pos Indonesia. Ini bukan saja tentang sebuah bangunan yang berdiri kokoh lebih dari satu abad.

 Tapi lebih dari itu, tak cuma karena telah difungsikan secara konsisten sejak dibangun pada 1920 hingga kini.

Namun, ada sejarah besar di baliknya.

Baca juga: Bursa Filateli di Bandung di Museum Pos: Ruang Bertemu Para Kolektor 

Mengingatnya, setiap orang akan takjub betapa peruntukannya sedari awal gedung itu digunakan sebagai kantor Post Telephone dan Telegram, tak pernah bergeser. Ini tak terbantahkan.

Tetapi, nilainya makin besar karena di situlah tersimpan sejarah yang patut diungkap keheroikannya berulang-ulang.
Maka, tepat ketika peringatan Hari Bhakti Postel itu terulang pada tahun ini, tak salah jika Corporate Secretary Pos Indonesia Tata Sugiarta mengajak siapa saja menapak tilas sejarahnya, sekali lagi.

Mengingat kembali bahwa sejarah sangat penting dalam membuat masa lalu tetap bermakna dan dapat dilanggengkan.

“Sudah sepantasnya kita tak hanya wajib merawat gedung megah nan bersejarah itu, tetapi bagaimana menjaga Kantor Pusat Pos Indonesia itu tetap menjadi wahana terbaik bagi jajaran Direksi Pos Indonesia dan Sub Direktorat Keuangan serta Sumber Daya Manusia, terus berkarya bakti untuk Indonesia,” kata Tata dikutip dari keterangan resmi PosInd.

Catatan peristiwa bersejarah itu dapat ditengok jelas karena terabadikan dalam bentuk Tugu Peringatan Pahlawan PTT yang berdiri tepat di depan gedung kantor.

Tak hanya sebagai tetenger atau penanda. Setiap orang akan dibuat ingat dengan tanggal 27 September 1945. Ada apa?

Ketika sekelompok pemuda berani yang tergabung dalam Angkatan Muda Pos, Telegrap, dan Telepon (AMPTT) berjuang mempertahankan dan merebut gedung Pos Indonesia.

Pintu masuk menuju Museum Pos Indonesia di Jalan Cilaki No 73 Bandung pada Rabu (5/7/2017).
Pintu masuk menuju Museum Pos Indonesia di Jalan Cilaki No 73 Bandung pada Rabu (5/7/2017). (TRIBUNJABAR.CO.ID/PUTRI PUSPITA)

Sebuah simbol perkembangan komunikasi antardaerah di Indonesia kala itu.

Dituturkan Tata, sejarah itu dimulai dari sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Ketika semangat perjuangan untuk mengambil alih aset-aset vital dari pemerintahan Jepang menjalar ke berbagai sektor, termasuk Jawatan PTT. 

Pada 3 September 1945, sekelompok pemuda PTT yang dimotori oleh Soetoko, Slamet Soemari, dan beberapa nama lainnya mengadakan pertemuan.

 “Mereka sadar betul bahwa Jawatan PTT memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi dan menghubungkan seluruh wilayah Indonesia,” kata Tata.

Saat itu, Komandan Pasukan Jepang menginstruksikan bahwa penyerahan Kantor Pusat PTT harus diserahkan kepada Sekutu, bukan kepada bangsa Indonesia. Kondisi ini memicu kekhawatiran para pemuda PTT.

Tak tunduk menyerah begitu saja, mereka bertekad mengambil alih kantor pusat. Paling lambat akhir September 1945.

Koleksi prangko di Museum Pos Indonesia di sisi selatan komplek Gedung Sate
Koleksi prangko di Museum Pos Indonesia di sisi selatan komplek Gedung Sate (syarif pulloh anwari/tribun jabar)

Merespons instruksi Jepang, Soetoko, Ismojo, dan Slamet Soemari berkumpul pada 23 September 1945. Mereka menyusun strategi demi merebut kekuasaan PTT.

Keputusan penting diambil: meminta Mas Soeharto dan R. Dijar berunding dengan pihak Jepang. 

Tujuannya, agar penyerahan dilakukan secara damai. Jika perundingan gagal, mereka tidak ragu menempuh jalan kekerasan dengan bantuan dari rakyat yang siap berjuang bersama.

Keesokan hari, Soetoko mengutus Mas Soeharto dan R. Dijar menemui Tuan Osada, pimpinan PTT Jepang.

Tuntutannya tegas: serahkan pimpinan Jawatan PTT secara terhormat kepada bangsa Indonesia pada hari itu juga.

Sayang, perundingan menemui jalan buntu.

Pihak Jepang hanya mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih di halaman belakang gedung. 

Meski kecewa, para pemuda AMPTT melaksanakannya. Mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan khidmat di tiang khusus tepat di atas lokasi tugu. Untung, kegagalan negosiasi ini tidak lantas memadamkan semangat.

Sebaliknya, justru makin menguatkan tekad para pejuang dalam merebut Jawatan PTT dengan cara apa pun.

Untuk menyatukan kekuatan, pada 26 September 1945, AMPTT membentuk kepengurusan.

Pengunjung melihatlihat koleksi Mas Soeharto di Museum Pos Indonesia di Bandung, Jumat (18/10). INSET - Patung dada Mas Soeharto.
Pengunjung melihatlihat koleksi Mas Soeharto di Museum Pos Indonesia di Bandung, Jumat (18/10). INSET - Patung dada Mas Soeharto. (Tribun Jabar/Deni Denaswara)

Soetoko ditunjuk sebagai ketua. 

Menyadari pentingnya koordinasi yang efektif dalam perebutan kekuasaan, Soetoko dibantu tiga wakil, yaitu Nawawi Alif, Hasan Zein, dan Abdoel Djabar. 

Pada hari yang sama, anggota AMPTT disebar untuk mencari dan mengumpulkan segala peralatan serta senjata.

Dukungan dari berbagai pihak mengalir deras. Penduduk tua dan muda serta organisasi perjuangan lainnya yang berada di dekat Kantor Pusat PTT, menyatakan kesediaan untuk membantu.

Semangat kebersamaan ini menjadi fondasi yang kuat bagi perlawanan yang segera dilancarkan.

Hari yang dinanti itu tiba. Pada 27 September 1945, untuk kesekian kalinya, Mas Soeharto dan R. Dijar kembali berunding dengan pimpinan Jepang di Kantor Pusat PTT.

Hasilnya tetap sama, gagal. Pihak Jepang tidak mau menyerahkan kekuasaan begitu saja.

“Dari berbagai literatur menyebutkan, tekad AMPTT sudah bulat. Mereka memutuskan bahwa pada hari itu, kekuasaan atas Jawatan PTT harus direbut. Tidak peduli apa pun pengorbanan yang harus diberikan. Mereka segera menyiapkan persenjataan, mengerahkan rakyat, dan massa pun berkumpul di halaman selatan gedung,” jelas Tata.

Baca juga: Eksplorasi Gedung Pos Indonesia, Puluhan Pelajar Ikuti Workshop Fotografi

Pasukan AMPTT yang dipimpin Soewarno berhasil mengepung kantor dan memasuki ruangan yang dikuasai Jepang. Mereka membuat pihak Jepang tidak berdaya.

Akhirnya, para pimpinan Jepang dengan sukarela menyerahkan pedang mereka sebagai tanda menyerah.

Setelah penguasaan berhasil, sekitar pukul 11.00 WIB, Soetoko maju ke depan massa bersama Mas Soeharto dan R. Dijar.

Ia membacakan teks bersejarah yang berisi pernyataan pengangkatan Mas Soeharto sebagai Kepala Jawatan PTT dan R. Dijar ditunjuk sebagai wakil, atas nama seluruh pegawai PTT.

Setelah pembacaan pernyataan, beberapa pemuda di bawah pimpinan Soewondo menurunkan bendera Jepang.

Sebagai gantinya, mereka mengibarkan bendera Merah Putih di tiang yang sama.

Berkumandanglah lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi momen sakral itu. 

Demikianlah. Peristiwa itu menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa.

Tentang betapa heroiknya Jawatan PTT berhasil direbut dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.

Kini, di gedung yang dirancang arsitek J. Herberg pada 27 Juli 1920 itu, terdapat museum.

Saksi bisu perjalanan panjang Pos Indonesia. 

Didirikan pada 1931 dengan nama awal Museum PTT, keberadaannya sempat terlupakan akibat gejolak revolusi.

Berkat inisiatif Direksi Perum Pos dan Giro, museum dihidupkan kembali dan diresmikan pada 27 September 1983 atau pada peringatan Hari Bhakti Postel ke-38.

Seiring dengan perubahan status perusahaan, namanya akini bergeser menjadi Museum Pos Indonesia.

Di situ, pengunjung dapat melihat berbagai koleksi bersejarah.

Mulai dari prangko dari berbagai negara, peralatan pos zaman dulu, hingga diorama yang menggambarkan perjalanan layanan pos di Indonesia.

”Semua koleksi ini merupakanbukti nyata bagaimana Jawatan PTT -kini menjadi PT Pos Indonesia- memiliki peran vital dalam membangun konektivitas dan persatuan bangsa hingga saat ini,” katanya.

Ditegaskan Tata, perjuangan yang digambarkan para pemuda AMPTT di gedung itu menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak hanya tentang Proklamasi.

Tetapi tentang pengambilalihan dan pengelolaan aset-aset vital oleh bangsa sendiri.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved