TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua anggota DPR RI, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Keduanya diduga memanipulasi penyaluran dana CSR dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang totalnya mencapai lebih dari Rp28 miliar.
Penetapan tersangka ini mengejutkan publik, terutama mengingat perjalanan hidup Satori yang inspiratif, dari seorang kuli bangunan hingga berhasil menjadi anggota parlemen. Satori, S.Pd.I., M.M. (lahir 25 Februari 1970) adalah politikus Indonesia yang menjabat sebagai anggota DPR-RI periode 2019–2024. Ia mewakili daerah pemilihan Jawa Barat VIII, yang meliputi Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kota Cirebon.
Jalan Panjang jadi Anggota DPR RI
Anggota DPR RI, H Satori, dari Dapil Jabar XIII meliputi Kota/Kabupaten Cirebon dan Indramayu, membagikan kisah inspiratifnya sebagai mantan kuli bangunan.
Dalam wawancara eksklusif di rumahnya di Desa Panongan, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon pada Jumat (5/1/2024), Satori menceritakan perjalanan hidupnya.
Baca juga: Jadi Tersangka KPK, Nasib Satori di Ujung Tanduk, Peta Politik Dapil Cirebon-Indramayu Berubah?
Dimulai dari masa kecil sebagai anak yatim hingga menjadi anggota parlemen.
Kisah Satori terbentuk saat ibunya, Marfuah, meninggal saat dia berusia 3 bulan.
Terlepas dari kehilangan tersebut, cinta dan kasih sayang dari ayahnya, Abdul Qodir, membentuk dasar kehidupannya bersama dua saudaranya, Saadah dan Oman.
"Saya tumbuh bersama Ayah, yang menjadi tumpuan kasih sayang."
"Kehilangan orangtua tunggal saat di SMP menjadi cobaan berat," ujar Satori, Jumat (5/1/2024).
Meski menghadapi kesedihan, Kang Satori, sapaan akrabnya, terus mengenang kedua orang tuanya dengan penuh rasa hormat.
"Orang tua saya adalah cahaya. Insha Allah, suatu saat kita bersama," ucapnya sambil menahan tangis.
Berkaca-kaca, Kang Satori mengekspresikan rasa kehilangan yang tak tergantikan.
"Mereka tak pernah meminta balas, semua demi kebahagiaan anak-anaknya," jelas politikus Partai NasDem itu.
Meskipun ditinggal kedua orang tuanya, tekad Satori untuk melanjutkan hidup tetap kuat.
Mulai dari menjadi karyawan harian pabrik dengan upah minim hingga bekerja sebagai kuli bangunan, ia menjalani perjalanan panjang untuk mewujudkan impian dan nasihat orang tuanya.
"Nasihat mereka (orang tua)membuat saya semangat, baik itu bekerja di pabrik, menjadi kuli bangunan, atau mengejar impian di dunia politik," katanya.
Dengan tekad bulat, Kang Satori berhasil melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon pada tahun 2007.
Ia meraih gelar sarjana pada 2011 dan melanjutkan ke jenjang S2 di Sekolah Tinggi Manajemen Jakarta hingga 2013.
Di masa kecilnya, Kang Satori juga berhasil lulus di berbagai tingkatan pendidikan, seperti di SDN 2 Panongan Palimanan tahun 1977-1983, SMP PGRI Palimanan tahun 1983-1986 dan SMAN 1 Palimanan tahun 1986-1989.
"Melanjutkan pendidikan bukan hanya untuk strata, tapi juga untuk meningkatkan pengetahuan. Impian menjadi anggota dewan terwujud," ujarnya.
Sekarang, suami Hj Rusmini yang kini menjabat sebagai Kepala Desa (Kades) atau Kuwu Desa Panongan hingga 2025 ini telah mencapai puncak karirnya sebagai anggota DPR RI, memberikan inspirasi kepada banyak orang melalui perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan.
"Berdirinya saya sekarang sebagai anggota parlemen dan kembali mencalonkan di Pileg 2024-2029 RI, tak lepas dari bekal saya yang memiliki pengalaman organisasi sejak sekolah jadi Ketua OSIS SMP dan SMA dan ikut atau belajar berorganisasi sejak dini," ucap ayah dari Rizki Fadillah dan Sahrul Faizin tersebut.
Tak hanya merintis di dunia pendidikan, Kang Satori juga sebelum menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024, ia lebih dulu menjadi anggota DPRD Kabupaten Cirebon tahun 2009-2014.
Lalu tahun 2014-2019, Kang Satori juga menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi hingga akhirnya akan kembali mencalonkan menjadi anggota DPR RI dari Partai NasDem nomor urut 1.
Terjerat Kasus Korupsi
Satori ditetapkan sebagai tersangka korupsi bersama rekannya, Heri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Keduanya diduga memanipulasi penyaluran dana CSR dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang totalnya mencapai lebih dari Rp28 miliar.
Modus Operandi: Manfaatkan Kewenangan Anggaran
Menurut konstruksi perkara yang dijelaskan KPK, peran Heri dan Satori dimulai saat mereka masuk dalam Panitia Kerja (Panja) Komisi XI.
Panja ini bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap Rencana Anggaran Tahunan BI dan OJK.
Dalam rapat-rapat tertutup Panja, disepakati bahwa BI dan OJK akan mengalokasikan dana program sosial kepada setiap anggota Komisi XI.
Kuotanya adalah sekitar 10 kegiatan per tahun dari BI dan 18 hingga 24 kegiatan per tahun dari OJK.
Penyaluran dana ini dilakukan melalui yayasan yang dikelola oleh masing-masing anggota dewan.
"Di sinilah peran sentral para tersangka. Mereka berada di dalam Panja yang menentukan persetujuan anggaran, sekaligus menjadi penerima manfaat dari 'kesepakatan' alokasi dana sosial tersebut," jelas Asep.
Peran Spesifik Heri Gunawan dan Satori
Setelah kesepakatan di tingkat pimpinan, Heri Gunawan dan Satori bergerak cepat untuk merealisasikan penerimaan dana tersebut.
Heri Gunawan (HG), anggota DPR Fraksi Gerindra, menurut KPK, memiliki peran sebagai berikut:
1. Mengorganisir Proposal: Menugaskan Tenaga Ahlinya untuk membuat dan mengajukan proposal permohonan dana ke BI dan OJK.
2. Menggunakan 4 Yayasan: Mengelola 4 yayasan di bawah naungan "Rumah Aspirasi HG" sebagai kendaraan untuk menerima dana.
3. Menerima Total Rp15,86 Miliar: Dana tersebut berasal dari BI (Rp6,26 miliar), OJK (Rp7,64 miliar), dan mitra kerja Komisi XI lainnya (Rp1,94 miliar).
4. Mencuci Uang: Memindahkan uang dari rekening yayasan ke rekening pribadi, lalu memerintahkan anak buahnya membuka rekening penampung baru untuk menyamarkan jejak melalui setoran tunai. Dana hasil korupsi digunakan untuk membangun rumah makan, mengelola outlet minuman, serta membeli tanah, bangunan, dan mobil.
Sementara itu, Satori (ST), anggota DPR Fraksi Nasdem, menjalankan peran serupa dengan strategi yang sedikit berbeda:
1. Melibatkan Orang Kepercayaan: Menugaskan orang kepercayaannya untuk mengurus pengajuan proposal.
2. Menggunakan 8 Yayasan: Mengelola 8 yayasan di bawah "Rumah Aspirasi ST" untuk menampung aliran dana.
3. Menerima Total Rp12,52 Miliar: Dengan rincian dari BI (Rp6,30 miliar), OJK (Rp5,14 miliar), dan mitra lain (Rp1,04 miliar).
4. Mencuci Uang dan Merekayasa Transaksi: Menggunakan uang untuk deposito, membeli tanah, membangun showroom, dan membeli kendaraan. Tersangka Satori juga diduga merekayasa transaksi dengan bank daerah untuk menyamarkan penempatan deposito agar tidak terdeteksi di rekening koran.
KPK menegaskan bahwa kegiatan sosial yang diajukan dalam proposal-proposal tersebut fiktif dan tidak pernah dilaksanakan.
Kasus ini berpotensi melebar setelah Satori mengaku bahwa sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial serupa. KPK menyatakan akan terus mendalami informasi ini.
Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengenai gratifikasi, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).(*)
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto