Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6 persen bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.
“Itu artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini, karena jutaan individu bisa kehilangan sumber pendapatan,” katanya.
Agung pun kemudian menyinggung soal ekonomi gig yang merupakan sistem ekonomi di mana individu bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek, tugas, atau permintaan tertentu, tanpa adanya kontrak kerja tetap seperti dalam pekerjaan konvensional.
Pekerja dalam ekonomi gig yang dikenal sebagai pekerja gig, umumnya mengandalkan platform digital untuk mendapatkan pekerjaan, seperti aplikasi ride-hailing, marketplace jasa, atau platform freelance.
"Di Indonesia, mereka mencakup mitra pengemudi dan kurir, pekerja lepas seperti desainer dan penulis, teknisi dan penyedia jasa, kreator konten, instruktur online, serta pekerja di ekosistem marketplace,"
"Sehingga banyak pekerja gig dapat menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan komitmen lain, seperti pendidikan, pengasuhan anak, atau pekerjaan sampingan lainnya," ujarnya. (*)