Kisah Sukirwan dan Perahu Eretan di Kali Ciliwung Tarif Seikhlasnya Bertahan di Tengah Kota Jakarta

Meski sudah banyak transportasi yang lebih modern, jasa penyeberangan perahu eretan tetap setia bagi warga lokal yang ditarik tangan renta Sukirwan.

Editor: Hilda Rubiah
Tribunjakarta/Elga Hikari Putra
KISAH HIDUP: Sukirwan (80) penarik perahu eretan yang masih melayani penumpang di aliran Kali Ciliwung, tepatnya di perbatasan Tanah Abang dan Palmerah, tarif seiklhasnya. 

“Paling bersih dapat Rp 50 ribu. Banyak juga yang naik tapi nggak bayar, saya mah nggak apa-apa,” ucapnya ringan.

Sukirwan menjadi penarik perahu eretan secara bergantian dengan kerabatnya.

"Saya di sini kerja sebulan, terus sebulan nanti di kampung, gitu aja gantian tiap bulannya," ujar Sukirman yang berasal dari Brebes, Jawa Barat.

Selama berada di Jakarta, tak hanya bekerja, Sukirwan juga tidur di atas perahunya sendiri.

"Tidur ya di sini (perahu). Kalau mandinya di toilet umum," kata dia.

Untuk menghemat pengeluaran selama di Jakarta, ia membawa beras dari kampung.

"Beras saya bawa sekarung dari kampung. Nanti masaknya di magic com. Lauknya beli di warteg, kadang sayur, kadang pakai telur," ujarnya.

Hidup di aliran kali dan tidur di atas perahu, Sukirman mengaku banyak pengalaman yang dirasakannya.

Misalnya melihat mayat yang mengambang di aliran kali hingga merasakan saat Jakarta dilanda banjir besar di tahun 2002 dan 2007.

“Pas banjir 2002 sama 2007 saya di sini. Airnya tinggi banget. Seminggu itu gabisa narik karena kan banjirnya besar sekali,” kenang Sukirwan.

Baca juga: Viral Tangis Pilu Nenek Sarinem Perhiasan 40 Gram Dicuri Petugas Bansos Gadungan, Rugi Rp 32 Juta

Sementara itu, untuk daya tahan perahu, ia menyebut bisa kuat sampai 10 tahun. Sebab, ia menggunakan kayu damar laut yang disebutnya lebih tahan lama.

"Kalau perawatan paling di dempulin aja bagian bawahnya yang suka pada rembes," kata Sukirwan.

Bisa dibilang, perahu eretan Sukirwan bukan sekadar moda transportasi lawas.

Ia adalah simbol ketahanan tradisi di tengah modernisasi.

Di saat Jakarta berlari dengan MRT dan LRT, masih ada satu perahu kecil yang tetap bergerak dengan tenaga manusia dan hati nurani.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved