Tidak Ada Premium dan Medium, Klasifikasi Beras Akan Dihilangkan Setelah Kasus Oplosan

Pemerintah akan meniadakan jenis beras premium dan medium. Penyebabnya, ada kasus beras premium yang ternyata hasil pengoplosan.

Editor: Giri
Tribun Jabar/Dian Herdiansyah/arsip
BERAS - Beras medium yang dibeli konsumen di Pasar Sukabumi. Pemerintah akan menghilangkan klasifikasi beras antara premium dan medium. 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Pemerintah akan meniadakan jenis beras premium dan medium. Penyebabnya, ada kasus beras premium yang ternyata hasil pengoplosan.

"Beras nanti kita akan buat hanya satu jenis. Beras ya beras, sudah. Tidak lagi premium dan medium," kata Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Pemerintah, meski begitu, tak akan menghapus beras khusus dan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang harus mendapatkan izin pemerintah. Beras khusus itu seperti pandan wangi, beras ketan, dan beras basmati.

Zulhas menyebut beras adalah komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Selain itu, beras juga berkaitan dengan program prioritas utama Presiden Prabowo Subianto.

Penghilangan jenis beras ini dilakukan setelah ramai soal beras oplos, yaitu beras kualitas premium dicampur dengan beras medium, lalu dijual dengan harga beras premium.

Berdasarkan temuan terbaru, lebih dari 212 merek beras diduga melanggar standar mutu dan takaran.

"Ini total nilainya setelah kita kali jumlah beras yang beredar itu Rp 99 triliun," kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Baca juga: Waspada Beras Oplosan, Polisi Ambil Sampel Beras di Pasar dan Minimarket di Purwakarta

Amran meminta agar para produsen beras yang diduga melanggar aturan mulai mengoplos hingga mengurangi takaran agar cepat sadar.

Dia meminta agar pelaku-pelaku ini mengikuti regulasi yang ada dan tidak merugikan masyarakat.

Jika tidak, kata Amran, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Polri agar segera menindak para produsen curang ini sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Cara Membedakan

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengatakan, masyarakat bisa juga membedakan beras secara visual.

Sehingga, bisa mengetahui, apakah beras tersebut dioplos atau tidak.

“Kalau banyak butir patahnya, itu hampir pasti adalah jenis beras medium karena maksimal 25 persen butir patahnya. Tapi kalau butir utuhnya banyak, itu jenis beras premium," ujar Arief dikutip Jumat (18/7/2025).

"Tapi tak usah khawatir, masyarakat silakan belanja beras. Apalagi kalau berasnya ada brand-nya. Kalau ada brand, itu artinya silahkan dikoreksi kalau ada ketidaksesuaian," sambungnya.

Terkait adanya oplosan beras premium, Arief menjelaskan bahwa praktik tersebut memang ada berupa pencampuran butir patah dengan butir kepala.

Namun pencampuran tersebut harus sesuai standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah.

"Kalau beras itu pasti dicampur. Kenapa dicampur? Karena ada butir utuh dan butir patah. Nah kalau beras premium itu butir utuhnya dicampur dengan butir patah sampai 15 persen. Bukan dioplos dengan beras busuk terus diaduk. Ini karena kualitas adalah kualitas. Ini yang harus dijaga," kata Arief.

Terkait itu, kelas mutu beras premium telah diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.

Baca juga: Anggota DPRD Jabar Edukasi Beras Oplosan hingga Bagikan Sembako Murah di Parongpong Bandung Barat

Untuk beras premium harus memiliki kualitas antara lain memiliki butir patah maksimal 15 persen.

Sedangkan kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal 1 persen, butir gabah dan benda lain harus nihil.

Tidak jauh berbeda, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 beras premium non organik dan organik harus mempunyai komponen mutu antara lain butir patah maksimal 14,50 persen.

Lalu, butir kepala minimal 85,00 persen; butir menir maksimal 0,50 persen; butir merah/putih/hitam maksimal 0,50 persen; butir rusak maksimal 0,50 persen; butir kapur maksimal 0,50 persen; benda asing maksimal 0,01 persen, dan butir gabah maksimal 1,00 per 100 gram.

"Di beras, kita punya batas maksimal beras patah 15 persen. Apabila butir utuh tadi dicampur dengan 15 persen butir patah, itulah beras premium dan memang begitu standar mutunya. Jadi pencampuran beras tapi tidak melampaui standar mutu itu biasa dan lumrah," tambah Arief.

Tidak Diperbolehkan

Arief mempertegas praktik oplos yang tidak diperbolehkan dan mengandung delik pidana adalah jika menggunakan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).

Hal ini karena beras SPHP terdapat subsidi dari negara sebagai salah satu program intervensi perberasan ke pasaran.

"Kemudian, untuk beras subsidi pemerintah, itu yang tidak boleh dicampur atau dioplos. Beras SPHP dengan kemasan 5 kilogram harus menyasar langsung ke masyarakat dengan harga Rp 12.500 per kilogram (Zona 1). Itu tidak boleh dicampur, tidak boleh dibuka kemasannya untuk dicampur ke beras lain," kata Arief.

"Beras SPHP itu beras medium. Tapi memang beberapa waktu lalu kualitas sangat baik, karena broken-nya hanya 5 persen. Ini yang dimaksud Bapak Menteri Pertanian bahwa beras SPHP itu tidak boleh dioplos dengan beras lain," ujarnya.

"Untuk itu, saya sudah meminta Bapak Dirut Bulog untuk memastikan agar tidak terjadi praktik seperti itu. Outletnya sekarang harus jelas, terregistrasi secara digital," ucap Arief. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pemerintah Hapus Jenis Beras Usai Ramai Pengoplosan: Tak Ada Lagi Premium dan Medium

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved