Ekspor Jawa Barat Melambat, Ketegangan Global yang Tak Menentu Jadi Ancaman Serius
Kinerja ekspor Jawa Barat pada awal 2025 menunjukkan perlambatan yang cukup signifikan.
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Januar Pribadi Hamel
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Kinerja ekspor Jawa Barat pada awal 2025 menunjukkan perlambatan yang cukup signifikan.
Faktor global seperti ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif Amerika Serikat turut mempengaruhi tren penurunan ekspor daerah.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama Bank Indonesia terus menyusun langkah strategis untuk merespons kondisi ini.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Muslimin Anwar, menyebutkan bahwa perlambatan ekspor tak bisa dilepaskan dari situasi global yang semakin tidak menentu.
Ia menyoroti dua faktor utama yang menekan pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu negosiasi tarif resiprokal oleh Amerika Serikat dan konflik geopolitik di Timur Tengah, khususnya di Gaza.
“Dunia tidak baik-baik saja. Ketidakpastian perekonomian global masih tetap tinggi, walaupun agak sedikit merendah. Yang pertama adalah dinamika negosiasi tarif resiprokal yang terus jadi tantangan. Dan yang kedua adalah ketegangan di Timur Tengah yang terus eskalasi, menguncak dan meluas, tidak hanya di Gaza, tapi juga sudah merembet ke Yaman dan Iran,” ujar Muslimin secara virtual, Kamis (19/6/2025).
Ia menambahkan bahwa ketegangan di Gaza menjadi simbol dari ketidakpastian geopolitik yang membayangi stabilitas ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Kondisi ini, kata Muslimin berpengaruh besar pada jalur perdagangan dan keuangan global.
“Hal ini harus kita waspadai karena berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Negara-negara utama seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang hingga Tiongkok mengalami perlambatan. Padahal Tiongkok adalah mitra ekspor penting Jawa Barat,” jelasnya.
Muslimin mengungkapkan bahwa ekspor Jawa Barat pada triwulan pertama 2025 melambat, terutama di sektor industri pengolahan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, alas kaki, dan karet.
Ia menyebutkan industri-industri ini banyak terkonsentrasi di Bekasi, Karawang, dan Subang.
Meski begitu, ia menyampaikan optimisme terhadap perbaikan ekspor di triwulan kedua, seiring strategi front loading yang dilakukan eksportir untuk mengantisipasi kenaikan tarif di Amerika Serikat.
“Ekspor ke AS dipercepat sebelum tarif benar-benar diberlakukan. Kebijakan front loading ini mulai terlihat sejak penangguhan tarif diberlakukan pada April lalu,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, Nining Yulistiani, menambahkan bahwa ekspor Jawa Barat tahun 2024 mencapai 37 miliar dolar AS dengan surplus 26 miliar dolar AS.
Amerika Serikat menjadi negara tujuan ekspor terbesar, mencapai lebih dari 18 persen dari total ekspor.
Namun memasuki 2025, perlambatan mulai terasa karena pelaku industri cenderung menunggu (wait and see) terhadap kepastian tarif baru dari Amerika Serikat.
Ia menyebutkan, sektor tekstil menjadi salah satu yang paling terdampak.
“Sebelum ada kebijakan baru, tarif masuk produk tekstil kita berkisar 5–10%. Jika ditambah 10% lagi, bisa menjadi 15–20%, bahkan bisa mencapai 47% kalau kebijakan tarif penuh diberlakukan. Ini jelas menekan daya saing produk kita,” ujar Nining.
Nining menyoroti pentingnya strategi jangka panjang berbasis hilirisasi industri untuk memperkuat ketahanan ekspor.
Ia mencontohkan peluang besar Jawa Barat dalam industri kendaraan listrik (EV), meski tidak memiliki tambang nikel atau bauksit.
Menurutnya, Jawa Barat telah menjadi destinasi utama pertumbuhan industri EV, baik dari sisi produksi baterai maupun kendaraan.
“Keunggulan Jawa Barat adalah pada kesiapan ekosistem industri dan letak geografis yang strategis. Ini bisa menjadi modal besar untuk hilirisasi berbasis sumber daya lokal,” ucap Nining.
Ia juga menyinggung potensi ekspor produk agrikultur dan maritim seperti kopi, teh, kelapa, perikanan, dan garam yang belum tergarap maksimal.
Masalah utamanya adalah ketiadaan sistem rantai pasok yang terstruktur dan skala produksi yang masih kecil.
“Saat ada buyer tertarik kopi Priangan, mereka tanya bisa nggak suplai puluhan kontainer per bulan? Tapi tak satupun petani sanggup karena tidak ada sistem resi gudang dan koordinasi rantai pasok yang terbangun,” kata Nining. (*)
Artikel TribunJabar.id lainnya bisa disimak di GoogleNews.
IKUTI CHANNEL WhatsApp TribunJabar.id untuk mendapatkan berita-berita terkini via WA: KLIK DI SINI
Penurunan BI Rate, Bank Mandiri Fokus Dorong Kredit Produktif |
![]() |
---|
Bank Indonesia Resmikan QRIS Cross Border, Resmi Bisa Digunakan di Jepang |
![]() |
---|
Jayantara 2025 Dongkrak Eksistensi UMKM Priangan Timur & Angkat Potensi Lokal Menjadi Potensi Global |
![]() |
---|
BI Tasikmalaya Gelar Event Jayantara 2025, Hadirkan 93 UMKM Priangan Timur di Alun-Alun Dadaha Tasik |
![]() |
---|
Viral Foto Uang Baru 2025 Disebut-Sebut Diluncurkan BI, Asli atau Hoaks? Ini Faktanya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.