Hapus PR dari Sekolah, Dedi Mulyadi Contohkan Penggantinya: Bantu Cuci Piring, Ngepel, Masak

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mencontohkan sejumlah kegiatan yang bisa menjadi pengganti pekerjaan rumah (PR) yang dihapuskan.

Penulis: Rheina Sukmawati | Editor: Rheina Sukmawati
Tribunjabar.id/Eki Yulianto
TINJAU BENCANA LONGSOR - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi saat meninjau lokasi bencana longsor di kawasan Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Sabtu (31/5/2025). Terbaru, Dedi Mulyadi buka suara terkait kebijakan terbarunya yakni penghapusan PR dari sekolah. 

TRIBUNJABAR.ID - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mencontohkan sejumlah kegiatan yang bisa menjadi pengganti pekerjaan rumah (PR) yang dihapuskan.

Rencana penghapusan PR ini serta optimalisasi pembelajaran di sekolah ini akan berlangsung pada awal tahun ajaran baru 2025/2026.

Aturan tersebut dituangkan dalam surat edaran teknis yang ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, Purwanto sebagai tindak lanjut dari Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 81/PK.03/DISDIK tentang optimalisasi pembelajaran.

Menurut Dedi Mulyadi, rencana ini bertujuan menghentikan aktivitas sekolah menjadi dikerjakan di rumah.

"Penghapusan PR itu dimaknai sebagai upaya menghentikan kegiatan aktivitas rutin di sekolah yang dibawa ke rumah," kata Dedi Mulyadi dilansir dari Instagram pribadinya, Selasa (10/6/2025).

"Seluruh pembelajaran itu ada jawabannya di buku-bukunya, kemudian dipindahkan menjadi daftar isian," lanjut dia.

Politisi Gerindra ini menilai bahwa pemberian tugas kepada pelajar, baik individu maupun kelompok, bisa dioptimalkan saat jam pelajaran di sekolah.

Dedi Mulyadi pun mencontohkan sejumlah kegiatan pelajar di rumah, yang bisa lebih aktif mengeksplorasi minat dan bakatnya dengan pekerjaan produktif.

Baca juga: Sosok Paramitha, Bupati Brebes Disorot setelah Adnan Minta Tolong Dedi Mulyadi, Janji Tanggung Biaya

Pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa berhubungan dengan keluarga, alam, dan lingkungan sekitarnya.

"Misalnya, membantu orang tuanya mencuci piring, mengepel, memasak, menyetrika, kemudian membuat taman di rumah. Itu adalah pekerjaan rumah yang harus mendapat penilaian positif dari gurunya," tuturnya.

Selain itu, lanjut Dedi Mulyadi, pelajar yang memiliki minat di bidang kimia maupun fisika juga bisa menjernihkan air bekas mengepel di rumah dengan bahan-bahan kimia ramah lingkungan sehingga hasilnya bisa digunakan untuk keperluan lain.

"Nah, kemudian anak-anak berkelompok membuat keterampilan, misalnya berkelompok dalam les bahasa Inggris. Kemudian, mereka melakukan percakapan dalam bahasa Inggris dalam kelompok di rumahnya. Itu juga bagian dari pembelajaran sekolah PR," katanya. 

"Kemudian, berkarya bermusik dan melahirkan grup musik yang berkualitas untuk membuat karya-karya lagu," ucap Dedi.

Mantan Bupati Purwakarta itu menerangkan bahwa banyak hal lain yang bisa pelajar lakukan saat di rumah tanpa adanya beban PR tertulis dari setiap mata pelajaran.

Pria yang akrab disapa KDM itu juga meyakini, pendidikan terbaik adalah yang memberikan banyak pengalaman bagi pelajar, yang akan menjadi modalnya pada masa depan.

"Penghayatan hidup itu pada akhirnya membangun kenyataan hidup. Saya meyakini, orang yang sukses adalah orang yang banyak pengalaman hidupnya," tutur Dedi.

Respon Wamendikdasmen

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, menegaskan bahwa penghapusan PR sejatinya merupakan ranah pendidik, bukan sepenuhnya keputusan pemerintah daerah.

Menurut Atip, pemerintah daerah memang memiliki ruang untuk menyusun kebijakan pendidikan, tetapi harus tetap berpijak pada regulasi yang berlaku dan melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. 

Hal ini menjadi penting, mengingat pendidikan dasar dan menengah berada dalam kerangka kebijakan nasional yang telah diatur dalam undang-undang.

"Terkait kebijakan penghapusan pekerjaan rumah (PR) oleh Gubernur Jawa Barat, itu sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan pendidik," ujar Atip saat ditemui di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Senin (9/6/2025). 

"Pemerintah daerah memang bisa membuat kebijakan di bidang pendidikan, namun tetap harus mengacu pada peraturan yang berlaku," lanjut dia.

Baca juga: Respon Bupati Brebes Paramitha soal Adnan Minta Bantuan Dedi Mulyadi, Langsung Bawa Dispora

Ia menambahkan, kebijakan semacam ini juga harus dikomunikasikan dengan pemerintah pusat, karena menyangkut jenjang pendidikan yang menjadi tanggung jawab bersama antara pusat dan daerah.

Lebih lanjut, Atip menjelaskan bahwa keberadaan PR bukanlah hal yang bisa diputuskan secara seragam dari atas.

Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan konteks masing-masing sekolah, kebutuhan belajar siswa, dan gaya mengajar guru.

"Soal perlu atau tidaknya PR, itu sebenarnya sangat tergantung pada kondisi masing-masing satuan pendidikan," ujar Atip.

"Karena proses belajar di tiap sekolah bisa berbeda, maka guru sebagai pendidik yang paling memahami kebutuhan siswanya," imbuhnya.

Dengan demikian, menurut Atip, pemberian atau penghapusan PR sebaiknya tidak ditentukan melalui kebijakan tunggal yang bersifat umum, melainkan diserahkan kepada pertimbangan profesional guru dan manajemen sekolah.

Baca berita Tribunjabar.id lainnya di Google News.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved