Orang Purwakarta Ditembak KKB

Gajian 2 MInggu Lagi, Keinginan Rahmat Pulang ke Purwakarta Tercapai Tapi Dalam Kondisi Berbeda

Rencana Rahmat Hidayat (45) untuk pulang ke rumah dan menikmati waktu bersama keluarga tinggal harapan.

Penulis: Deanza Falevi | Editor: Kemal Setia Permana
Tribun Jabar/Deanza Falevi
MENANGIS - Ratna Nurlaelasari (43), istri dari Rahmat Hidayat, menangis. Rahmat menjadi korban penembakan KKB saat bekerja di Kampung Kwantapo, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (4/6/2025) pagi.  

TRIBUNJABAR.ID - Rencana Rahmat Hidayat (45) untuk pulang ke rumah dan menikmati waktu bersama keluarga tinggal harapan.

Padahal ia hanya tinggal menunggu sisa gaji dari proyek bangunan gereja yang dikerjakannya di Kampung Kwantapo, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Dua minggu lagi, seharusnya ia kembali ke keluarganya di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Namun, nasib berkata lain. Rabu (4/6/2025) pagi, istrinya, Ratna Nurlaelasari (43), menerima kabar memilukan. Suaminya telah tewas. 

Rahmat menjadi korban penembakan brutal oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menyerang kawasan tempat ia bekerja.

Baca juga: BREAKING NEWS, Dua Warga Purwakarta Jadi Korban Penembakan KKB di Papua

“Katanya suami ibu sudah meninggal, kena KKB,” 

“Itu mah bukan kecelakaan, bukan salah sasaran. Itu mah dibunuh, dibantai. Suami saya lagi kerja, bangun gereja di sana,"  cerita Ratna saat ditemui Tribunjabar.id di kediamannya, Rabu (4/6/2025).

Tidak hanya Rahmat yang tewas, keponakan Ratna, anak dari kakaknya, Saepudin (39), yang ikut bekerja di proyek yang sama, juga turut menjadi korban.

Rahmat telah bekerja di Papua selama hampir enam tahun secara bolak-balik. Namun dalam 18 bulan terakhir, ia belum sempat pulang. 

Ia bertahan demi menyelesaikan proyek dan menafkahi keluarganya. 

“Dia bilang, kerjaan tinggal sedikit lagi. Gaji tinggal nunggu sisa tunggakan, habis itu langsung pulang. Tapi sekarang yang pulang bukan orangnya, tapi jenazahnya,” ucap Ratna.

Baca juga: Meski Baru Gempa Kecil, Warga Cikole Mulai Khawatir Erupsi Tangkuban Perahu Terulang

Ratna mengatakan bahwa setiap hari Rahmat rutin berkomunikasi dengannya. Pagi, siang, dan malam mereka video call. Namun, malam sebelum kejadian, Ratna mengaku merasa firasat aneh.

“Mual, dada sakit, engga bisa tidur. Rasanya gelisah. Padahal malam itu kami masih video call, satu dua jam biasa becanda, cerita, katanya dia lagi tidur di rumah kepala desa karena situasi di sana lagi perang, takut diserang. Pagi saya tunggu kabar, engga ada. Saya telepon, malah orang lain yang angkat. Katanya suami saya sudah meninggal," ujar Ratna.

Kini, Ratna hanya ingin jenazah suami dan keponakannya segera dipulangkan. Ia berharap semua pihak, baik dari Papua maupun tempat tinggalnya, bisa membantu mempercepat proses pemulangan tanpa hambatan birokrasi.

“Katanya dari pihak paguyuban di sana juga minta dari sini bantu proses. Karena suami saya di sana engga ada keluarga, engga ada yang urus. Tolong dibantu. Saya mohon. Saya di sini nunggu pulang. Apapun kondisinya, saya terima. Yang penting pulang,” ujar Ratna.

Ia juga berharap ada keadilan atas peristiwa yang menimpa keluarganya, serta hak-hak almarhum seperti gaji terakhir bisa diberikan.

“Tolong sisa gaji suami saya dan keponakan saya dibayarkan. Itu buat hidup sehari-hari keluarga di sini, apalagi saya masih ada dua anak kecil yang masih sekolah," ujar Ratna. (*)
 

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved