Napas Bumi, Detak Kehidupan: Ketika 1.100 Anak Menggugah Kesadaran Lewat Panggung Kolosal

Acara ini mengajak ribuan penonton untuk tidak hanya menikmati keindahan artistik, tetapi juga merenungkan hubungan manusia dengan alam.

|
Penulis: Nappisah | Editor: Siti Fatimah
nappisah
PAGELARAN KOLOSAL - Sekolah Santo Aloysius Bandung mempersembahkan sebuah pagelaran kolosal bertajuk “Napas Bumi, Detak Kehidupan”, Rabu (28/5/2025). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG -  Di tengah sorot cahaya panggung dan gemuruh tepuk tangan yang merayakan keindahan gerak, irama, warna, dan rasa, Sekolah Santo Aloysius Bandung mempersembahkan sebuah pagelaran kolosal bertajuk “Napas Bumi, Detak Kehidupan”. 

Acara yang digelar selama dua hari, Selasa- Rabu (27-28 Mei 2025), bukan sekadar pertunjukan seni, acara ini menjadi ruang kontemplasi bersama, panggung spiritual yang menggugah kesadaran ekologis dalam balutan estetika.

Dr. Ir. Sherly Iliana, MM, Ketua Yayasan Mardiwijana Bandung - Satya Winaya, mengatakan, acara ini mengajak ribuan penonton untuk tidak hanya menikmati keindahan artistik, tetapi juga merenungkan hubungan manusia dengan alam.

“Ini adalah panggung tempat bumi bersuara dan kehidupan berdetak. Sebuah perjalanan menuju kesadaran baru tentang siapa kita dan untuk apa kita hidup di dunia ini," ujarnya saat konferensi pers, Rabu (28/5/2025). 

Dr. Ir. Sherly Iliana, MM, Ketua Yayasan Mardiwijana Bandung - Satya Winaya (tengah) saat konferensi pers, Rabu (28/5/2025)
Dr. Ir. Sherly Iliana, MM, Ketua Yayasan Mardiwijana Bandung - Satya Winaya (tengah) saat konferensi pers, Rabu (28/5/2025) ()

Pagelaran ini melibatkan 1.134 pemain, terdiri dari siswa-siswi jenjang TK, SD, SMP, dan SMA Santo Aloysius dari tiga lokasi sekolah (Sultan Agung-Trunojoyo, Sukajadi, Batununggal), bersama para guru yang berperan aktif sebagai pembimbing sekaligus seniman pendukung. 

Lebih dari lima bulan persiapan dijalani dengan penuh dedikasi, mulai dari latihan koreografi hingga perancangan kostum, semuanya digarap oleh tenaga internal sekolah mencerminkan semangat kolaborasi dan kreativitas kolektif.

Pagelaran ini digelar bertepatan dengan 10 tahun peringatan ensiklik Laudato Si’ dari Paus Fransiskus, yang dirilis pada 24 Mei 2015 dan kini menjadi seruan global akan pentingnya merawat bumi. 

Menurutnya, tahun 2025 ini menjadi titik reflektif, sebuah kesempatan untuk mengingat kembali pesan bahwa bumi adalah rumah bersama yang mesti dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Keselarasan ini juga tercermin dalam tema Pastoral Keuskupan Bandung tahun 2025, yakni “Sukacita Merawat Bumi”. 

Bagi Santo Aloysius, semangat ini menyatu dalam visi besar Aloysius 2030, arah strategis pendidikan yang diluncurkan sejak 2018 untuk membentuk generasi intelektual yang juga berakar pada kesadaran spiritual dan kepedulian ekologis.

“Aloysius 2030 berakar pada dua kata kunci yakni kesadaran dan kepedulian. Kesadaran akan jati diri manusia sebagai bagian dari ciptaan, dan kepedulian sebagai wujud nyata dari iman yang hidup.”

Sekolah Santo Aloysius memaknai pendidikan bukan hanya sebatas capaian akademis, melainkan proses pembentukan karakter yang peduli dan reflektif. 

Anak-anak diperkenalkan sejak dini kepada konsep-konsep keberlanjutan, kehidupan organik, serta gaya hidup yang bersahabat dengan alam.

Salah satu praktik konkret yang dijalankan adalah penggunaan Organik  NANO Enzyme (ONE) di lingkungan sekolah sebuah inovasi ekologis yang memperkuat ekosistem sekolah sebagai ruang hidup yang sehat dan berkelanjutan.

 “Melalui pendidikan yang berpusat pada nilai, refleksi, dan aksi nyata, kami berharap setiap anggota komunitas Santo Aloysius dapat tumbuh menjadi pribadi yang siap berkontribusi bagi dunia yang lebih adil, lebih lestari, dan penuh kasih,” lanjutnya. 

Pagelaran yang berdurasi lebih dari dua jam ini bukan hanya menyajikan koreografi yang megah, tapi juga menyelipkan pesan moral dan spiritual yang kuat. 

Lagu-lagu yang mengiringi gerak para penampil, narasi-narasi yang disuarakan, dan visual panggung yang sarat simbolisme ekologis membuat penonton larut dalam refleksi.

“Jika bumi bisa bicara, barangkali ia tak akan berteriak. Ia hanya akan berbisik lembut namun jelas ‘Rawatlah aku. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku rumah bagi hidupmu dan mereka yang belum lahir," jelasnya. 

Ajakan tersebut bukan hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga menggugah komitmen para orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk melanjutkan semangat cinta bumi dalam kehidupan sehari-hari.

 “Mari kita pulang bukan hanya dengan tepuk tangan, tapi dengan hati yang lebih sadar, komitmen yang lebih segar, dan langkah yang lebih bertanggung jawab untuk bumi dan generasi mendatang," ujarnya.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved