Liberation Day Tariffs Diberlakukan Pemerintah AS, UMKM Terancam Kehilangan Pasar Ekspor

Pemerintah Amerika Serikat resmi memberlakukan kebijakan tarif impor baru yang dikenal sebagai Liberation Day Tariffs.

Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
tribunjabar.id / Nappisah
UMKM - Foto ilustrasi UMKM yang memperlihat Diva Melati Sukma, pemilik Rumah Sandal Geulis, UMKM dari Kota Bandung dengan produk andalannya berupa alas kaki. Kenaikan bea masuk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 32 persen mengancam keberlangsungan UMKM Tanah Air. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pemerintah Amerika Serikat resmi memberlakukan kebijakan tarif impor baru yang dikenal sebagai Liberation Day Tariffs.

Melalui tarif baru ini, AS  menetapkan bea masuk dasar sebesar 10 persen untuk semua produk impor, dengan tambahan tarif hingga 54 persen bagi negara tertentu, termasuk Indonesia.

Kebijakan ini menjadi pukulan bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang selama ini menopang ekspor produk seperti tekstil, kerajinan tangan, dan makanan olahan.

Dosen Program Studi Manajemen Universitas Pendidikan Indonesia, Heny Hendrayati, menyebut dengan meningkatnya beban tarif, daya saing produk Indonesia di pasar global melemah, mengancam kelangsungan usaha UMKM yang bergantung pada rantai pasok ekspor. 

Baca juga: Jangan Tiru China, Pengamat Ekonomi Minta Indonesia Tidak Balas Kenaikan Tarif AS

"Jika tidak diantisipasi, dampak kebijakan ini dapat meluas hingga berkurangnya pendapatan, pemutusan hubungan kerja, dan lesunya sektor ekonomi domestik," ujar Heny Hendrayati saat dihuungi, Minggu (6/4/2025).

Heny mengatakan bahwa bagi banyak negara, kebijakan ini merupakan tantangan serius dalam menjaga kelangsungan perdagangan internasional. 

Namun bagi Indonesia, dampaknya terasa lebih dalam karena menyentuh sektor yang menopang kehidupan mayoritas masyarakat yaitu UMKM.

Meskipun ekspor Indonesia ke Amerika Serikat secara keseluruhan berada pada kisaran 9 persen dari total ekspor nasional, namun struktur produk yang dikirim sebagian besar berasal dari sektor-sektor yang melibatkan pelaku UMKM

"Produk tekstil, alas kaki, kerajinan tangan, furnitur, serta makanan dan minuman olahan adalah contoh komoditas yang banyak diproduksi oleh UMKM, baik secara langsung maupun sebagai bagian dari rantai pasok industri besar yang bergerak di bidang ekspor," kata Heny.

Dalam skema ini UMKM tidak selalu menjadi pelaku utama ekspor, tetapi menjadi penopang utama dari proses produksi yang lebih luas.

"Ketika Amerika Serikat mengenakan bea masuk tambahan terhadap barang asal Indonesia, daya saing produk Indonesia di pasar internasional menurun. Akibatnya, permintaan dari perusahaan eksportir menurun dan UMKM sebagai pemasok pun terdampak," tuturnya. 

Baca juga: Kebijakan Tarif Bea Masuk 32 Persen Ekspor Indonesia ke AS Potensi Memicu PHK Besar-besaran

Berkurangnya permintaan produksi menyebabkan penurunan pendapatan, risiko pengurangan tenaga kerja, bahkan ancaman penghentian usaha. 

Menurutnya hal ini menjadi sangat relevan mengingat UMKM di Indonesia masih menghadapi tantangan struktural seperti keterbatasan akses pembiayaan, rendahnya adopsi teknologi, serta minimnya penetrasi pasar global secara mandiri.

Heny menyebut, kebijakan tarif ini bisa menjadi pukulan berat bagi UMKM Indonesia yang selama ini sudah berjuang untuk masuk ke pasar global. 

"UMKM kita masih sangat bergantung pada perusahaan besar dalam rantai pasok ekspor. Ketika ada hambatan tarif seperti ini, dampaknya bisa sangat luas, dari hilangnya pesanan hingga penutupan usaha," ungkap Heny.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) per Maret 2021, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta unit usaha. 

Dari jumlah tersebut, baru sekitar 14,5 persen yang telah berhasil menembus pasar ekspor. Dengan demikian, sekitar 85,5 persen UMKM belum terlibat dalam kegiatan ekspor secara langsung. 

Ketergantungan pada perusahaan besar atau eksportir tunggal menjadikan mereka sangat rentan terhadap guncangan eksternal. 

"Ketika salah satu pasar utama seperti Amerika Serikat memberlakukan tarif tinggi, tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh pelaku ekspor skala besar, tetapi turut menekan para pelaku ekonomi di lapisan bawah," imbuhnya. 

Langkah yang Perlu Diambil Pemerintah

Dampak kebijakan ini juga berpotensi meluas ke sektor konsumsi domestik. Dengan menurunnya pendapatan rumah tangga pelaku UMKM, daya beli masyarakat pun dapat terganggu. 

Mengingat kontribusi UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai lebih dari 97 persen (Data Kemenkop 2021), maka potensi gejolak sosial ekonomi tidak bisa diabaikan. Perlambatan pada sektor ini akan menciptakan efek berantai terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

"Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah yang terukur dan tidak semata mengandalkan pendekatan diplomasi perdagangan. Upaya pelobi ke pemerintah Amerika Serikat untuk memperoleh keringanan tarif atau pengecualian produk tertentu memang tetap penting dilakukan," ucapnya. 

Kendati demikian, hal tersebut perlu dilengkapi dengan penguatan ekonomi dalam negeri agar posisi Indonesia dalam perundingan dagang menjadi lebih kokoh dan kredibel.

"Di tingkat makro, penguatan lembaga pembiayaan ekspor seperti LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) harus didorong untuk memberikan fasilitas pembiayaan khusus bagi UMKM yang memiliki potensi ekspor," ujarnya. 

Baca juga: Sinisnya Media Vietnam, Berandai-andai Timnas Indonesia U17 Tak Lolos Piala Dunia Meski Menang 100-0

Oleh karena itu, pemerintah dapat mengalokasikan dana bergulir atau skema penjaminan kredit ekspor untuk memitigasi risiko yang dihadapi pelaku usaha kecil. 

"Penguatan infrastruktur logistik juga menjadi keharusan. Akses ke pelabuhan ekspor, kemudahan dokumen bea cukai, serta pemangkasan waktu pengiriman dapat menurunkan ongkos logistik yang selama ini menjadi kendala utama UMKM dalam menjangkau pasar luar negeri," jelas Heny. 

Selain itu, pengembangan pusat-pusat produksi berbasis kawasan, seperti export-oriented cluster yang terintegrasi dengan pelabuhan atau kawasan industri, dapat menjadi solusi jangka menengah untuk meningkatkan efisiensi produksi dan konsolidasi produk ekspor UMKM

"Pemerintah juga dapat mengarahkan kebijakan fiskal untuk memberikan insentif pajak bagi perusahaan besar yang membina dan menyerap produk UMKM sebagai bagian dari rantai pasok ekspor mereka," tuturnya. 

Di tingkat mikro, pelaku UMKM perlu diberikan pendampingan intensif agar dapat memenuhi standar mutu dan sertifikasi internasional. Pendampingan tidak hanya mencakup pelatihan teknis, tetapi juga literasi perdagangan internasional, manajemen risiko, dan strategi pemasaran digital lintas batas. 

Dia menilai, platform digital harus dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku UMKM untuk menjangkau konsumen global secara langsung. Untuk itu, dukungan dalam bentuk pelatihan, promosi lintas platform, dan subsidi ongkos kirim internasional akan sangat berarti.

"Diversifikasi pasar ekspor juga menjadi strategi penting yang harus digarap secara sistematis," katanya. 

Menurutnya, pemerintah dapat memperluas misi dagang ke negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan yang pertumbuhan ekonominya menjanjikan. 

"Kerja sama perdagangan dalam kerangka ASEAN, RCEP, maupun perjanjian bilateral harus difungsikan secara nyata untuk membuka ruang baru bagi produk UMKM yang selama ini terlalu bergantung pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat," ujarnya. 

Heny menuturkan, dalam dinamika global yang penuh ketidakpastian, ketahanan ekonomi suatu negara tidak hanya dibangun melalui kebijakan makro atau hubungan internasional, tetapi juga dari ketangguhan pelaku ekonomi di tingkat mikro. 

"UMKM adalah fondasi ekonomi nasional. Maka, setiap perubahan kebijakan di tingkat globaltermasuk perang tarif harus segera dijawab dengan kebijakan domestik yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan sektor ini," katanya. 

Dia menambahkan, di tengah tantangan, inilah momen bagi Indonesia untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi dari bawah, dan menjadikan UMKM sebagai poros pemulihan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved