Liberation Day Tariffs Diberlakukan Pemerintah AS, UMKM Terancam Kehilangan Pasar Ekspor
Pemerintah Amerika Serikat resmi memberlakukan kebijakan tarif impor baru yang dikenal sebagai Liberation Day Tariffs.
Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pemerintah Amerika Serikat resmi memberlakukan kebijakan tarif impor baru yang dikenal sebagai Liberation Day Tariffs.
Melalui tarif baru ini, AS menetapkan bea masuk dasar sebesar 10 persen untuk semua produk impor, dengan tambahan tarif hingga 54 persen bagi negara tertentu, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini menjadi pukulan bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang selama ini menopang ekspor produk seperti tekstil, kerajinan tangan, dan makanan olahan.
Dosen Program Studi Manajemen Universitas Pendidikan Indonesia, Heny Hendrayati, menyebut dengan meningkatnya beban tarif, daya saing produk Indonesia di pasar global melemah, mengancam kelangsungan usaha UMKM yang bergantung pada rantai pasok ekspor.
Baca juga: Jangan Tiru China, Pengamat Ekonomi Minta Indonesia Tidak Balas Kenaikan Tarif AS
"Jika tidak diantisipasi, dampak kebijakan ini dapat meluas hingga berkurangnya pendapatan, pemutusan hubungan kerja, dan lesunya sektor ekonomi domestik," ujar Heny Hendrayati saat dihuungi, Minggu (6/4/2025).
Heny mengatakan bahwa bagi banyak negara, kebijakan ini merupakan tantangan serius dalam menjaga kelangsungan perdagangan internasional.
Namun bagi Indonesia, dampaknya terasa lebih dalam karena menyentuh sektor yang menopang kehidupan mayoritas masyarakat yaitu UMKM.
Meskipun ekspor Indonesia ke Amerika Serikat secara keseluruhan berada pada kisaran 9 persen dari total ekspor nasional, namun struktur produk yang dikirim sebagian besar berasal dari sektor-sektor yang melibatkan pelaku UMKM.
"Produk tekstil, alas kaki, kerajinan tangan, furnitur, serta makanan dan minuman olahan adalah contoh komoditas yang banyak diproduksi oleh UMKM, baik secara langsung maupun sebagai bagian dari rantai pasok industri besar yang bergerak di bidang ekspor," kata Heny.
Dalam skema ini UMKM tidak selalu menjadi pelaku utama ekspor, tetapi menjadi penopang utama dari proses produksi yang lebih luas.
"Ketika Amerika Serikat mengenakan bea masuk tambahan terhadap barang asal Indonesia, daya saing produk Indonesia di pasar internasional menurun. Akibatnya, permintaan dari perusahaan eksportir menurun dan UMKM sebagai pemasok pun terdampak," tuturnya.
Baca juga: Kebijakan Tarif Bea Masuk 32 Persen Ekspor Indonesia ke AS Potensi Memicu PHK Besar-besaran
Berkurangnya permintaan produksi menyebabkan penurunan pendapatan, risiko pengurangan tenaga kerja, bahkan ancaman penghentian usaha.
Menurutnya hal ini menjadi sangat relevan mengingat UMKM di Indonesia masih menghadapi tantangan struktural seperti keterbatasan akses pembiayaan, rendahnya adopsi teknologi, serta minimnya penetrasi pasar global secara mandiri.
Heny menyebut, kebijakan tarif ini bisa menjadi pukulan berat bagi UMKM Indonesia yang selama ini sudah berjuang untuk masuk ke pasar global.
PR Berat Kota Bandung di Momen Hari Jadi ke-215: Angka Pengangguran Tinggi |
![]() |
---|
UMKM Binaan BI, Bechips Lepas Ekspor Mandiri ke Jepang, Nilainya Capai 14.851 USD |
![]() |
---|
Mesin Rebus Air Otomatis Karya Dosen Unigal Dorong UMKM Kertasari |
![]() |
---|
Kemenkum Jabar Siap Hadirkan Layanan KI Terpadu untuk UMKM & Industri Kreatif Bandung |
![]() |
---|
Sosialisasi Kredit Program Perumahan untuk UMKM di Bandung |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.