Soal Dugaan Pengoplosan Pertalite jadi Pertamax, HLKI Sebut Masyarakat Bisa Menuntut

Pengoplosan Pertamax menjadi bahan bakar yang dijual seolah-olah original, namun sudah tercampur dengan bahan bakar lain, adalah bentuk pembohongan.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
tribunjabar.id / Rahmat Kurniawan / Arsip
SIDAK - Polres Cimahi melakukan Sidak ketersediaan BBM di SPBU Cibabat untuk bulan Ramadan sekaligus pengawasan terhadap isu Pertamax oplosan, Kamis (27/2/2025) 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) wilayah Jabar, Banten, dan DKI Jakarta, Firman Tumantara, mengatakan kasus dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax merugikan konsumen dan menipu publik. 

Firman menilai bahwa tindakan ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun 1999.

Menurut Firman, pengoplosan Pertamax menjadi bahan bakar yang dijual seolah-olah original, namun sebenarnya sudah tercampur dengan bahan bakar lain, adalah bentuk pembohongan publik yang serius. 

"Dampaknya jelas terasa bagi konsumen, terutama bagi mereka yang mengandalkan kualitas bahan bakar yang sesuai dengan spesifikasi kendaraan mereka," ujarnya, kepada Tribunjabar.id, Rabu (26/2/2025). 

Dia menuturkan, konsumen tidak dapat memverifikasi apakah bahan bakar yang mereka beli sesuai standar, karena tidak ada mekanisme pengujian langsung yang dapat dilakukan oleh konsumen di SPBU.

“Ini jelas melanggar pasal 8 ayat 1 huruf A dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan produk yang dijual untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan,” ucap Firman. 

Dosen Universitas Pasundan ini menegaskan bahwa perusahaan yang terlibat, dalam hal ini Pertamina, harus bertanggung jawab. 

Bahkan, kasus tersebut bisa ditindak secara hukum pidana, perdata, maupun administratif.

Firman juga mengingatkan bahwa meskipun saat ini hanya ada satu tersangka yang ditetapkan, yaitu pejabat Pertamina, ia meyakini bahwa pengoplosan ini tidak dilakukan oleh satu orang saja. 

“Saya yakin ini adalah kelompok yang terorganisir. Tidak mungkin seluruh Pertamina di Indonesia terlibat dalam satu tindakan yang dilakukan oleh satu orang,” tambahnya.

Firman menyatakan bahwa selain dugaan pelanggaran hukum yang lebih berat, seperti penipuan yang melibatkan Pasal 378 KUHP, pelaku juga bisa dikenakan sanksi administratif, termasuk pencabutan izin operasional. 

Hal ini berlaku bukan hanya untuk individu yang terlibat langsung, tetapi juga bagi pimpinan Pertamina yang bertanggung jawab dalam pengawasan operasional.

Lebih lanjut, pengawasan terhadap kualitas produk sangat lemah, baik dari pemerintah maupun instansi terkait. 

Firman menyebutkan bahwa pengawasan ini diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengharuskan pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha, termasuk BUMN seperti Pertamina.

“Kurangnya pengawasan ini bisa dianggap sebagai pembiaran, yang memungkinkan terjadinya kecurangan seperti ini,” ujarnya.

Dalam hal ini, Firman mendorong agar konsumen dapat mengajukan tuntutan ganti rugi apabila terbukti bahwa bahan bakar yang digunakan telah merusak kendaraan mereka. 

“Konsumen bisa mengajukan ganti rugi, baik terkait harga yang seharusnya dibayar untuk Pertamax asli, maupun kerugian yang timbul akibat penggunaan bahan bakar oplosan yang merusak komponen kendaraan,” ujarnya. 

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved