Menyusuri Paraga Stone Tasikmalaya Bendungan Mangkrak Buatan Sangkuriang, Awal Mula Tangkuban Perahu

folklore yang beredar di masyarakat lokal, bahwa Paraga Stone merupakan bendungan yang dibuat oleh Sangkuriang namun mangkrak.

Penulis: Aldi M Perdana | Editor: Ravianto
Tribun Jabar/ Aldi M Perdana
Salah satu spot menarik di kawasan wisata Paraga Stone yang menawarkan keindahan struktur batuan unik di bantaran Sungai Cimedang. 

TRIBUNJABAR.ID, TASIKMALAYA - Berjarak tempuh sekira 41 kilometer dari Kota Tasikmalaya ke arah tenggara, sebuah lokasi menarik bernama Paraga Stone menjadi spot wisata yang menawarkan keindahan struktur batuan unik di bantaran Sungai Medang.

Paraga Stone sendiri tepatnya berlokasi di Kampung Bangbayang, Desa Karyamandala, Kecamatan Salopa, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Susunan batu di sana seolah tampak saling bertumpuk pada kedua sisi bantaran Sungai Medang.

Lokasi wisata Situs Cagar Budaya Gunung Padang
Lokasi wisata Situs Cagar Budaya Gunung Padang (Tribun Jabar/ Ferri Amiril Mukminin)

Pegiat Geowisata, Deni Sugandi mengatakan, batuan Paraga Stone ini sama dengan batuan yang berada di Gunung Padang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya.

"Batuan tersebut disebutnya Kekar Kolom atau Columnar Joint. Struktur batuan seperti itu tidak hanya ada di Kecamatan Salopa, Kabupaten Tasikmalaya saja."

"Batuan yang berada di Gunung Padang Cianjur pun sama-sama Kekar Kolom," ucapnya kepada TribunPriangan.com melalui sambungan telepon.

Begitu pula Batu Korsi yang berlokasi di Bungbulang, Kabupaten Garut, Jawa Barat yang memiliki struktur batu Kekar Kolom.

"Yang menariknya, apakah nenek moyang kita dari zaman megalitik, masuk ke Hindu-Buddha, apakah menggunakan batu-batu tersebut, ditata menjadi tempat peribadatan?" ucap Deni.

"Itu menarik, karena contohnya di Gunung Padang, para ahli antropologi dan arkeologi sudah sepakat, bahwa itu memang hasil kegiatan manusia. Batuannya dari Kekar Kolom, kemudian ditata menjadi punden berundak (red: bangunan pemujaan yang berasal dari masa megalitikum dan ditemukan di Indonesia dan Pasifik)," lanjutnya.

Lantas, tambah Deni, apakah Paraga Stone di Kecamatan Salopa, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini menggunakan batuan Kekar Kolom sebagai alat untuk kebutuhan pemujaan?

"Nah, itu yang belum ditemukan di wilayah dekat Paraga Stone ini. Biasanya ditata atau diangkut, bisa jadi. Pembangunan tempat pemujaan zaman nenek moyang kita dulu, kurang lebih posisinya Kekar Kolom itu sama seperti yang di Sungai Medang (Paraga Stone)," jelasnya.

Menurut Deni, oleh nenek moyang kita sejak zaman megalitik, batuan Kekar Kolom itu dicongkel, ditatah, atau diambil, kemudian diangkut untuk ditata menjadi Situs Pemujaan.

"Karena satu batu Kekar Kolom itu beratnya sampai hitungan ton, saat ini belum terungkap, teknologi apa yang digunakan nenek moyang kita untuk mengangkut kekar kolom yang beratnya bisa sampai 1 ton? 'Kan tidak mungkin digotong ya, pasti membutuhkan alat-alat khusus. Nah, sampai sekarang itu, penataan di Gunung Padang pun belum terjawab," terangnya.

Bisa jadi, tambah Deni, di daerah Sungai Medang ini, salah satunya di area Paraga Stone yang berlokasi di Kampung Bangbayang, Desa Karyamandala, Kecamatan Salopa, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terdapat Situs Pemujaan seperti di Gunung Padang Cianjur.

"Barangkali di sana (red: Paraga Stone) belum ditemukan situs yang oleh masyarakat masa lalu digunakan untuk tempat pemujaan dan terdiri dari batuan Kekar Kolom ini," paparnya.

Kekar kolom sendiri, lanjut Deni, terbentuk dari magma yang bersifat cair dan berada di dalam perut bumi.

Kemudian seiring waktu, melalui mekanisme kegiatan letusan gunung api, setelah gunung api tersebut meletus besar, letusan keduanya merupakan letusan efusif atau proses letusan berupa lelehan lava yang dikeluarkan lewat retakan pada badan gunung api dan mengalir.

"Magma yang keluar dari perut bumi itu disebut lava. Nah, dari lava itulah yang membentuk Kekar Kolom seperti di Paraga Stone ini," ucapnya.

"Jadi, ditafsir, di sekitar daerah Salopa zaman dahulu, tepatnya di zaman oligo-miosen, ada sebuah gunung api yang umurnya tua, antara 30-20 juta tahun yang lalu. Bahkan, gunungnya sendiri sudah tidak tampak lagi. Nah, saat itu, bagian pulau Jawa Barat bagian Selatan masih berada di bawah permukaan laut," lanjut Deni.

Pada zaman oligo-miosen tersebut, di sebagian besar Jawa Barat sebelah Selatan terdapat jajaran pegunungan, yang oleh para peneliti dinamai sebagai Jajaran Gunung Api Selatan.

"Itu mulai dari Ciletuh, Sukabumi sampai ke Nusakambangan. Jadi, kalau kita melewati Rancabuaya, Karang Tawulan, sampai ke Pangandaran, kita bisa menemukan batuan dari sisa kegiatan gunung api yang umurnya sekitar 30-20 juta tahun yang lalu," jelasnya.

Menurut Deni, bentuk batuan Kekar Kolom di Paraga Stone sendiri menuai cerita rakyat Sangkuriang.

"Di sana itu ada cerita rakyat, karena bentuknya seperti struktur bangunan, jadi masyarakat setempat (secara turun-temurun) menafsirkan, bahwa dulu Sangkuriang hendak membuat bendungan. Nah dibendungnya tuh di lokasi Paraga Stone itu," terangnya.

Terkait arti kata Paraga sendiri, melalui penelusuran Deni, terdapat 2 pengertian.

"Pertama, bahwa Paraga artinya pelakon atau lakon atau pemain utama kalau dalam cerita atau dalam dongeng. Itu diambil dari Bahasa Jawa," ucapnya.

"Kedua, saya belum tahu, barangkali di lokal itu ada artian tersendiri, karena dalam Bahasa Sunda itu ada artikel 'Pa-'. Nah, apakah kata dasarnya itu dari 'Raga' yang artinya tubuh. Jika dari situ, asumsi saya, bisa diartikan Paraga itu adalah pembuat tubuh atau apa, tapi saya juga belum tahu ya," pungkasnya.

Terpisah, salah satu warga setempat, Anung (45) mengatakan, folklore yang beredar di masyarakat lokal, bahwa Paraga Stone merupakan bendungan yang dibuat oleh Sangkuriang namun mangkrak.

Salah satu spot menarik di kawasan wisata Paraga Stone yang menawarkan keindahan struktur batuan unik di bantaran Sungai Cimedang.
Salah satu spot menarik di kawasan wisata Paraga Stone yang menawarkan keindahan struktur batuan unik di bantaran Sungai Cimedang. (Tribun Jabar/ Aldi M Perdana)

"Awalnya itu 'kan Sangkuriang diminta untuk membuat perahu sama danau oleh Dayang Sumbi sebagai syarat supaya bisa menikahinya," tuturnya mulai mejelaskan saat ditemui oleh TribunPriangan.com di lokasi, Rabu (14/8/2024).

Akan tetapi, Dayang Sumbi mengetahui, bahwa Sangkuriang merupakan anaknya yang bertahun-tahun lalu pernah melarikan diri dari rumah.

Saat itu, karena Sangkuriang kecil secara tidak sengaja membunuh bapaknya sendiri, maka Dayang Sumbi memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi hingga meninggalkan luka di kepalanya.

"Karena sama Dayang Sumbi ketahuan ada luka yang sama (dengan luka yang dimiliki anaknya dulu), 'kan jadi ketahuan, kalau Sangkuriang itu anaknya yang sudah tumbuh besar," terang Anung.

Dengan demikian, Dayang Sumbi bersiasat untuk membuat syarat pinangan yang tidak mungkin bisa dilakukan Sangkuriang, yakni membuatkan perahu dan danau hanya dalam waktu satu malam.

"Nah, karena untuk membuat danau itu 'kan perlu membendung sungai, terus berhubung Sangkuriang tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu, jadi perahunya ditendang jadi Tangkuban Parahu, nah, bendungannya yang belum jadi itu ya Paraga Stone ini," tutur Anung berkisah.

Menurutnya, kisah terkait pembangunan bendungan Sangkuriang yang mangkrak itu diceritakan secara turun-temurun di sana.

Sedang hal tersebut pun dibenarkan oleh beberapa orang yang ditemui TribunPriangan.com di sekitar lokasi.

"Memang ya begitulah mitosnya di sini mah. Pernah sih, ada beberapa mahasiswa dari Bandung penelitian ke sini, tapi saya enggak tahu dari kampus mana," pungkasnya. (*)

Laporan Jurnalis TribunPriangan.com, Aldi M Perdana

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved