Kritikan Pedas Dewan Guru Besar UI Sebut DPR Khianati Konstitusi, Indonesia Bahaya Otoritarianisme
Memanasnya konflik politik soal putusan MK dan DPR yang sedang ramai terjadi turut mengundang kecaman dari Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
Apa daya, putusan itu menegaskan bahwa titik hitung usia minimal calon kepala daerah 30 tahun harus diambil sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.
Ini merugikan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang telah memperoleh lampu hijau dari KIM untuk maju sebagai cawagub Jawa Tengah bersama pensiunan polisi Ahmad Luthfi.
Pasalnya, jika menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.
KIM yang kini ditopang juga oleh Partai Nasdem, PKS, PKB, dan PPP akhirnya mengangkangi putusan MK dan mengakomodasi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam revisi syarat usia calon pada UU Pilkada.
Dengan putusan MA, Kaesang legal untuk maju pilkada karena usia calon dihitung sejak tanggal pelantikan kepala daerah terpilih yang hampir pasti dilakukan pada 2025, usai ulang tahunnya ke-30 pada 25 Desember 2024.
Ini ironis karena secara hirarkis, putusan MK yang menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945 jelas lebih tinggi dibandingkan putusan MA yang menguji peraturan KPU (PKPU) terhadap UU Pilkada.
Keputusan Baleg DPR RI untuk mengikuti putusan MA bahkan diambil hanya dalam hitungan menit, tanpa keragaman argumentasi dari partai politik yang jumlahnya beragam dan warna jaketnya bermacam-macam.
Tak ada bedanya dengan putusan MA yang diteken secara kilat oleh para hakim agung: hanya 3 hari.
Juga nyaris persis dengan skandal Putusan MK yang diputus secara instan buat menguntungkan Gibran.
Bola panas di KPU MK agaknya telah membaca kemungkinan politikus Senayan akan berakrobat dengan logika yang dapat membuat para begawan ilmu hukum terkesima.
Dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal usia calon kepala daerah itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan, calon kepala daerah yang diproses tidak sesuai dengan putusan MK berpotensi didiskualifikasi ketika digugat ke MK sebagai lembaga pengadilan sengketa pilkada.
"Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua warga negara," kata Saldi.
"Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," kata dia
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dan Kompas.com
Dewan Guru Besar UI
kritikan pedas
DPR
putusan MK
otoritarianisme
pengkhianatan konstitusi
revisi Undang-Undang Pilkada
pakar
Bivitri Susanti
Sempat Sebut Tunjangan Beras DPR Rp12 Juta Per Bulan, Adies Kadir Kini Ngaku Salah Data: Rp200 Ribu |
![]() |
---|
Sosok Adies Kadir Wakil Ketua DPR Bongkar Gaji Tunjangan Beras Rp12 Juta Ucap Terima Kasih ke Menkeu |
![]() |
---|
Sikap Puan Maharani Dibandingkan dengan Anak Dedi Mulyadi saat Upacara, Ketua DPR Sibuk Pegang HP |
![]() |
---|
Ramai Gaji Anggota DPR Rp 3 Juta/Hari, Ini Rincian Gaji dan Tunjangan Anggota DPR RI |
![]() |
---|
Atalia Praratya Tulis Pesan Haru di Hari Ulang Tahun Camillia Azzahra: Kamu Adalah Alasan Mama Kuat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.