Kasus Pembunuhan Vina Cirebon

Ketua LSF Tegaskan Film Vina: Sebelum 7 Hari Tak Bikin Gaduh, Sebut yang Komen yang Bikin Gaduh

...kalau kemudian ada yang komen, yang memberikan pendapat, yang kemudian adu argumentasi, yang dilaporkan itu ya mereka, bukan filmnya...

|
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Arief Permadi
TRIBUN JABAR
Kolase foto poster film Vina: Sebelum 7 Hari dan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI Rommy Fibri Hardiyanto 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menegaskan tak akan memerintahkan penarikan film Vina: Sebelum 7 Hari dari bioskop hanya karena sejumlah pihak menghendakinya. LSF menilai, tak ada yang salah dalam film tersebut yang membuat mereka harus melakukan penarikan.

Ditemui usai menghadiri acara pelantikan dan rapat kerja pengurus Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi (APIK) Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Bandung, Kamis (30/05/2024), Ketua LSF, Rommy Firbri Hardiyanto, mengatakan film Vina: Sebelum 7 Hari sudah clear sebagai sebuah film tontonan.

Meski terinspirasi dari kisah nyata, ujar Rommy, film Vina: Sebelum 7 Hari bukanlah film dokumenter murni, melainkan lebih kepada film fiksi yang di dalamnya ada dramatisasi, dramaturgi yang dibangun menjadi sebuah film fiksi.

“Oleh sebab itu, LSF melihat tidak ada masalah di film ini. Sebagai sebuah produk budaya, LSF menganggap film Vina aman-aman saja," ujar Rommy.

Rommy juga membantah penulisan kisah nyata pada poster film Vina: Sebelum 7 Hari adalah sebuah pelanggaran. Menurutnya, film yang terinspirasi dari kisah nyata itu enggak cuma Vina.

"Saya enggak akan sebut judul-judul yang lain ya, nanti dikira promosi. Tapi banyak, dan enggak masalah," tegasnya.

Rommy juga membantah penulisan kisah nyata pada poster film Vina: Sebelum 7 Hari berpotensi menggiring opini masyarakat pada persepsi tertentu. Dengan nada sedikit meninggi, Rommy justru balik bertanya, "Yang menggiring opini itu siapa? Yang komentar, yang memberi pendapat, atau filmnya? Kan filmnya enggak. Filmnya cuma ngomong, ini terinspirasi dari orang yang kesurupan, terus kesurupannya direkam, oh ini bagus ya kalau difilmkan. Apa yang bikin gaduh? Pertanyaannya, siapa yang bikin gaduh? Yang nonton, yang komen, yang membuat gaduh sendiri, atau filmnya? Kecuali filmnya mengatakan, yuk kita demo ramai-ramai. Kang enggak. Enggak ada ajakan untuk melanggar hukum atau ajakan untuk melakukan disharmoni, atau melanggar ketertiban umum. Filmnya enggak seperti itu," ujarnya.

Kuasa Hukum Vina, Putri Maya Rumanti (kanan) saat sedang diwawancarai media di depan Mapolres Cirebon Kota didampingi Linda (masker putih), Selasa (28/5/2024) dini hari.
Kuasa Hukum Vina, Putri Maya Rumanti (kanan) saat sedang diwawancarai media di depan Mapolres Cirebon Kota didampingi Linda (masker putih), Selasa (28/5/2024) dini hari. (Tribuncirebon.com/Eki Yulianto)

Terkait pihak-pihak yang kini mulai melaporkan film ini ke Bareskrim Polri, Rommy mengatakan, hal itu seharusnya tak perlu terjadi jika semuanya bisa melihat film ini secara jernih. Sebab, sekali lagi, tegasnya, tak masalah dengan film Vina: Sebelum 7 Hari ini.

"Lah, kalau kemudian ada yang komen, yang memberikan pendapat, yang kemudian adu argumentasi [tentang film Vina], yang dilaporkan itu ya mereka, bukan filmnya. Harus clear melihatnya," ujar Rommy.

Rommy lantas menganalogikan hal itu dengan wartawan yang sudah membuat berita dengan baik, lengkap, cover bothside, dan tak melanggar kode etik jurnalistik.

"Jika kemudian di luar itu ada orang yang berpendapat tentang berita tersebut, menjadi ramai dan heboh. Apakah kemudian produk beritanya yang disalahkan? Kan enggak. Begitu juga dengan film ini," ujarnya.

Somasi
Potensi adanya penggiringan opini pada film Vina: Sebelum 7 Hari, sebelumnya dilontarkan praktisi Hukum yang juga Sekretaris Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Hukum Unpas, Boyke Luthfiana Syahrir.

Ia mengatakan, film Vina Sebelum 7 Hari berpotensi menggiring opini masyarakat tentang sosok Pegi Setiawan (27) alias Perong, salah satu tersangka dalam pembunuhan Vina Dewi Arsita yang belakangan dikenal dengan sebutan Vina Cirebon dan kekasihnya Muhammad Rizky alias Eky di Cirebon, delapan tahun lalu.

Dalam film Vina Sebelum 7 Hari, ujar Boyke, diceritakan bahwa Egi atau Pegi alias Perong merupakan anak dari pejabat polisi yang turut menjadi pelaku dalam pembunuhan Vina dan Rizky alias Eky di Cirebon pada 2016.

"Hingga akhir cerita film tersebut dia (Pegi) tidak ditemukan atau hilang jejak dari kejaran pihak kepolisian," ujarnya.

Menurut Boyke, cerita Pegi dalam film itu diduga dapat menggiring opini sehingga masyarakat beranggapan bahwa Pegi benar anak Polisi dan tak kunjung ditangkap.

Namun faktanya, kata dia, pada Selasa 21 Mei 2024, jajaran Ditreskrimum Polda bersama tim Bareskrim Polri berhasil meringkus Pegi setelah buron selama delapan tahun lalu.

"Informasi dari pihak kepolisian bahwa Egi atau Pegi alias Perong ini bukan anak Polisi sebagaimana di film, tapi anak dari seorang asisten rumah tangga, maka seharusnya pihak rumah produksi film harus menarik kalimat "kisah nyata" dalam tulisan judul film tersebut," katanya.

Sebab, ujar Boyke, akibat film tersebut masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi memiliki penilaian negatif terhadap polisi.

"Film tersebut juga harus ditarik dari peredaran dan mengubah beberapa adegan yang memang tidak sesuai fakta persidangan maupun putusan dalam amar pertimbangan pokok perkara tersebut," ujarnya.

Apabila dalam waktu dekat pihak rumah produksi tidak menarik adegan dan menghapus kalimat "Kisah Nyata" dalam flyer judul film tersebut, pihaknya akan melayangkan somasi.

"Saya akan berkoordinasi dengan jajaran kepengurusan Ikatan keluarga alumni fakultas Hukum Unpas untuk mengajukan somasi terbuka, karena sebagai warga negara Indonesia dan praktisi hukum menyayangkan lembaga yang seharusnya kita berikan apresiasi malah mendapatkan sebuah gambaran citra yang kurang baik," katanya.

Keberatan tentang film Vina: Sebelum 7 Hari juga dilayangkan Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI). ALMI bahkan telah melaporkan film Vina: Sebelum 7 Hari ini ke Bareskrim Mabes Polri, Selasa (28/05/2024) lalu karena menganggap film tersebut dapat menyebabkan kegaduhan di masyarakat.

ALMI juga mendesak penarikan segera film tersebut dari bioskop. Penarikan, menurut ALMI, harus segera dilakukan agar tak mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.

Lucu
Terkait pelaporan film Vina: Sebelum 7 Hari, sutradara film tersebut, Anggy Umbara mengatakan bahwa film yang ia buat sudah lulus sensor. Ini artinya, ujar Anggy, film ini tak melanggar aturan perfilman.

Anggy justru menyebut dengan adanya film itu telah memberikan hikmah untuk keluarga korban.

“Apa sih (pelaporan ini)? Filmnya udah lulus sensor, enggak masalah apa-apa, enggak melanggar, dan dinilai pembawa hikmah untuk keluarga,” kata Anggy.

"Itu lucu aja sih ya enggak pantaslah (kalau ada pihak yang melaporkan)," lanjutnya.
Anggy menambahkan, film tersebut juga dibuat berdasarkan kacamata keluarga Vina.

"Itu potret aja kita juga enggak ngebahas kasus apa-apa. Kita ngebahas kejadian menurut kacamata keluarga, itu doang. Kalau enggak ada dasarnya. Itu mengada-ngada," jelasnya.

Lantas Anggy pun memilih untuk tak ambil pusing soal pelaporan film itu.

"Dia mau aduin ke mana. Di Bareskrim kan harus KPI. Kan lagi pula mengadukan juga belum bisa kan. Kalau mau berpendapat itu silakan, bebas semua bisa berpendapat," ujarnya.

Vina Dewi Arsita dan kekasihnya Muhammad Rizky alias Eky di Cirebon meninggal setelah dianiaya sekelompok pemuda, 27 Agustus 2016 silam. Tak lama setelah penganiayaan, delapan orang ditangkap. Pengadilan menyatakan semuanya terbukti melakukan penganiayaan seperti apa yang dituduhkan. Tujuh di antaranya dijatuhi hukuman seumur hidup, satu lainnya dihukum delapan tahun penjara dan kini telah bebas.

Selain kedelapan terpidana, pengadilan menyatakan masih ada tiga tersangka lainnya yang buron. Pegi Setiawan, salah satunya. Buruh bangunan berusia 27 tahun itu Selasa (21/5) lalu di Bandung.


Saat ditampilkan dalam ekspose kasus di Mapolda Jawa Barat, Minggu (25/5), Pegi mengaku tak bersalah. Ia bahkan berkali-kali berteriak bahwa ia tak bersalah.

"Izin bicara, saya tidak pernah melakukan itu, saya rela mati!" teriak Pegi. "Saya rela mati! Saya bukan pelaku pembunuhan! Saya tidak kenal. Saya rela mati!" ulangnya lebih keras sebelum polisi kembali membawanya masuk ke gedung Ditreskrimum.

Terkait bantahan Pegi, Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, mengatakan Pegi bisa saja bersikukuh mengaku bahwa dirinya tak terlibat pembunuhan.

"Namun, kami tidak mengejar pengakuan yang bersangkutan, yang jelas saksi-saksi sudah kita dapatkan semua terkait keterlibatan PS sebagai otak terhadap peristiwa ini," ujar Surawan, Senin (27/5).

Menurutnya, saksi-saksi sudah menerangkan bahwa Pegi ada dan terlibat saat peristiwa itu terjadi.

"Jadi yang penting kita sudah mengumpulkan saksi-saksi kunci yang keterangannya sudah kita mintai," katanya.

Surawan mengatakan, berdasarkan hasil penyelidikan yang mereka lakukan, total pelaku dalam kasus ini ada sembilan, bukan sebelas orang seperti yang diinformasikan sebelumnya. Ia juga menegaskan, tak ada anak pejabat yang terlibat di dalam kasus ini.

"Saya tekankan tidak ada anak pejabat terlibat di sini. Kami sangat kooperatif dan transparan terkait penyidikan ini. DPO hanya satu, yaitu PS (Pegi Setiawan)," ujar Surawan.

Menurutnya, dalam menangani kasus ini Polisi berpegang teguh pada fakta hasil penyidikan. Surawan pun tidak ingin menanggapi lebih jauh soal isu yang beredar soal keterlibatan anak pejabat ini.

"Terkait apapun yang disampaikan itu terserah, silakan. Tetapi kami tetap berpegangan kepada fakta penyidikan. Terhadap penyidikan yang kita lakukan, kita berpedoman terhadap fakta bukan asumsi," katanya.

Kuasa hukum Pegi, Sugianti Iriani, mengatakan kliennya berencana mempraperadilankan Polda Jawa Barat terkait hal ini.

Sugianti mengatakan, bersama tim hukumnya nanti, ia berencana akan membawa lebih dari dua saksi kunci ke sidang praperadilan. Ia juga berencana mendaftarkan kasus ini ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar para saksi yang akan mereka hadirkan nanti mendapatkan perlindungan.

"Kami siap mendaftarkannya ke LPSK karena kasus ini sudah viral. Kami harus siap-siap untuk perlindungan saksi," ujarnya.(tribunnetwork/nazmi abdurahman/ifan risky anugera/eki yulianto/arief permadi)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved