Pemilu 2024

Sosok 3 Hakim MK yang Beri Dissenting Opinion: Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat

Inilah sosok tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Penulis: Rheina Sukmawati | Editor: Rheina Sukmawati
Kolase Kompas.com, Dok. MK, Istimewa
Tiga hakim MK memberikan dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024. 

TRIBUNJABAR.ID - Inilah sosok tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Sidang sengketa Pilpres 2024 telah diputuskan pada Senin (22/4/4024).

Dalam perkara ini, MK memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Dari delapan hakim MK dalam sidang, tiga di antaranya memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda.

Ketiga hakim MK yang memberikan dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Baca juga: Video Anies Baswedan Tersenyum Ucap Selamat pada Prabowo, Titip Pesan soal Oposisi hingga Kebebasan

Lantas seperti apa sosok ketiganya?

1. Saldi Isra

Saldi Isra merupakan hakim MK yang dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 11 April 2017 menggantikan Patrialis Akbar.

Pria kelahiran 20 Agustus 1968 ini adalah seorang Guru Besar Hukum Tata Negara.

Sempat gagal berkali-kali masuk Institut Teknologi Bandung hingga mencari kerja, Saldi akhirnya diterima di jurusan Ilmu Hukum Universitas Andalas.

Hakim MK Saldi Isra yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Hakim MK Saldi Isra yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024). (Dok. Humas MK)

Setelah meraih gelar Sarjana di Universitas Andalas, Saldi Isra melanjutkan pendidikan Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia.

Ia juga berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada pada 2009.

Setahun kemudian, Saldi Isra dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Selain sebagai pengajar, Saldi juga dikenal sebagai penulis dan aktivis.

Pada sidang sengketa Pilpres 2024, Saldi Isra mengungkapkan bahwa KPU seharusnya melakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah karena ketidaknetralan kepala daerahnya.

Ketidaknetralan beberapa penjabat (pj) kepala daerah, seperti Pj Gubernur Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan dengan berbagai cara disebabkan oleh intervensi politik.

Saldi juga menyoroti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dipandang menghindari memeriksa laporan substansi laporan berkaitan dengan pelanggaran pemilu.

Selain itu, Saldi menilai bahwa penyaluran bansos yang dilakukan oleh presiden dan sejumlah menteri hampir selalu menyampaikan pesan yang dapat dimaknai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi paslon tertentu.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat, aparatur negara, penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum," ujar Saldi.

Baca juga: Anies-Ganjar Kompak di Sidang MK, Lempar Senyum dan Saling Pandang Saat Dalil Dipatahkan Hakim

Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggara pemilu yang jujur dan adil, maka pihaknya menilai Mahkamah seharusnya memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang.

2. Enny Nurbaningsih

Enny Nurbaningsih merupakan hakim konstistusi perempuan Indonesia kelahiran Pangkalpinang, 27 Juni 1962.

Jabatan tersebut diembannya sejak 13 Agustus 2018.

Sebelum dilantik sebagai hakim MK, Enny Nurbaningsih menjabat sebagai Kepala badan Pembinaan Hukum Nasional.

Hakim MK Enny Nurbaningsih yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Hakim MK Enny Nurbaningsih yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024). (KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado)

Ia juga adalah seorang akademisi yang mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Dalam sidang sengketa Pilpres 2024, Enny menuturkan bahwa seharusnya dilaksanakan pemungutan suara ulang di sejumlah daerah, seperti Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan karena kepala daerahnya tidak netral.

Ketidaknetralan tersebut terjadi pada sejumlah pj kepala daerah di wilayah yang disebutkan memihak salah satu paslon, menurut laporan Bawaslu.

Enny menyoroti ketidaknetralan kepala daerah seharusnya bersikap netral karena sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Ia menilai, kepala daerah harus bersikap netral dalam melaksanakan kebijakan menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya masing-masing, terlebih dalam masa kampanye pemilu.

Enny juga menyoroti penyaluran bansos di beberapa daerah yang menggunakan dana operasional presiden (DOP) dalam kaitannya erat dengan dukungan terhadap salah satu paslon.

Hal itu menyebabkan ketidaksetaraan peserta mengenai kontestasi perebutan suara rakyat dalam pemilu.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian perimbangan hukum di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dalam petitumnya," kata Enny.

Pihaknya meyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos.

Oleh karena itu seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut.

3. Arief Hidayat

Arief Hidayat merupakan hakim MK yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Ketua MK pada 2015-2018.

Ia menjabat sebagai hakim MK pada 4 Maret 2013, menggantikan Mahfud MD.

Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 ini juga adalah seorang profesor hukum di almamaternya, Universitas Diponogoro.

Ia memiliki keahlian di bidang hukum tata negara, hukum dan politik, hukum dan perundang-undangan, hukum lingkungan, dan hukum perikanan.

Hakim MK Arief Hidayat yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Hakim MK Arief Hidayat yang memberikan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024). (Istimewa via TribunMedan.com)

Dalam sidang putusan MK, Arief Hidayat secara khusus memberikan sejumlah catatan, salah satunya untuk menyelenggarakan pemilu tidak hanya sesuai dengan prinsip rule of law (aturan hukum) namun juga rule of ethics (aturan etika).

Rule of ethics yang luhur tersebut perlu ditegakkan oleh suatu Mahkamah Etika Nasional, sehingga penyimpangan dalam pemilu di masa depan dapat dihindari.

Penyimpangan rule of ethics yang dimaksud seperti cawe-cawe presiden dalam pemilu yang merupakan tindakan abuse of ethics.

Cawe-cawe presiden tersebut yakni ketika presiden secara terang-terangan mendukung salah satu paslon.

Hal itu kemudian Arief menilai bahwa presiden seolah-olah mencoba menyuburkan politik dinasti dengan nepotisme an berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan.

Ia juga memberikan catatan bahwa waktu penyelesaian sengketa pemilu perlu ditambahkan, tidak hanya 14 hari.

Dengan mempertimbangkan ruang lingkup wilayah yang meliputi seluruh indonesia.

"Sehingga didapat waktu penyelesaian yang rasional dan proporsional dengan mengingat adanya waktu pemilihan presiden putaran kedua dan waktu jadwal ketatanegaraan pada bulan Oktober," terang Arief.

Ia juga mengungkapkan bahwa diperlukan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detail.

Undang-undang itu diharapkan memuat uraian tugas pokok dan fungsi seorang presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Hakim MK "Dissenting Opinion" dalam Putusan Sengketa Pilpres 2024".

(Tribunjabar.id/Rheina) (Kompas.com/Aditya Priyatna Darmawan)

Baca berita Tribunjabar.id lainnya di Google News.

Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved