Kisah Inspiratif

Kisah Elin 7 Tahun Jadi Guru Karena Panggilan Jiwa, Upahnya Rp 500 Ribu Setahun, Suami Sempat Protes

Elin adalah seorang guru yang membantu mengajar di SMP Filiar Budi Luhur, Sebakis, Nunukan, Kalimantan Utara.

(Kompas.com/Ahmad Dzulviqor)
Sekolah filial di kawasan transmigrasi SP 5 Nunukan. Aktifitas belajar mengajar di sekolah ini tergantung cuaca karena terkait dengan akses yang belum layak 

TRIBUNJABAR.ID - Begini kisah Elin guru di Nunukan, Kalimantan Utara diupah Rp 500.000 setahun.

Diketahui, Elin adalah seorang guru yang membantu mengajar di SMP Filiar Budi Luhur, Sebakis, Nunukan, Kalimantan Utara.

Elin mengatakan sang suami melarang dirinya mengajar, namun ia tetap ingin menjadi seorang guru.

Baca juga: Viral Kisah Penjual Sate Aci Gratiskan Dagangannya Tiap Hari untuk Yatim Piatu: Janji Allah Nyata

Ia juga menyebut tidak ingin melihat anak-anak di sekitarnya tidak belajar.

"Saya tidak pernah mendengar larangan suami yang tidak mengizinkan saya mengajar. Saya tidak ingin melihat anak-anak trans di daerah saya tinggal, tidak belajar," ujar Elin, dikutip dari Kompas.com.

Namun, Elin ternyata menjadi guru yang belum terdaftar dalam Dapodik, sejak memutuskan membantu mengajar 60 pelajar SMP di tengah perkebunan kelapa sawit, Pulau Sebakis, lokasi warga transmigran.

‘’SMP berdiri di lahan milik Dinas Transmigrasi pada 2013, dan bangunan kayunya dipinjam untuk sekolah."

"Pada 2017, saya tergerak untuk mengajar anak-anak karena sekolah kekurangan guru,’’ ujar Elin memulai ceritanya.

Untuk diketahui, wilayah Sebakis sebenarnya tidak jauh dari Ibu Kota Kabupaten Nunukan.

Apabila ditempuh speed boat/kapal cepat, maka dari Nunukan hanya dibutuhkan waktu sekitar satu jam.

Saat sampai di dermaga tradisional Sebakis, masih harus ditempuh jarak sekitar satu jam perjalanan darat melewati perkebunan kelapa sawit.

‘’Waktu itu, sekolah kayu kami mengkhawatirkan karena memang bangunannya ambruk dan miring,’’ kata Elin.

Anak-anak transmigran juga harus berangkat saat pagi buta, melintasi jalanan setapak kebun sawit. Kalau cuaca cerah, maka mereka akan dengan mudah sampai sekolah, meski dengan berjalan kaki.

Namun ketika hujan tiba, mereka tidak bisa bersekolah, karena kondisi jalanan akan berubah menjadi lembek dan berlumpur.

‘’Guru juga tidak berangkat kalau hujan. Kasihan anak-anak sering tidak belajar. Padahal mereka kadang menenteng sepatu, nyeker pergi ke sekolah dengan kondisi belepotan lumpur,’’ tutur dia.

Panggilan jiwa

Elin mengaku dirinya memang bercita-cita menjadi guru, bahkan sejak ia kecil.

Elin memiliki kekaguman pada sosok guru yang dirasa berperan besar dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa.

Ia menyebut seorang guru mempunya tanggung jawab dan beban moral terhadap keberlangsungan pendidikan anak Bangsa.

‘’Makanya, begitu di daerah saya ada kesempatan mengajar, saya langsung daftar, dan meneruskan kuliah sambil mengajar anak-anak di Sebakis,’ ’kata Elin.

Elin mengaku menemukan dunia yang ia impikan ketika berada di tengah anak-anak didiknya.

Ia tidak peduli, apakah namanya masuk dalam Dapodik atau tidak, yang penting, mewujudkan cita-cita dan impiannya menjadi guru adalah keutamaan bagi dia.

Elin mengaku selalu merasa iba ketika melihat anak-anak sekolah berjalan kaki sejak pagi buta ke sekolah, dan lalu harus kecewa karena tidak ada pelajaran.

Entah karena kendala cuaca, atau para guru memiliki tugas lain yang tidak bisa ditinggalkan, kekosongan kelas kerap terjadi.

‘’Kasihan kalau melihat anak-anak di sekolah. Mereka sering tidak belajar karena terkendala hujan, dan kendala tugas para gurunya."

"Saya yakin mereka memiliki masa depan cerah, dan kita tidak boleh sia-siakan mereka dengan hanya berdiam diri saja. Sementara kita punya ilmu untuk diajarkan,’’ tegas dia.

Di SMP Filial Budi Luhur Sebakis yang menginduk dengan SMPN PGRI Nunukan, saat ini hanya diajar oleh tiga orang guru, dengan Kepala Sekolah.

Para guru harus mengajar semua mata pelajaran, dan memastikan anak didik mereka mengikuti semua kurikulum yang diharuskan.

‘’Jadi miris rasanya melihat anak-anak trans yang begitu semangat belajar, tapi karena fasilitas dan SDM kurang memadai, mereka harus ‘dikorbankan’."

"Membiarkan mereka tidak mengenyam pendidikan seperti anak-anak seusianya, rasanya kita berdosa,’’ kata Elin lagi.

Terima upah Rp 500.000 setahun

Lantaran namanya tidak masuk dalam Dapodik, upah Elin mengajar pun menjadi tidak menentu.

‘’Tahun 2022 saya dibayar Rp 1 juta setahun, tahun 2023 saya dibayar Rp 500.000 setahun."
"Itulah suami saya selalu menyuruh saya berhenti. Tapi saya bilang ini keinginan saya dan minta pengertian dia supaya saya bisa terus mengajar,’’ imbuh dia.

Elin mengaku tidak mempermasalahkan soal besaran upahnya.

Yang ia inginkan hanya demi anak-anak transmigrasi terus mengenyam pedidikan, bahkan hingga jenjang perguruan tinggi.

Setiap kali mengajar, Elin membawa serta anaknya. Ia tak pernah bosan ataupun merasa capek, ketika memberikan materi ajar bagi anak didiknya.

‘’Saya lakukan semua yang bisa saya lakukan. Yang penting, anak-anak bisa terus belajar dan memiliki bekal untuk meraih cita-citanya,’ ’lanjut dia.

Potensi anak-anak di Sebakis, meski berada di daerah terisolasi dan serba terbatas, tak kalah dengan anak-anak di kota. Yang dibutuhkan, hanya sarana juga akses pendidikan layak, di mana urusan tersebut, menjadi kewajiban Pemerintah dan Negara.

Keteguhan dan keinginan sosok seperti Elin untuk menjadi guru, dikuatkan dengan keputusan ia melanjutkan pendidikan di STIT Ibnu Khaldun, Nunukan.

‘’Untuk menguatkan kompetensi dan terus menambah ilmu, saya menyelesaikan studi saya. Saya menghadap dosen karena saya harus mengajar anak-anak, kadang sebulan masuk empat kali saja,’’ tutur dia.

Elin juga tidak membantah, keputusannya untuk terus mengajar, memang sering membuat suaminya tidak suka.

Namun asal tugasnya sebagai istri dan ibu masih bisa dilakukan, ia masih tidak ingin berhenti mengajar.

‘’Suami sering kali meminta saya berhenti saja, disuruh fokus urus anak-anak yang masih kecil kecil. Tapi saya masih ingin mengajar," kata Elin.

Sosoknya buat kagum

Kepala Sekolah SMPN PGRI Nunukan, Impun Nukitasari, menyatakan kekagumannya atas sosok Elin. Elin di mata para guru di Nunukan, adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang memberikan teladan terpuji bagi guru lainnya.

‘’Dia tidak mandang materi. Memang pure mengabdi. Dan di zaman sekarang, guru seperti Bu Elin sangat langka. Saya sangat salut dan bangga dengan beliau,’’ kata Impun.

Di sisi lain, Impun juga mengaku kasihan dengan Elin, karena gajinya sangat tidak layak.

Meski Elin tidak pernah memprotes besaran gajinya.

Nama Guru Elin, tidak masuk dalam Dapodik, karena bukan guru dengan predikat lulusan S1, sebagaimana persyaratan Dapodik.

‘’Infonya tahun 2023 sudah S1, tapi belum ada laporan ke kami. Kalau ada laporan, kami proses dan kami mohonkan Dinas Pendidikan untuk memasukkan nama Bu Elin di Dapodik,’’ sebut Impun.

Baca berita Tribun Jabar lainnya di GoogleNews.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved