Pemilu 2024

Pengamat Politik Sebut 4 Kecurangan yang Berpotensi Hadir di Pemilu 2024, Termasuk Politik Uang

Pengamat politik Unpar Bandung Kristian Widya Wicaksono menilai ada empat potensi kecurangan yang terjadi pada pemilu 2024.

Penulis: Muhamad Nandri Prilatama | Editor: Hermawan Aksan
Istimewa
Pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Kristian Widya Wicaksono menilai ada empat potensi kecurangan yang terjadi pada pemilu 2024. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Kristian Widya Wicaksono menilai ada empat potensi kecurangan yang terjadi pada pemilu 2024.

Potensi kecurangan paling mungkin terjadi ialah politik uang untuk membeli suara.

"Bentuknya bisa berupa pemberian uang transportasi oleh kontestan pemilu kepada pemilih atau bisa juga berupa 'serangan fajar'. Potensi kedua, permufakatan jahat antara kontestan pemilu dengan petugas KPPS, PPS, dan PPK," ujarnya saat dihubungi, Selasa (13/2/2024).

Bentuknya, kata Kristian, seperti memindahkan suara dari caleg yang tak punya saksi di TPS ke caleg lainnya.

Kemudian, Kristian menyebut ada potensi untuk menggoda para petugas dengan imbalan uang untuk mencoblos surat suara cadangan.

"Potensi kecurangan ketiga itu intimidasi ke pemilih atau ke petugas KPPS, PPS, dan PPK baik dengan menggunakan ancaman verbal ataupun tindakan fisik," katanya.

Dia menyebut, pada pemilu sebelumnya sempat ada intimidasi dalam bentuk kehadiran langsung aparat kepolisian, TNI, dan aparat desa yang membuat tidak nyaman penyelenggara pemilu saat mengadakan rapat-rapat tertentu.

"Potensi kecurangan keempat itu ketidaksiapan sistem informasi, yakni Sirekap, yang dikhawatirkan tak mampu menampung data dalam jumlah besar pada waktu bersamaan."

"Lalu, potensi human error saat input C1 yang bisa memunculkan masalah baru," ujarnya.

Terkait quick count atau hitung cepat, Kristian pun menyarankan ke masyarakat untuk menjadikan lembaga survei yang kredibel sebagai acuan.

Pasalnya, kata dia, banyak lembaga survei yang juga memainkan peranan ganda sebagai konsultan pemenangan parpol, caleg, atau paslon tertentu.

"Jika tak selektif dalam merujuk hasil hitung cepat, maka bisa misleading."

"Saya rasa saat ini kita menelusuri lembaga-lembaga survei dan membandingkan tingkat akurasi hasil surveinya dengan hasil-hasil terdahulu," katanya.

Dia pun meminta tetap menjadikan real count KPU sebagai rujukan utama.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved