Kandungan Nutrisi Hampir Setara ASI, Dewan Minyak Sawit Kembangkan Pengolahan Sawit Dry Process
melalui pengolahan secara dry process, kelapa sawit bisa menjadi minyak bernutrisi tinggi melebihi minyak nabati lainnya.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Darajat Arianto
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kelapa sawit sebagian besar dimanfaatkan sekedar sebagai minyak goreng.
Padahal, melalui pengolahan secara dry process, kelapa sawit bisa menjadi minyak bernutrisi tinggi melebihi minyak nabati lainnya.
Hal ini dikatakan Plt Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, Sahat M Sinaga, dalam workshop industri hilir sawit di Kota Bandung, Kamis (1/2/2024).
Ia mengatakan, dengan ditemukannya teknologi dry-process, proses ini mampu menjaga nutrisi alami tetap tinggi, sewaktu mengolah tandan buah segar sawit jadi minyak sawit DPFO (Degummed Palm Fruit Oil).
Dilakukan dengan aplikasi teknologi ramah lingkungan untuk memurnikan DPFO menjadi RPFO (Reseterified Palm Mesocarp Oil) dengan Free Fatty Acid yang rendah, dry process beroperasi di temperatur kurang dari 70 derajat Celcius, maka kontaminan tidak terjadi dan mikro nutrisi tetap tinggi.
Sahat mengatakan berdasarkan data Palm Oil Agribusiness Strategic Institute, kandungan minyak sawit ini memiliki keidentikan dengan air susu ibu (ASI).
Kandungan Octadeconoic Acid pada keduanya hampir sama, sekitar 36 persen. Juga kandungan yang sama seperti palmitic acids sampai linoleic acids.
Baca juga: Buka 16,2 Juta Lapangan Kerja dan Ekspor Rp 600 Triliun, Industri Kelapa Sawit Terkendala Ganoderma
"Jadi tidaklah mengherankan, bahwa banyak minyak sawit dalam bentuk RBD Olein dipakai oleh industri susu,
dalam produk yang mereka pasarkan. Ini juga dapat menjadi senjata pamungkas mencegah stunting dan avitaminosis," katanya.
Dengan pengolahan dry process, katanya, nutrisi lain yang terkandung dalam minyak sawit dapat lebih besar.
Penelitian FMIPA Universitas Indonesia di antaranya menyatakan minyak sawit mengandung karotenoids minimal 600 mg/kg (ppm), Vitamin E minimal 850 mg/kg (ppm), squalene minimal 400 mg/kg (ppm), dan phytosterols minimal 350 mg/kg (ppm).
Dengan pengolahan wet process atau yang selama ini dilakukan, karotenoids sebanyak 430 mg/kg (ppm), Vitamin E minimal 620 mg/kg (ppm), squalene minimal 230 mg/kg (ppm), dan phytosterols minimal 210 mg/kg (ppm).
Pengolahan secara dry process pun menghasilkan cemaran logam berat yang jauh lebih kecil daripada wet process pada umumnya.
Dengan fakta ini, kata Sahat, industri sawit punya masa depan yang cerah dan bisa menjadi pendorong kejayaan ekonomi Indonesia, dengan menjalankan usaha tanpa deforestasi.
Volume kebun dan pengolahan kelapa sawit (PO Mill) bisa meningkat 30,8 persen.
Para petani pun bisa memilik PO Mill sendiri dengan teknologi dry-process sehingga industri hilir berkembang.
Baca juga: PT Goopo Inovasi Indonesia Raih Doubel Award dan Inisiasi Program Sawit Sapi
Produknya pun, memiliki kualitas dan nilai ekonomi lebih tinggi daripada minyak goreng.
"Kembangkan pasar dalam negeri dengan memanfaatkan functional foods melalui sebaran UMKM atau kuliner sehingga dalam waktu yang cepat Kemenkes dapat memberantas avitaminosis dan stunting," katanya.
Sahat mengatakan pengolahan hulu kelapa sawit secara dry process ini segera dimulai di Wajo, Sulawesi Selatan dan Seruyan, Kalimantan Tengah.
Karena itu, pihaknya menyiapkan pabrik hilirnya di Gresik, Jawa Timur, berkapasitas 100 ton per hari.
"Tapi kita tidak jual minyak goreng. Kita jual minyak makan sehat full nutrisi itu yang diproses melalui dry-process," katanya.
Bahkan, pihaknya menyiapkan fabrikasi alat penggoreng dengan tekanan rendah yang dapat menjaga nutrisi minyak makan tersebut supaya tidak rusak seperti menggoreng secara biasanya.
"Biaya produksi dry process itu lebih rendah daripada wet process. Kalau yang wet process, yang konvensional itu, per tonnya butuh Rp 4,5 miliar," ujarnya.
"Kalau dry-process Rp 3,8 miliar. Kenapa dia lebih murah, karena dia tidak memakai steam. Mesinnya lebih simpel tidak seperti yang sekarang," katanya.
Pengolahan sawit secara dry-process, katanya, lebih ramah lingkungan karena memiliki emisi karbon lebih rendah 78 persen dari cara biasanya.
IKUTI CHANNEL WhatsApp TribunJabar.id, untuk mendapatkan berita-berita terkini via WA: KLIK DI SINI
"Kami ingin produksinya melalui UMKM, sehingga kampung-kampung bisa maju, dan bisa sehat. Maka dari itu, perlu dikelola Kementerian Kesehatan untuk riset gizinya," ucap Sahat. (*)
Baca juga: Apkasindo Beri Gelar Pahlawan Petani Sawit kepada Kajati Riau Supardi
Cara BrookFarm Dukung Mood Wellness Gen Z Lewat Asupan Nutrisi untuk Gaya Hidup Aktif dan Seimbang |
![]() |
---|
Penghargaan untuk Para Pelaku Inovasi Sawit: dari Teknologi Pengolahan hingga SDM Unggul |
![]() |
---|
Pemerintah Waspadai Tarif AS, Sawit Indonesia Bidik Pasar Afrika & Timur Tengah |
![]() |
---|
Viral Kabar Harga Uang Koin Rp1.000 Gambar Kelapa Sawit Disebut Mencapai Rp 120 Juta, Ini Faktanya |
![]() |
---|
Sawit Bernilai Ekonomi Tapi Tidak Diakui Sebagai Hutan: Paradoks Kehutanan Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.