Soal Presiden Boleh Kampanye, Pakar Hukum Sebut Jokowi Salah Tafsir, Penuhi Syarat Dimakzulkan!

Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi mengenai diperbolehkannya Presiden memihak dan berkampanye merupakan salah tafsir undang-undang.

Kolase Tribunnews/istimewa
Presiden Jokowi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024) dan Jokowi dalam pidato di acara penyerahan bantuan Program Indonesia Pintar, di Blora, Jawa Tengah, Selasa (23/1/2024). 

TRIBUNJABAR.ID - Pernyataan Presiden Joko Widodo soal presiden boleh kampanye, dianggap sudah memenuhi syarat pemakzulan.

Syarat ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Hal ini diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti

Menurut Bivitri, pasal tersebut berbunyi: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Adapun pernyataan Jokowi seperti itu, terlebih saat didampingi para petinggi militer, menurut Bivitri, sudah memenuhi unsur perbuatan tercela.

"Kan Pasal 7A UUD itu tentang syarat pemakzulan. Di titik itu menurut saya perbuatan tercela," kata Bivitri dalam acara diskusi bertajuk Pemilu Curang: Menyoal Netralitas Presiden Hingga Pelaporan Kemhan ke Bawaslu pada Kamis (25/1/2024) di Jakarta.

Memang perbuatan tercela cenderung longgar untuk dibuktikan dalam konteks hukum.

Namun, satu parameter yang dapat dijadikan acuan ialah jabatan dan kewenangan seseorang, yang dalam hal ini Jokowi sebagai Presiden RI.

"Di hukum tata negara prinsipnya orang itu menilai harus dari jabatan. Jadi berbeda perbuatan tercela orang biasa dengan seorang presiden atau menteri," katanya.

Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi mengenai diperbolehkannya Presiden memihak dan berkampanye merupakan salah tafsir atas Undang-Undang Pemilu.

Memang dalam Pasal 299 tertera bahwa Presiden dan Wakil Presiden berhak untuk kampanye.

Namun, jika merujuk pada pasal-pasal berikutnya, yakni Pasal 300, 301, dan 302, maka dapat dipahami bahwa klausul Pasal 299 itu dimaksudkan bagi Presiden dan Wakil Presiden petahana alias kembali berkontestasi dalam Pemilu.

Karena itu, Jokowi tak semestinya menyatakan bahwa dia berhak untuk berkampanye.

Hal itu mengingat bahwa bukan dirinya yang menjadi peserta Pemilu, melainkan putranya, Gibran Rakabuming Raka.

"Nah jadi kalau dilihat lagi pasal berikutnya, 300, 301, 302 itu kebaca. Itu akan kebaca intensi pasal itu. Sehingga Jokowi tidak bisa bilang dia berhak berkampanye," ujar Bivitri.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved