Ahli Perencanaan Kota Sebut Kapasitas Ridwan Kamil Sudah Tepat Saat Sampaikan Argumentasi Soal LRT
Ikatan Ahli Perencanaan Kota Indonesia mengatakan kapasitas Ridwan Kamil sebagai dosen dan ahli urban planning dan manajemen infrastruktur sudah tepat
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Darajat Arianto
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Telaahan Ridwan Kamil soal Light Rail Transit (LRT) Palembang yang dinilai sepi penumpang saat membahas usulan pembangunan MRT dalam diskusi Synergy Ngopi dengan Jababeka di President University, Jumat 21 Oktober 2022 lalu menuai kecaman.
Padahal, argumentasi Ridwan Kamil di dalam diskusi tersebut dinilai relevan.
Ketua Majelis Etik pada Ikatan Ahli Perencanaan Kota (IAP) Indonesia Bernadus Djonoputro mengatakan kapasitas Ridwan Kamil sebagai dosen dan ahli urban planning dan manajemen infrastruktur sudah tepat menggambarkan tentang tidak mudahnya membangun sistem transportasi modern seperti Mass Rapid Transit (MRT).
“Saya kira yang disampaikan sangat relevan. Bahwa secara teoritis apa yang disampaikan berkaitan antara hubungan transportasi dengan perkembangan kota,” katanya saat dihubungi, Selasa (25/10/2022).
Ia mengatakan pembahasan perencaan terkait sistem transportasi urban modern seperti LRT dan MRT tidak begitu dipahami oleh awam mengingat penyiapan dan pembiayaan infrastruktur ini terbilang pelik secara teknis.
Transportasi, katanya, berkolerasi dengan perkembangan perkotaan dan erat kaitannya dengan keahlian pemimpin daerah atau nasional mencari titik keseimbangan.
Juga bagaimana kiat membangun, bagaimana membangun dan membiayainya, dan bagaimana caranya menjalankan.
Baca juga: Ridwan Kamil Minta Maaf soal LRT Palembang Sepi, Ini Alasan Paparannya
“Ini tidak banyak dimengerti oleh awam, secara teknis itu njlimet," katanya.
Dalam hal proyek LRT Palembang yang dibangun untuk menyambut Asian Games 2018, memperlihatkan kepada publik bahwa pembangunan LRT itu adalah sebuah keputusan politik. Dalam keputusan politik itu, maka pemerintah pasti sudah menghitung semua resiko dari resiko keuangan, teknik dan politik.
“Infrastruktur vital seperti transportasi masal perkotaan tidak boleh berdiri sendiri, (infrastruktur) itu harus jadi bagian masterplan kota tersebut. Bagaimana nantinya LRT itu harus disambungkan dan dilanjutkan paska keputusan politik,” katanya.
Bernie memastikan bahwa semua moda transportasi, tidak terkecuali LRT Palembang akan mengalami tahap ramp up, diawali sepi, kemudian akan mencapai ridership yang direncanakan.
Menurutnya sepi atau tidaknya sebuah moda transportasi publik adalah siklus dari perkembangan transportasi.
Baca juga: Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar Siap Canangkan LRT Untuk Mengurai Kemacetan di Bandung Raya
LRT Palembang menurutnya tidak hanya sekedar urusan penumpang tiba-tiba ramai, atau menjadi sepi.
Dia menilai pemerintah kota dan pihak pengelola kini dituntut menunjukan kemampuan menerapkan strategi transportasi modern yang terintegrasi.
Bernie juga menakankan, pasca membangun jalur utama transportasi moderen, harus dilakukan intrfrasi moda lainnya.
Contoh nya Jakarta yang mengakuisi jalur-jalur angkutan kota untuk menciptakan pengumpan atau feeder bagi perasional bus dan LRT.
“Jalur tradisional itu diakuisi agar sistem transportasi urban ini bisa jalan sesuai dengan perhitungan teknis dan pembiayaan nya,” katanya.
Menurutnya kota-kota besar di luar DKI seperti Palembang, Bandung, Surabaya, Semarang, Makasar, dan Medan membutuhkan transportasi publik modern seperti LRT terutama untuk memindahkan kebiasaan publik dari ekonomi berbasis kendaraan pribadi yang menguasai lalu lintas dalam 30 tahun terakhir. Namun kota-kota tersebut mengalami situasi yang sama, yakni kesulitan fiskal daerah membiayai terwujudnya proyek-proyek tersebut.
“Hampir tidak ada kota yang APBD-nya siap kecuali DKI Jakarta. Mereka tidak ada yang mampu karena ketidakmampuan fiskal daerah,” tuturnya.
Bernie yang ikut terlibat dalam penyusunan LRT salah satunya di Kota Medan mengatakan kemampuan keuangan daerah atau kota untuk membeli dan membangun sistem layanan transportasi urban modern sangat terbatas.
Dari hasil kajiannya di Medan, untuk membangun 18 kilometer LRT yang ditopang 2 jalur Bus Rapid Transit dengan 20 unit BRT di satu koridor dibutuhkan biaya kira-kira Rp 15 triliun.
"Maka, jika 5 kota besar di Indonesia mau mengubah kebiasaan kendaraan pribadi ke transportasi publik modern maka yang dibutuhkan hanya Rp 75 triliun,” ujarnya.
Baca juga: Dibuka Lowongan Kerja Jakarta Terbaru di PT MRT Jakarta Besar-besaran untuk Lulusan SMA/SMK/D3/S1
Dari kondisi ini, Bernie menilai penting Pusat berpihak pada kota, dan mensinergikan keputusan politik dengan perencanaan yang tepat. Menurutnya argumentasi terkait perencanaan seperti yang disampaikan Ridwan Kamil membawa pesan pentingnya Pusat melihat isu perkotaan seperti transportasi sebagai isu nasional.
"Intinya pemerintah pusat harus turun tangan dengan pembiayaan kalau urusan transportasi modern. Kalau tidak, kota-kota besar di Indonesia akan semakin berat dan tidak efisien,” katanya. (*)