Guru Besar Fakultas Farmasi Unpad Sebut Masih Banyak Obat Harus dengan Resep Dijual Bebas
Hal lain yang membuat miris dan perlu peran apoteker lebih kuat dalam edukasinya adalah penjualan obat-obatan yang bebas.
Penulis: Kiki Andriana | Editor: Januar Pribadi Hamel
Laporan Kontributor TribunJabar.id Sumedang, Kiki Andriana
TRIBUNJABAR.ID, SUMEDANG - Masyarakat di Indonesia tak sedikit yang belum teredukasi tentang obat dan penggunaannya yang benar. Ada juga yang salah guna, seperti obat untuk manusia diberikan ke binatang.
Guru Besar Fakultas Farmasi Unpad atau Universitas Padjadjaran Prof. apt. Muchtaridi, PhD. mengatakan adanya kasus kematian anak-anak di Gambia yang diduga akibat reaksi kandungan dietilen glikol dan etilen glikol dalam obat parasetamol menyadarkan berbagai pihak, terutama masyarakat, untuk cermat dalam memilih dan mengonsumsi obat.
"Apoteker sesungguhnya yang berperan penting dalam hal edukasi yang kurang ini," kata Muchtaridi kepada TribunJabar.id, Jumat (21/10/2022).
Baca juga: Ini Kata Guru Besar Farmasi Unpad , Perhatikan Sebelum Minum Obat, yang Lembap Jangan Dikonsumsi
Muchtaridi mengatakan kurangnya edukasi itu dapat dilihat ketika masyarakat salah menggunakan obat. Yang peruntukkannya bagi manusia diberikan kepada hewan.
Contoh lainnya, masyarakat Indonesia juga masih banyak yang belum memahami mengenai warna tanda dalam kemasan obat. Padahal, tanda ini menjelaskan mengenai golongan obat, kegunaan, serta cara penggunaannya.
“Misalnya, masyarakat menganggap warna hijau itu dia obat bebas. Jadi bisa dikonsumsi dengan bebas, padahal kan bisa bahaya," katanya.
Hal lain yang membuat miris dan perlu peran apoteker lebih kuat dalam edukasinya adalah penjualan obat-obatan yang bebas. Padahal, ada golongan obat yang harus menggunakan resep dokter.
“Contohnya, asam mefenamat, di Malaysia itu harus dengan resep dokter. Di kita bebas beli tanpa resep, bahkan dijual bebas di marketplace,” katanya.
Karena itu, apoteker memiliki peran dalam melakukan edukasi serta menyarankan obat yang tepat.
Apoteker punya wewenang memutuskan apakah obat tersebut layak diberikan kepada pasien atau tidak. (*)