Kisah Dede Yusuf di Sumedang, Tubuh hingga Wajah Penuh Tato, Hijrah karena Salati Jenazah Sendiri
Tato masih tampak jelas ada di wajah Dede Yusuf (29). Namun kini, rona wajahnya yang berseri mengalahkan pamor gambar-gambar itu.
Penulis: Kiki Andriana | Editor: Giri
Bukan hanya membuat jengkel orang tua, keputusan Dede menjadi anggota komunitas punk juga membuat gatal mulut tetangganya.
Mereka seringkali mencibir Dede yang punk.
"Wah saya sampai kecanduan obat. Awalnya coba-coba, tetapi jadi candu," katanya.
Dede tidak berkisah apakah dia mengerti tentang gerakan punk, dan apakah dia pernah membaca karya-karya Edgar Allan Poe (1809-1849) sebagai penulis yang mengispirasi gerakan ini, namun sesuatu telah membuatnya capai dengan punk.
"Saya capai maksiat terus. Sudah bosan lah. Sampai suatu hari di siang hari saat bulan puasa tahun lalu, saya mimpi dibakar api. Mungkin saja api itu api neraka, sehingga saya terbangun dan berpikir bagaimana kalau mimpi ini menjadi kenyataan," katanya.
Bukan hanya mimpi soal api, dia juga mimpi mengurus jenazah.
Dia memandikan dan menyalati jenazah itu yang ternyata dirinya sendiri.
Sampai dikubur pun, jenazah itu tetap jenazah dirinya sendiri.
Gayung bersambut.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Indonesia pada Minggu 10 April 2022, Bertambah 1.071 dalam 24 Jam
Di Dusun SS, Desa Tanjungsari, sekitar Alun-alun Tajungsari, ada satu masjid penyedia dakwah untuk kaum-kaum terpinggirkan.
Masjid ini membuat semacam wadah bernama Katro yang merupakan singkatan dari Kajian Trotoar.
"Awalnya saya malu dan takut. Apakah orang sedewasa saya dan tatoan sebadan-badan masih bisa mengaji? Apakah saya masih boleh masuk masjid? Ternyata bisa," katanya.
Dia memulai dengan mengaji Iqro, kemudian mengaji Al-Qur'an, dan kini sedang dibimbing terus mengaji tafsir Al-Qur'an.
"Saya melihat Islam itu sistem yang indah. Mengatur segala aspek kehidupan pemeluknya dari mulai bangun tidur hingga tertidur lagi," katanya yang kini sudah kehilangan kedua orang tuanya.
Dede menemukan keseruan yang lebih seru saat mengaji, dibandingkan keseruan semu saat dia beraktivitas di komunitas punk.
"Ngaji itu seru," kata Dede yang kini bekerja serabutan dan tinggal bersama bibinya. (*)