WAWANCARA KHUSUS, Blak-blakan Kepala Kejati Jabar soal Hukuman Mati Herry Wirawan
Pengadilan Tinggi Bandung kabulkan banding jaksa Kejati Jabar terhadap terdakwa Herry Wirawan. Tribun wawancara kusus dengan Asep N Mulyana
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: Mega Nugraha
TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG- Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jabar terhadap terdakwa Herry Wirawan, guru ngaji rudapaksa santriwati.
PT Bandung memvonis Herry dengan hukuman mati, serta mengharuskan membayar restitusi kepada 13 korbanny senilai Rp 331 juta.
Vonis PT Bandung itu menganulir vonis Pengadilan Negeri Bandung yang hanya memberikan hukuman penjara seumur hidup terhadap terdakwa.
Lalu, bagaimana sikap dari JPU yang diketuai langsung oleh Kepala Kejati Jabar Asep N Mulyana atas vonis PT Bandung?
Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Adi Sasono mendapat kesempatan melakukan wawancara khusus bersama Asep N Mulyana, di ruang kerjanya Rabu (6/4/2022). Berikut ini wawancaranya.
1. Kasus ini cukup fenomenal, bahkan sampai diberitakan media asing karena ini kasus asusila pertama yang mendapat hukuman mati, bagaimana tanggapannya?
Perlu saya sampaikan, ini bukan hanya perkara asusila. Ini perkara kekerasan seksual terhadap anak-anak yang domainnya itu berada dalam ranah pendidikan, pondok pesantren.
Kalau tadi dikatakan fenomenal, bisa jadi iya. Terdakwa ini melakukan tindak pidana di tempat-tempat yang selama ini kita anggap sebagai tempat yang aman, apalagi menggunakan simbol agama. Setiap orang pasti menganggap itu adalah pendidikan yang mengedepankan Ahlak dan moral, tapi pada kenyataannya tidak seperti itu.

Kedua, berbicara tentang hukuman mati. Saya tidak tahu persis, saya tidak punya data atau angka apakah ini hukuman mati pertama, tapi banyak juga perkara yang dituntut oleh jaksa hukuman mati. Salah satunya, narkoba itu artinya hukum kita regulasinya sudah mengatur itu. Kami, menggunakan regulasi itu sebagai dasar untuk menggunakan tuntutan kepada pelaku yang melakukan kejahatan secara serius.
2. Mengapa pertimbangannya, tuntutan mati. Apakah atensi dari masyarakat jadi pertimbangan?
Pertama, dasarnya kami peraturan perundang-undangan. Kita tahu ada peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 22-23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, itu dalam konsiderannya menyatakan hukuman yang selama ini diterapkan pada pelaku dianggap kurang memadai sebagai efek jera, dasar itu jadi pegangan kami mengajukan tuntutan.
Kedua, saya katakan ini kejahatan serius, bahkan JPU sepakat, ini kejahatan kemanusiaan, coba bayangkan bagaimana pelaku mengeksploitasi secara seksual terhadap anak-anak, kedua menggunakan institusi pendidikan dan simbol agama. Bahkan, pelaku mengeksploitasi secara ekonomi, bagaimana anak didik dijadikan tukang tembok membangun fasilitas rumah terdakwa, ada juga bantuan untuk anak-anak itu digunakan pelaku, kalau ada donator datang, uang anak-anak itu diambil dan digunakan untuk menyewa apartemen untuk melakukan perbuatan bejatnya. Jadi, tidak ada lagi hal yang meringankan buat kami untuk menuntut selain hukuman mati, karena UU membenarkan itu dan memberikan ruang kepada kami untuk menuntut maksimal pelaku.
3. Aktivis HAM protes karena melanggar UU, bagaimana tanggapannya?
Saya tidak mau berpolemik tentang itu, yang pasti dalam hukum positif kita masih mengakui hukuman mati, pertanyaannya sekarang apakah hukum positif bertentangan dengan UU 1945, itu kan pertanyaan mendasarnya. Kalau memang bertentangan, kenapa tidak dilakukan judicial review. Selama UU itu berlaku dan menjadi eksis di negata ini, maka kami gunakan itu.
4. Sebelumnya, apakah ada yurisprudensi tentang kasus seperti ini, harus diberi hukuman mati?
Kami ada standar melakukan tuntutan, ada hal yang meringankan dan memberatkan serta melihat kasus-kasus sebelumnya, tapi dalam sistem hukum kita tidak mengenal di mana putusan hakim mengikat sepenuhnya pada hakim yang kemudian, tidak ada.
Tapi putusan sebelumnya menjadi dasar buat kami untuk mengajukan untuk terpidana, dari pertimbangan tadi, kemudian kerugian yang diakibatkan dari perbuatan jahat pelaku dan sangat melukai hati masyarakat, tentu menjadi dasar kami untuk mengajukkan tuntutan hukuman mati.
Banyak pertimbangan, tidak semata-mata emosi kami JPU, ini sudah kami ekspose bersama dan meminta persetujuan pimpinan juga.
Baca juga: Herry Wirawan Dihukum Mati, Dedi Mulyadi Sebut Itu Berkat Kegigihan Jaksa Wujudkan Keadilan
5. Hukuman mati dalam perspektif jaksa sudah paling maksimal, tidak ada lagi hukuman yang lebih berat?
Hemat saya demikian, karena di KUHP kita masih mengatur pidana mati, tidak dicabut dan masih berlaku.
6. Ada jarak cukup lama antara vonis sampai eksekusi hukuman mati, apakah akan seperti itu?
Tentu dalam hukuman mati kita harus mempertimbangkan terpenuhinya ketentuan formal. Jadi, apakah hak-hak terdakwa sudah terpenuhi atau tidak. Misalnya, terdakwa punya hak untuk meminta pengampunan kepada Presiden dalam bentuk grasi.
Kedua, benar tidak identitas dan apa permintaan terakhirnya. Banyak yang harus dipertimbangkan, karena kalau kita mengeksekusi mati tidak mungkim diulang lagi, kalau hanya penjara bisa anulir. Berbeda dengan hukuman mati, jadi banyak yang harus diperhatikan sebelum eksekusi.
7. Pemenuhan itu lama?
Untuk inkrah saja, saat ini kami masih menunggu salinan putusan resmi, kami belum bisa bersikap apakah menerima dari putusan ini atau kami akan mengajukan upaya hukum lain, karena kami harus mempelajari secara cermat bagaimana putusan yang dibuat PT Bandung. Jadi, tidak semudah membalikan telapak tangan dalam eksekusi hukuman mati itu, banyak hal terkait hak-hak bersangkutan harus sudah terpenuhi.
8. Apakah itu jadi ada anggapan terdakwa mendapat hukuman dua kali, penjara dan hukuman mati?
Tidak, kan itu bagian dari proses. Kan itu nanti dihitung. Ketika sekarang tersangka ditahan penyidik, itu ada batas yang ditentukan KUHP, waktunya akan dihitung berapa lama dia ditahan, nanti dikurangi masa tahanan.
Sama halnya, bukan berarti kita melakukan eksekusi mati, seolah ada hukuman dobel, tidak. Pasti pada hukuman yang sesuai pada putusan pengadilan.
9. Kasus Sumiarsih di Surabaya, selama ditahan ada perubahan sikap yang drastis jadi lebih baik, apakah itu jadi pertimbangan?
Kan, pembinaan terhadap warga binaan sudah pada institusi Lapas di bawah Kemenkum HAM. Mereka yang bisa menilai terhadap hal apa yang terjadi selama masa pembinaan.
Kami selalu eksekutor tentu akan mempertimbangkan bagaimana bentuk pembinaan dan perubahan sikap, makanya kami tidak serta merta. Begitu vonis, hari ini kami langsung eksekusi mati, dengan perubahan tadi bisa mengajukan permohonan kepada Presiden, apakah sebagai dasar Presiden menyetuji dan megampuni pelaku ini.
Seluruh aspek kita pertimbangkan, kita harus memperhatikan secara detail, nyawa orang tidak bisa asal dor saja. Pendek kata, kami akan cermat sebelum melakukam eksekusi itu, terutama formil dan materil pelaksaan eksekusi mati itu sendiri.
10. PT Bandung tidak mengabulkan pembubaran Yayasan, apakah ada pengaruh?
Pertama kami mengapresiasi, karena ada perubahan ditingkat pertama. Sekarang sudah mengakomodir tuntutan kami. Kedua, soal restitusi yang ditingkat pertama dibebankan kepada negara, sekarang dibebankan kepada terdakwa. Terkait pembubaran yayasan, kami juga menghormati.
Kenapa kami mengajukan Yayasan ini dibubarkan, karena ini menjadi alat pelaku melakukan kejahatan. Jadi, kalau saya sekarang datang menggunakan sepeda motor untuk melakukan kejahatan, tentu sepeda motor itu harus dirampas karena itu alat, kalau tidak ada sepeda motor saya belum tentu melakukan kejahatan.
Sama halnya dengan ini, belum tentu ada orang tua anak ini mau menitipkan anaknya kalau tidak ada Yayasan dan ditempat itu dilakukan kejahatan.
Dalam fakta persidangan, terdakwa berkali-kali melakukan kejahatan atau kekerasan kepada anak-anak di tempat itu, makanya kami mengajukan agar dirampas oleh negara karena sebagai instrumen kejahatan.
Kedua, ini juga dinamakan corporate misdad atau korporate kejahatan, artinya sejak awal Yayasan ini dibuat untuk melakukan kejahatan, kami melihat rentang waktu antara pendirian Yayasan dengan kejahatan pelaku. Jadi, sebenarnya pondok pesantren ini tidak melakukan kegiatan yang seharusnya, tapi untuk kejahatan.
Dalam teori, ketika ada sebuah badan hukum yang sejak awal digunakan untuk kejahatan, badan hukum itu harus dihukum, hukuman salah satunya pembubaran, penyitaan aset dan diserahkan kepada negara.
Terkait save house, sejak awal kami sudah berkoordinasi dengan LPSK, penggiat anak bahkan dengan pemerintah provinsi jawa barat, melibatkan dinas sosial, dinas pendidikan dan dinas kependudukan pencatatan sipil, kementerian agama kanwil Jabar, kenapa kami mengumpulkan itu, berkoordinasi dengan mereka, karena ini harus tertangani.
Anak-anak ini tidak mungkin harus menunggu sampai putusan, tanpa bermaksud untuk mendahului keputusan hakim, maka sudah kami siapkan di Sumedang rumah aman, kami juga sudah bekerjasama dengan dinas sosial provinsi, unit perlindungan anak dan bahkan tidak hanya sampai di situ, kami juga mengundang semua elemen masyarakat salah satunya ada beberapa anak yang ditampung di rumah Adhyaksa di Purwakarta.
Semua itu bagian komitmen kami, kesungguhan kami untuk secara komprehensif dalam perkara ini, tidak hanya tertuju pada pelakunya saja, tetapi juga bagaimana kita memikirkan anak-anak ini, karena kita harus mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak-anak.
11. Di Garut ada anak korban yang dikeluarkan dari sekolah, karena sekolah tahu anak itu korban, tanggapannya?
Itulah, makanya kami koordinasi dengan dinas pendidikan, kami sampaikan pada saat rapat. Kami mengajak mereka, ini bagaimana yang berbuat orang lain, tapi dia yang jadi korban. Makanya anak-anak ini korban dua kali. Akhirnya waktu itu, sepakat kami meminta kepada anak-anak itu untuk memilih, apakah mau mengikuti pendidikan formal atau mau memilih pendidikan pesantren.
Jadi, semuanya sudah sangat kami pikirkan kami juga mengundang dinas pencatatan sipil untuk bagaimana nanti akta kelahirannya anak korban, karena akan berpengaruh pada psikologis anak itu, karena semua orang tahu bahwa bapanya pelaku kejahatan seksual yang sangat serius bagaimana kalau tidak dicantumkan nama bapaknya dalam akte anaknya, dan itu sudah dipikirkan oleh dinas kependudukan dan lencatatan sipil. Jadi hal-hal detail pun sudah kami pikirkan
12. Apakah ini save house pertama yang di buat oleh kejaksaan??
Kalau jawa barat mungkin pertama, kerjasama kami dengan Pemkab Sumedang, di situ ada beberapa tempat untuk anak-anak belajar dan itu kita kasih tage line Jatinangor (jangan tinggalkan anak-anak korban). Jadi, tidak terbatas kepada mereka yang menjadi korban kejahatan, tetapi juga kami dengan tangan terbuka, bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
13. Anak-anak itu ditampung semua di situ?
Kami memberikan pilihan, kebebasan kepada mereka. Tidak harus menjadi suatu kewajiban tinggal di situ, ada juga anak anak yang memilih di Purwakarta, di rumah Adhiyaksa. Kami hanya memfasilitasi untuk mengakomodasi kepentingan anak, kalau anaknya mau tinggal bersama orang tua, silakan.
Kami harus memahami betul, bahwa pendidikan terbaik adalah pendidikan keluarga. Kita hanya bisa membantu memfasilitasi dan yang pasti, kami ingin anak-anak itu jangan hilang masa depannya.
14. Dipantau sampai kapan?
Secara teknis kami serahkan kepada pemerintah daerah. Kami hanya aparat penegak hukum.
15. Seberapa yakin vonis ini membuat aku jera?
Bukan berbicara yakin atau tidak yakin, tapi upaya harus dilakukan. Ini salah satu saja untuk memberikan efek jera pelaku, sekaligus memberikan pesan kepada yang lain, untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
Kedua, bahwa pencegahan itu bukan hanya domain Kejaksaan saja, tapi semua elemen mempunyai kewajiban yang sama.