Ajak Kaum Muda Bertani, Praktisi Bilang Kini Bertani Dengan Teknologi dan Penghasilan Lebih Tinggi
Praktisi Pertanian, Dudang Ruslan, mengatakan pertanian di tangan anak muda itu tidak perlu kotor dan penghasilan bisa lebih tinggi dan berteknologi
Penulis: Kiki Andriana | Editor: Darajat Arianto
Laporan Kontributor TribunJabar.id Sumedang, Kiki Andriana
TRIBUNAJABAR.ID, SUMEDANG - Mengajarkan kaum muda mengenal dan menggeluti dunia pertanian adalah tugas orang tua kini.
Jika mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, regenerasi petani sangatlah minimal.
Sekalipun ada peningkatan profesi petani pada tahun 2018, itu hanya terjadi pada orang dengan usia 55-64 tahun.
Sebaliknya, kaum muda petani dengan usia di bawah 45 tahun, jumlahnya turun.
Alasan kaum muda enggan bertani bisa beragam.
Selain penghasilan tidak menentu dengan perhitungan menurut data BPS tahun 2020, pendapatan petani hanya Rp 1,9 juta per bulan, bertani juga terkesan kotor dan ketinggalan zaman.
"Padahal pertanian di tangan anak muda itu tidak perlu kotor dan penghasilan bisa lebih tinggi," kata Praktisi Pertanian, Dudang Ruslan, kepada para pemuda dan pelajar peserta diskusi Jaringan Ngebon Minggu, Minggu (13/2/2022), di Cimanggung, Sumedang.
Dudang mengatakan, pertanian kini sudah tidak tepat dilakukan dengan cara-cara lama.
Kini, paduan antara teknologi, hasil sains, dan cara-cara alami menjadi solusi bagi dunia pertanian.
Di antara paduan cara-cara itu adalah pemupukan yang tidak anti kimia namun juga memperhatikan pupuk organik.
Baca juga: Sosok Tata, Petani Milenial yang Sukses Kembangkan Kaktus dari Korea, Penghasilannya Setara Pejabat
Pemupukan lahan dengan pupuk sintetis akan membuat biaya pertanian membengkak.
Di samping juga tidak baik untuk kesehatan tanah dalam jangka waktu panjang.
Dudang menyarankan penggunaan pupuk sintetis diimbangi dengan pupuk yang dibuat petani sendiri mengandalkan sisa-sisa makanan dari dapur.
Sisa-sisa makanan seperti nasi, ikan asin, sayuran busuk, dan bekas irisan bumbu bisa dijadikan cairan mikro organisme lokal (MOL) yang sangat sehat untuk tanah dan tumbuhan.
Caranya adalah dengan merebus semua bahan yang ditemukan itu, setelah dingin airnya disaring dan difermentasi setelah diberi tetes tebu.
"Misalnya saja menanam cabai di lahan 100 tumbak. Jika sepenuhnya memakan pupuk kimia atau sintetis, pupuk bisa habis 50 kilogram. Tapi, kalau pakai pupuk kimia dicampur MOL, pupuk kimia hanya habis 6 kilogram," kata Dudang.
Dilihat dari hasil, pemupukan dengan sepenuhnya kimia untuk tanaman cabai, tanaman hanya mampu berproduksi hingga 6 kali panen saja.
Sebaliknya, dengan MOL, bisa panen hingga 12 kali.
"Yang penting kini adalah pengetahuan yang terbuka tentang pertanian dan inovasi-inovasi di bidang tersebut. Bertani pasti murah dan hasilnya melimpah. Hasil melimpah inilah yang dimaksud pertanian intensif," katanya.
Pembuatan MOL dan pertanian yang manajementnya oleh kamum muda bagus, justru menjadi peluang bagi kaum muda lainnya untuk melangkah ke dunia pertanian.
"Tak punya lahan untuk bertani? Ya buatlah itu MOL dan jual dari orang ke orang, sebotol kecil bisa Rp 20 ribu. Bahan-bahannya kan limbah dapur semua, mudah. Mulailah dari hal yang kecil," ucapnya.
Penghasilan yang mula-mula kecil akan bertambah besar dengan manajemen yang baik.

Setelah punya cukup uang, meningkatlah ke penanaman tanaman pertanian dengan tanpa meninggalkan usaha tani yang pertama.
Baca juga: Anak Muda Diajak Ikuti Program Petani Milenial Melalui IP400 yang Bakal Panen Padi 4 Kali Setahun
Usaha lain seperti menyediakan benih dan media tanam bisa dilakukan sambil menunggu tanaman di kebun panen.
Dengan pola diversitas usaha pertanian seperti ini, apalagi dengan melihat cuan hasil tani, banyak kaum muda akan tertarik.
"Kalau begitu, regenerasi petani pun akan berjalan," katanya dalam diskusi bertajuk "Bertani karena Benar, Profesi Tanpa Dasi, Fondasi Negeri" itu. (*)