Tak Ada Air Mata Ketika Herry Wirawan Mendengar Tuntutan Hukuman Mati, Bahkan Tak Merasa Bersalah

Jaksa yang menuntut hukuman mati itu, Asep N Mulyana mengaku kaget dengan ekspresi Herry Wirawan saat dibacakan tuntutan hukuman mati itu.

Editor: Ravianto
Humas Kejati Jabar
Terdakwa kasus rudapaksa 13 santriwati di Kota Bandung, Herry Wirawan dengan tangan diborgol diapit petugas Kejati Jabar saat ikuti sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung di Jalan LLRE Martadinata Kota Bandung, Selasa (11/1/2022). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kasus rudapaksa santriwati di Bandung masih dipersidangkan di Pengadilan Negeri Bandung.

Terkini, Hery Wirawan guru pesantren yang merudapaksa santriwati sampai jumlahnya 13 orang dan para korban melahirkan 8 bayi itu dituntut hukuman mati.

Jaksa yang menuntut hukuman mati itu, Asep N Mulyana mengaku kaget dengan ekspresi Herry Wirawan saat dibacakan tuntutan hukuman mati itu.

Tak ada air mata apalagi tangisan saat Herry Wirawan mendengar tuntutan hukuman mati.

Asep N Mulayana yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat membeberkan bagaimana ekspresi Herry Wirawan saat mendengarkan tuntutan yang dibacakan tim jaksa penuntut umum (JPU).

Seperti diketahui, sidang dengan agenda pembacaan tuntutan terhadap terdakwa kasus rudapaksa 13 santri, Herry Wirawan, digelar di Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (11/1/2022).

Menurut Asep, ekspresi Herry terlihat datar selama JPU membacakan tuntutan.

Bahkan, tidak menunjukkan rasa takut atau menyesal.

"Saya sudah cukup lama sebagai jaksa ya, hampir 25 tahun lebih. Ketika kami (JPU) membacakan (tuntutan) hukuman mati, tidak ada ekspresi sama sekali."

Kajati Jabar Asep N Mulyana tengah menjelaskan hasil sidang Herry Wirawan yang berlangsung tertutup di Pengadilan Negeri Bandung, Kota Bandung, Selasa (21/12/2021).
Kajati Jabar Asep N Mulyana tengah menjelaskan hasil sidang Herry Wirawan yang berlangsung tertutup di Pengadilan Negeri Bandung, Kota Bandung, Selasa (21/12/2021). (KOMPAS.COM/AGIE PERMADI)

"Tidak ada satu tetes air mata yang muncul, apalagi pada (sidang-sidang) sebelumnya, tidak ada rasa bersalah," ungkap Asep dalam wawancara bersama tvOne, Selasa, dikutip Tribunnews.

"Seolah-olah kejahatan ini adalah kebiasaan, perbuatan yang umum dilakukan orang-orang. Ini yang sangat memprihatinkan dari perkara ini," imbuhnya.

Asep menambahkan, pihaknya tak melihat adanya gangguan jiwa pada Herry.

Saat ditanya mengenai aksi bejat yang dilakukannya, Herry menjawab secara lugas.

Hal ini menandakan ia melakukan kejahatan dalam kondisi sadar.

"Kami tidak melihat ada hal-hal seperti sakit jiwa. Ada kesadaran dan kesengajaan pelaku melakukan kejahatan ini," kata Asep.

Mengenai tuntutan yang diajukan JPU, Asep tak ingin berandai-andai apakah Majelis Hakim akan mengabulkannya.

Ia memilih menyerahkan semua keputusan pada Majelis Hakim.

"Saya tidak berani beranda-andai ya, tentu semua kami serahkan pada Majelis Hakim," ujarnya.

Diketahui, tim JPU menyampaikan sejumlah tuntutan pada Herry Wirawan.

Herry Wirawan, guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya hingga melahirkan 8 bayi.
Herry Wirawan, guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya hingga melahirkan 8 bayi. (Foto: Ist/Tribunjabar)

Pertama, JPU menuntut Herry agar dihukum mati untuk memberikan efek jera pada pelaku.

"Kami pertama, menuntut terdakwa dengan hukuman mati. Sebagai komitmen kami untuk memberikan efek jera pada pelaku," ujar Asep, sebagaimana diberitakan TribunJabar.

Tak hanya itu, JPU juga meminta hakim agar menjatuhkan hukuman kebiri kimia pada Herry.

Serta, meminta Herry membayar denda Rp500 juta dan identitasnya disebar.

Selain itu, JPU juga menuntut supaya yayasan dan semua aset Herry disita untuk diserahkan ke negara.

Denda dan penyitaan itu, ujar Asep, selanjutnya akan digunakan untuk membiayai sekolah bayi para korban.

"Kedua, kami juga menjatuhkan dan meminta hakim untuk menyebarkan identitas dan hukuman tambahan kebiri kimia."

"Kami juga meminta denda 500 juta rupiah subsider satu tahun kurungan dan mewajibkan terdakwa membayar restitusi," beber Asep, dikutip dari TribunJabar.

"Yang selanjutnya digunakan untuk biaya sekolah bayi korban," imbuhnya.

Tuntutan pada Herry tersebut sesuai Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76 D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Saat disinggung tuntutan mana yang diprioritaskan, Asep menegaskan semuanya menjadi yang diutamakan.

"Seluruhnya menjadi prioritas," tegasnya.

Keluarga Korban Pesimis

Kendati JPU menuntut Herry Wirawan agar dijatuhi hukuman mati, keluarga korban mengaku pesimis.

Pasalnya, selama ini belum ada pelaku rudapaksa yang divonis hukuman mati.

"Tetep pesimis sih, kalo sampe putusan mati mah, ya secara historis hukum di Indonesia untuk kasus yang sama belum banyak yang dihukum mati," kata seorang keluarga korban, AN (34), saat dihubungi TribunJabar, Selasa (11/1/2022).

Kendati demikian, AN dan keluarga korban lainnya berharap vonis majelis hakim nantinya sesuai tuntutan yang disampaikan JPU.

"Itu belum putusan, semoga (putusan) nanti sesuai sama tuntutan," ujar AN.

"Mudah-mudahan hukuman mati, jadi awal sejarah baru," tegasnya.

Komnas PA Sambut Baik

Herry Wirawan terdakwa kasus perkosaan 13 santriwati digiring petugas masuk mobil tahanan seusai dihadirkan pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022). Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Herry hukuman mati dengan alasan dianggap kejahatan luar biasa, kemudian menuntut hukuman kebiri kimia, denda Rp500 juta subsider satu tahun kurungan, harus membayar restitusi kepada anak-anak korban sebesar Rp330 juta, dan menuntut aset terdakwa disita. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)
Herry Wirawan terdakwa kasus perkosaan 13 santriwati digiring petugas masuk mobil tahanan seusai dihadirkan pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022). Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Herry hukuman mati dengan alasan dianggap kejahatan luar biasa, kemudian menuntut hukuman kebiri kimia, denda Rp500 juta subsider satu tahun kurungan, harus membayar restitusi kepada anak-anak korban sebesar Rp330 juta, dan menuntut aset terdakwa disita. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) (TRIBUN JABAR/TRIBUN JABAR/Gani Kurniawan)

Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Bima Sena, mengaku senang atas tuntutan terhadap Herry Wirawan, pelaku rudapaksa 13 santri.

Pihaknya setuju mengenai tuntutan yang diajukan pada majelis hakim.

Lantaran, menurut Bima, apa yang diajukan JPU sesuai harapan masyarakat.

Terlebih, ujarnya, hukuman setimpal yang patut diberikan pada Herry memang hukuman mati.

"Ya saya setuju. Memang ini yang diharapkan masyarakat dan harapkan bahwa hukuman yang setimpal adalah hukuman mati dan itu memang syaratnya masuk semua."

"Kami melihat beberapa hari ini ada beberapa kasus muncul dan itu bisa digunakan mulai penyidikan hingga penuntutan."

"Jadi, enggak usah takut karena produk hukumnya sudah jelas ada," urai Bima, Selasa (11/1/2022), dikutip dari TribunJabar.

Ia menilai tuntutan yang diajukan merupakan keseriusan penegak hukum untuk menyampaikan kepada warga soal kasus kejahatan anak masuk dalam extra specialist crime dan tuntutannya adalah hukuman mati.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W, TribunJabar/Nazmi Abdurrahman/Sidqi Al Ghifari/Muhamad Nandri Prilatama)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved