HARI IBU: Saatnya Para Ibu Jadi Trendsetter Pemilah Sampah Rumah Tangga Supaya Bernilai Ekonomi
Hari Ibu 22 Desember dapat menjadi momentum bagi kaum ibu untuk menjadi agen perubahan dalam hal lingkungan hidup dan ekonomi di rumah dan lingkungan.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Hermawan Aksan
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Hari Ibu 22 Desember dapat menjadi momentum bagi kaum ibu untuk menjadi agen perubahan dalam hal lingkungan hidup dan ekonomi di rumah dan lingkungannya sendiri.
Hal ini dapat dimulai dengan mengolah dan memilah sampah di rumah untuk menjadi barang bernilai ekonomi dan tidak mencemari lingkungan.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja menyatakan seorang ibu memiliki peran penting dalam menggerakkan ekonomi sirkular pengelolaan sampah rumah tangga.
Menurut Setiawan, dalam rumah tangga, ibu dapat mendorong anggota keluarga untuk sama-sama mengurangi atau memilah sampah, menyediakan fasilitas sampah, dan mengedukasi anggota keluarga soal pentingnya pengelolaan sampah sejak dari rumah.
"Peran-peran ibu-ibu sangat tinggi. Bagi yang keseharian di rumah ataupun yang dibantu asisten rumah tangganya, bisa memberikan arahan-arahan kepada yang ada di lingkungan rumah," kata Setiawan saat membuka diskusi "Circular Economy Persampahan" bertema "Peran Ibu dalam Mengurangi Sampah" di Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (21/12/2021).
Setiawan pun menuturkan bahwa Provinsi Jabar, dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa, berpotensi mengalami permasalahan sampah apabila masyarakat tidak bijak dalam mengelola sampah.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Februari 2019, Indonesia menghasilkan 64 juta ton timbunan sampah setiap tahun.
Dari jumlah tersebut, 60 persen di antaranya merupakan sampah organik dan 14 persen sampah plastik.
"Kalau kita tumpukan itu jauh lebih tinggi dari Monumen Nasional (Monas) di Jakarta."
"Hal ini masalah karena lahan kita untuk menampung sampah, apabila tidak dikelola sebelumnya, itu tidak pernah akan cukup memenuhi harapan kita," kata Setiawan.
Padahal, menurut Setiawan, sampah yang dihasilkan orang Indonesia pada umumnya adalah sampah organik yang sebenarnya bisa diuraikan oleh bakteri pengurai.
"Artinya, kita punya harapan. Kita bisa mengolah sampah yang organik ini, misalnya, sejak dari rumah."
"Yang plastik bisa kita pilah, lalu kemudian sekarang sudah banyak bank-bank sampah yang mengambil dan deliver ke tempat-tempat pengolahan, khususnya untuk plastik," ucapnya.
"Sekarang sudah banyak juga perusahaan-perusahaan, misalnya, yang bisa mengambil sifatnya electronic waste."
"Tapi yang terpenting bagaimana kita bisa mengelola dari rumah sebelum dibawa transporter," imbuhnya.
Selain sampah organik dan plastik, Indonesia pun memiliki masalah soal sampah makanan atau food waste.
Saat ini, Indonesia berpredikat sebagai pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
Berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Tahun 2020, sekitar 50,8 persen rumah tangga di Indonesia tidak memilah sama sekali sampah.
Sementara 48,2 persen rumah tangga sudah mulai memilah.
Dari hasil survei, sekitar 79 persen rumah tangga merasa repot untuk memilah sampah, 17 persen beranggapan sampah akan tercampur kembali di TPS/ TPA, 3 persen menganggap tidak ada manfaat, dan alasan lainnya sebanyak 1 persen.
"Barangkali budaya tidak ingin repot ini bagaimana sekarang hasil webinar ini, ibu-ibu bisa memengaruhi atau menjadi agent of change."
"Yang tidak ingin repot kita jadikan mereka-mereka ini bisa mengubah mindset bahwa kita harus memilah sampah rumah tangga," ucap Setiawan.
"Sampah yang telah dipilah dengan baik dapat memberi keuntungan dan menciptakan ekonomi sirkular dari pengolahan sampah," tambahnya.
Setiawan mengatakan, potensi ekonomi dari pengelolaan sampah terbilang besar.
Ia pun mencontohkan hasil pengelolaan sampah plastik bisa menjadi campuran cairan aspal.
Sebanyak 3-5 ton sampah plastik dapat diolah menjadi jalan sepanjang 1 kilometer.
Kemudian, 15 ton sampah plastik mampu menghasilkan 7,5 megawatt.
Lalu, cacahan biji plastik dapat diolah menjadi botol dan gelas plastik dengan omzet usaha hingga ratusan juta rupiah per bulan.
"Intinya, kita ingin mengubah paradigma pengelolaan sampah dengan mengurangi sampah."
"Yang utama reduce, reuse, recycle. Kuncinya sosialisasi dan edukasi," katanya.
"Terakhir, baru menangani sampah, mulai dari pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, pemrosesan akhir."
"Inilah dibutuhkan kerja sama dengan banyak pihak," imbuhnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar Prima Mayaningtyas melaporkan bahwa satu warga Jabar dapat menghasilkan sekira 0,497 kg/orang/ hari sampah.
Jika diakumulasikan, ada kurang lebih 24.790 ton sampah dihasilkan setiap harinya di Jabar.
Dari jumlah tersebut, 43 persen sampah organik, 15 persen sampah plastik, 11 persen sampah kertas, 2 persen sampah logam, 0.9 persen sampah karet, 2 persen sampah kain, 3 persen sampah kaca, dan 11 persen sampah lain-lain.
Prima menuturkan, pihaknya menargetkan pengurangan 30 persen sampah pada 2025.
Dalam skala regional, Jabar sendiri saat ini baru mampu mengurangi sampah sebesar 6,52 persen.
"Peran besar dari ibu rumah tangga mengurangi dari sumbernya," kata Prima.
"Peran ibu-ibu bagaimana mengurangi secara aksi, dan mengedukasi anggota keluarga dan masyarakat sekitar."
"Kami berharap webinar ini memberikan wawasan," imbuhnya.
Prima juga menyebut, ibu adalah potensi besar dalam menekan jumlah sampah di Jabar.
Apalagi di Jabar, terdapat sebanyak 52.193 RW, 5.312 desa, 645 kelurahan.
"Semuanya banyak ibu-ibu di kecamatan, di RW berpotensi mengurangi sampah yang ada di Jawa Barat," ucapnya.
Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Provinsi Jabar Dwina Roosmini Setiawan berkeinginan membuka pandangan ibu terkait pengelolaan sampah, khususnya sampah rumah tangga, sehingga ibu dapat menjadi sosok sentral dalam rumah tangga yang siap menjadi agent of change.
"Kami (Ibu-ibu) ini bisa ditunjuk, diberdayakan, sebagai agent of change untuk perubahan perilaku."
"Perubahan perilaku hal yang sangat penting dalam pengelolaan persampahan ataupun dalam instrumen pengelolaan lingkungan secara umum," tutur Dwina.
Dalam membentuk mindset kesadaran dalam pengelolaan sampah, kata Dwina, sejumlah hal yang perlu ditekankan di antaranya risk awareness, health knowledge, personal norm, social support, dan action knowledge.
"Maka akan jadi dasar di dalam pikiran dan hati, sehingga perubahan perilaku akan terjadi," katanya.
Dwina menyebut DWP Jabar siap membantu dan mendukung ekonomi sirkular pengelolaan sampah di Jabar.
Ia pun mengatakan bahwa teknologi apa pun yang dihadirkan harus sesuai kondisi sosial. (*)