Guru Rudapaksa Santri
Istri Herry Wirawan Disebut Terlibat Dalam Kasus Rudapaksa 13 Santriwati, Dugaan Kuasa Hukum Korban
Menurut Yudi Kurnia, istri Herry Wirawan pernah melihat seorang santriwati di yayasan suaminya tengah hamil.
Penulis: Nazmi Abdurrahman | Editor: taufik ismail
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nazmi Abdurahman
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Istri Herry Wirawan (36), diduga mengetahui kelakukan bejat suaminya yang merudapaksa 13 anak di Yayasan miliknya sejak 2016.
Hal itu diungkapkan Yudi Kurnia, kuasa hukum 11 korban rudapaksa Herry Wirawan, saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Bandung, Selasa (21/12/2021).
Menurut Yudi, istri pelaku secara terbuka melalui Youtube mengaku mengetahui ada anak yang hamil saat belajar di yayasan milik suaminya.
"Istrinya pelaku ini tahu, kenapa tidak melapor dan memberitahukan kepada orang tua atau polisi kalaupun ada yang memperkosa. Kalau istrinya tidak curiga pada suaminya, harusnya melapor karena dia sebagai penanggung jawab atau pengasuh," ujar Yudi.
Kejadian ini, kata dia, tidak berdiri sendiri antara Herry dengan korban saja.
Sebab, korban bisa sampai ke tempat Herry ada yang menginformasikan bahwa di situ ada sekolah gratis.
"Ini harus dilacak siapa orang ini. Jangan-jangan ada sindikat," katanya.
Sayangnya, kata dia, fakta-fakta tersebut luput dalam penyidikan dan berita acara.
"Seolah-olah peristiwa ini hanya antara pelaku dan korban," ucapnya.
Ingin Dihukum Mati
Keluarga korban meminta Herry Wirawan (36), pelaku rudapaksa terhadap 13 santriwatinya, dihukum mati.
Hal itu diungkapkan Yudi Kurnia, kuasa hukum dari 11 korban, saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (21/12/2021).
"Korban menginginkan pelaku ini dijerat dengan hukuman mati sesuai dengan undang-undang perlindungan anak perubahan kedua," ujar Yudi.
Namun, kata dia, dalam tuntutan jaksa malah menerapkan undang-undang perlindungan anak perubahan kesatu.
"Dalam perubahan kesatu enggak ada hukuman mati atau kebiri. Ancaman 15 tahun dan di dalam pasal 81 ayat 3 ada pemberatan karena pelaku adalah guru, jadi ancaman hukuman 20 tahun," katanya.
Ia berharap jaksa penuntut umum mengubah tuntutannya dengan menerapkan undang-undang perubahan kedua yang mengatur kebiri dan hukuman seumur hidup.
"Mudah-mudahan dalam tuntutan diterapkan itu," ucapnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Herry dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP untuk dakwaan primernya.
Sedang dakwaan subsider, melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Terdakwa diancam pidana sesuai Pasal 81 Undang-undang Perlindungan Anak, ancamannya pidana 15 tahun. Namun, perlu digarisbawahi, ada pemberatan karena dia sebagai tenaga pendidik sehingga hukumannya menjadi 20 tahun," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Jawa Barat, Riyono.
Terus dikembangkan
Polda Jawa Barat bakal melakukan pengembangan kasus Herry Wirawan.
Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Suntana, mengatakan, meski saat ini kasus Herry Wirawan sudah masuk ke persidangan, anggotanya masih melakukan penyelidikan dan tidak menutup kemungkinan bakal ada temuan baru.
"Dalam penyidikan bisa saja timbul temuan baru dan kepolisian dalam kapasitas melakukan penyidikan," ujar Sunata, di Polrestabes Bandung, Senin (20/12/2021).
Polda Jabar, kata dia, terbuka dengan setiap informasi yang dilaporkan masyarakat terkait kasus Herry.
"Tetap (terima laporan terbaru)," katanya.
Dalam kasus ini, muncul sejumlah temuan dan fakta baru seperti bertambahnya korban dari 12 menjadi 13 orang.
Kemudian, Herry juga diduga telah menyelewengkan dana bantuan pemerintah serta dugaan eksploitasi bayi hasil rudapaksa yang dianggap anak yatim-piatu dan dijadikan alasan untuk meminta bantuan dari Pemerintah.
Karakter Psikopat
Psikiater atau pakar kejiwaan, Teddy Hidayat mengungkapkan ada karakter psikopat pada Herry Wiriawan.
"Pada pelaku ditemukan super ego yang karakteristik untuk psikopat. Seseorang dengan psikopat dapat dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum yaitu di pengadilan anak yang dilakukan secara tertutup," ujar Teddy Hidayat, dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/12/2021).
Dokter spesialis kedokteran jiwa dan konsultan di RS Melinda 2 Bandung ini juga memberikan catatan penting untuk jaksa dan majelis hakim di pengadilan, bahwa pada psikopat tidak ada penyesalan atau rasa bersalah.
"Pada psikopat sulit belajar dari pengalaman dan tidak ada rasa bersalah, sehingga cenderung akan mengulangi perbuatannya," katanya.
Selain itu, kata dia, Herry juga mengalami judgement atau gangguan penilaian sehingga tidak mampu membedakan yang benar dan tidak.
"Semua aturan, disiplin dan norma yang berlaku dilanggar untuk memuaskan dorongan id atau nafsunya. Super ego atau hati nuraninya dikuasai oleh id atau nafsunya. Pada pelaku ditemukan superego lacunae yang karakteristik untuk psikopat," ucapnya.
Kekerasan seksual pada anak, kata dia, banyak terjadi di masyarakat, namun tersembunyi seperti gunung es.
Bila ada satu kasus yang dilaporkan, ujar Teddy, sebenarnya masih ada sembilan kasus lain yang tidak terlaporkan.
Pelaku kekerasan seksual juga, kata dia, umumnya dilakukan orang dewasa yang dikenal oleh korban, dapat anggota keluarga yang dipercaya, pengasuh, guru baik di sekolah formal maupun pesantren.
"Semua pihak yang senantiasa berdampingan dengan anak seperti orang tua, pengasuh, guru, lingkungan sekolah harus mengenal dan mampu menditeksi kekerasan seksual pada anak," katanya.
Seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual, kata Teddy, akan mengalami dampak fisik, psikis, sosial yang bekepanjangan.
"Stimulasi seksual dan perkosaan adalah faktor predisposisi terhadap gangguan psikiatrik di kemudian hari, fobia, cemas, tidak berdaya, depresi (rasa malu, bersalah, citra diri buruk, perasaan telah mengalami cedera permanen), pengendalian impuls, merusak bahkan terjadi bunuh diri," ucapnya.
Dalam kondisi seperti ini perlu intervensi terhadap korban oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan anak.
"Kondisi fisik termasuk penyakit menular seksual dan HIV dan gangguan jiwa harus dilakukan penatalaksanaan," katanya.
"Intervensi psikis tidak hanya dilakukan sekitar peristiwa itu terjadi, tetapi diperlukan pendampingan sepanjang hidupnya, meliputi mengembangkan strategi koping, terapi perilaku, psikoterapi, latihan keterampilan sosial dalam lingkungan yang aman," ucapnya. (*)
Baca juga: Keluarga Korban Minta Herry Wirawan Dihukum Mati, Namun Jaksa Cuma Beri Tuntutan Penjara Segini