Kisah Dani di Sumedang, Meski Kehilangan Kaki, Cuan dari Usahanya Bisa Rp 15 juta per bulan

Inspirasi dari Dani warga Sumedang. Meski kehilangan kaki kanan, dia bisa raup cuan Rp 15 juta per bulan dengan membuat arang

Penulis: Kiki Andriana | Editor: Mega Nugraha
Tribun Jabar / Kiki Andriana
Dani Ramdani saat dikunjungi TribunJabar.id di sebuah saung di dekat lubang-lubang pembakaran arang di Cijeruk, Pamulihan, Sumedang, Minggu (19/12/2021). 

Di Jambi, Dani malah tidak bekerja dengan jelas. Dia disuruh sebuah keluarga untuk hanya memandikan anak kecil, sampai seminggu dia merasa bosan dan pamit pergi.

Dari Jambi, dengan uang hasil bekerja seminggu, dia pergi menumpang travel ke Padang dan begitu sampai di tempat itu dia tidur di bangku jongko pedagang buah.

Menghabiskan semalam di daerah pasar, Dani harus mendapati dirinya terbangun karena disiram orang. Rambutnya yang panjang membuat orang menyangkanya sebagai orang gila yang berbicara bahasa Sunda.

Orang gila yang melawan itu menjadi sasaran pukul orang-orang pasar, hingga seseorang asal Tasikmalaya yang lama tinggal dan menikah dengan wanita Padang mendengar bahasa yang terucap dari mulut Dani.

"Saya ditolong orang Tasikmalaya itu, malah diajak bekerja di lahan tambang," katanya.

Kata tambang yang diucapkan warga Padang itu mula-mula hanyangan tambang "arang". Dani langsung mengiayakan untuk bekerja sebab bekerja adalah tujuan utamananya. Namun, dia kaget ketika arang yang dimaksud itu lebih hitam daripada arang yang ada di pikirannya. Itulah batu bara.

Pada 2010, dia tertegun ketika memasuki area tambang di tengah hutan itu. TribunJabar.id menelusur data tambang di sekitar daerah Padang. Tambang itu adalah tambang batu bara Ombilin, tambang bawah tanah tertua di Asia, dan letaknya 70 kilometer timur laut dari Kota Padang.

"Sudah was-was saja, apakah lubang-lubang bawah tanah itu tempat saya bekerja. Tapi saya kemudian meneguhkan hati, ini nasi sudah menjadi bubur, lauk geus asup kana bubu (ikan sudah masuk perangkap), apapun mesti saya lewati," katanya.

Dia bekerja, namun 3 hari saja sudah diupah Rp300ribu. Sangat aneh, sebab latar belakangnya sebagai pembuat bata merah tidak memberikan pengalaman mendapat uang semudah itu.

Gajinya meningkat Rp 3,5 juta dalam seminggu. Belum lagi jika dia mengerjakan pekerjaan di luar kewajibannya. Uang yang dia dapatkan melimpah.

Sisa dipakai sehari-hari dan mengirimi anaknya dan istrinya yang pulang sejenak setelah habis masa kontrak dari Timur Tengah dan kemudia berangkat lagi beberapa tahun setelahnya, Dani bisa menabung.

"Saya kumpulkan uang Rp180 juta selama 7 tahun bekerja," katanya.

Uang itu dia gunakan untuk membeli mesin giling tanah untuk membuat bata yang di kemudian hari membuatnya celaka. Mesin itu dia beli karena ketika itu mendapatkan tawaran untuk pembuatan bata, untuk dikirim ke Mentawai pascatsunami.

Saat menyewa lahan dan memulai usaha bata merah, Dani masih bekerja di tambang. Dia menggaji empat orang pekerja.

Suatu hari sepulang dari tambang, Dani masuk ke pabrik bata miliknya, menyuruh empat pekerjanya istirahat dan salat. Namun, keempatnya tidak beranjak. Katanya, mereka sedang tanggung bekerja.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved