Santriwati Bandung yang Diperkosa Herry Wirawan Jadi Kuli Bangunan: Disuruh Nembok sampai Ngecat
Guru pesantren bejat Herry Wirawan ternyata tak hanya perkosa santriwati hingga hamil, dia juga mempekerjakan korbannya sebagai kuli bangunan.
Penulis: Cipta Permana | Editor: Mega Nugraha
Laporan wartawan TribunJabar.id, Cipta Permana.
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Guru pesantren bejat Herry Wirawan ternyata tak hanya perkosa santriwati hingga hamil, dia juga mempekerjakan korbannya sebagai kuli bangunan.
Herry Wirawan merupakan pengurus sekaligus pemilik Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani. Dia juga mendirikan Rumah Tahfiz di kawasan Cibiru Kota Bandung.
Pemerkosaan itu sendiri dilakukan pada 12 santriwati sejak 2016 dan baru terungkap Desember 2021 setelah viral diungkap netizen di media sosial.
Baca juga: MUI Kota Bandung Minta Warga Berhenti Sebar Berita Buruk Aib Kasus Herry Wirawan Perkosa Santriwati
Berada di kawasan permukiman, yakni RT 05 RW 08 Kompleks Yayasan Margasatwa di Kelurahan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Pondok Pesantren Madani Boarding School sekaligus Rumah Tahfiz berada.
Tokoh masyarakat setempat, yang juga sekretaris RT 05 Agus Tatang mengaku, sejak di datangi petugas kepolisian sekitar delapan bulan lalu, aktivitas kegiatan di Pondok Pesantren Madani Boarding School berhenti total.
Para santri yang seluruhnya perempuan pun dipindahkan entah kemana.
"Tempat itu pernah digerebek polisi dan minta ditutup aktivitas kegiatan disana. Kejadiannya udah lama, setelah lebaran atau sekitar delapan bulanan kemarin gitu. Setelah digerebek polisi, udah engga pernah ada aktivitas lagi disana, sampai sekarang soalnya udah di tutup," ujarnya saat ditemui di sekitar pondok pesantren Madani Boarding School, Jumat (10/12/2021).
Agus mengatakan, sejak berdirinya pondok pesantren sekitar tiga tahun lalu, aktivitas kegiatan di tempat tersebut, tergolong tertutup. Termasuk dalam hal sosialisasi dengan warga di luar pondok pesantren.
Baca juga: Polda Jabar Akui Sengaja Tak Ekspose Kasus Pemerkosaan Santriwati oleh Herry Wirawan Guru Pesantren
"Kegiatan disana mah tertutup, paling yang kita tahu seperti ada pengajian gitu lah. Selain itu kita engga ada yang tahu apa aja dan ngapain aja kegiatan santri di dalam sana. Malahan pengurusnya yang sekarang di tahan polisi (Herry Wirawan) jarang kelihatan di sini, paling sesekali lah adanya, kalau dia nginep di sini atau engga nya mah kita engga tahu," ucapnya.
Ia pun menuturkan, tidak pernah menduga bahwa aktivitas kegiatan yang tertutup tersebut, ternyata terjadi tindakan tidak bermoral dari oknum pendidik tersebut, kepada anak didiknya.
"Karena tertutup, kita juga engga tahu bakal ada kejadian kayak gini. Saya aja masuk ke dalam pesantren itu cuma pas ada kejadian itu (penggerebekan) aja, baru bisa tahu suasana di dalamnya seperti apa. Selama ini mana bisa orang luar masuk kesana," ujarnya
Baca juga: Kasus Santriwati di Bandung Dirudapaksa Guru Ngaji Dirahasiakan, Akhirnya Dibongkar Netizen
Menurutnya, situasi di dalam Pondok Pesantren Madani Boarding School tersebut berupa kamar-kamar yang diduga digunakan untuk para santriwati beristirahat.
Dari dua lantai bangunan, terdapat lima kamar di bagian atas dan tiga kamar lainnya di bagian bawah, serta satu ruangan lainnya yang diduga sebagai tempat istirahat bagi penjaga pondok pesantren.
Ia pun menuturkan, aktivitas para santriwati di luar pondok pesantren, hanya untuk membeli kebutuhan di warung. Selain, kegiatan di dalam pondok pesantren yang tertutup, namun juga komunikasi dari para santrinya pun demikian.
"Selama ini, memang engga ada yang aneh dari sikap para santri disana. Paling kalau mereka (santriwati) keluar pondok, cuma untuk beli apa gitu di warung. Selain itu, mereka juga jarang atau engga pernah ngobrol sama warga di sini. Kalau misalnya, kita ngerasa atau melihat semacam keanehan, mungkin pastilah kita tanya. Jadi aktivitas para santri di luar juga cuma buat ke warung aja terus masuk lagi, gitu aja terus," ucapnya.
Santriwati Jadi Kuli Bangunan
Agus menjelaskan, selain belajar agama, para santriwati juga diminta untuk bekerja mengerjakan proses pembangunan yang dilakukan di pondok pesantren tersebut. Dimana yang seharusnya pekerjaan kasar itu dilakukan oleh laki-laki, namun hal itu dilakukan oleh para santriwati.
"Kalau ada proses pembangunan di sana, santriwati yang disuruh kerja, ada yang ngecat, ada yang nembok, yang harusnya mah ladennya (buruh kasar) dikerjain sama laki-laki. Tapi di sana mah perempuan semua enggak ada laki-lakinya," ucapnya.
Ia mengaku tidak pernah melihat ada santriwati yang seperti tengah dalam kondisi berbadan dua, karena selain pakaian yang panjang dan longgar, namun Ia merasa hal itu tidak mungkin terjadi.
Terlebih, menurutnya Madani Boarding School merupakan pendidikan berbasis agama.
Selain itu, meskipun Herry Wirawan tergolong sosok yang jarang berkomunikasi dengan warga, namun dari sikap, warga menilai yang bersangkutan merupakan orang baik. Setiap datang ke pondok pesantren tersebut pun, Herry terkadang menggunakan motor atau mobil.
Namun ternyata, dibalik tampang polosnya tersebut, justru warga merasa tertipu. Kedok Herry Wirawan baru diketahui warga, khususnya dirinya yang menjabat sebagai pengurus RT, saat petugas kepolisian datang untuk melakukan penggerebekan.
Baca juga: Gurunya Rudapaksa 12 Santriwati, Kementerian Agama Cabut Izin Pondok Pesantren di Bandung
Bahkan menurutnya, sebelum dilakukan hal tersebut, petugas kepolisian sempat datang ke rumahnya dan berkomunikasi dengannya. Ia pun menanyakan, ada peristiwa apa sehingga petugas kepolisian datang ke wilayahnya.
"Sebelum penggerebekan di sana, malahan sempat datang dulu ke rumah, ngobrol sama saya. Saya tanya ada kejadian apa, awalnya waktu itu engga diceritakan ada masalah apa. Tapi setelah tahu saya sekertaris RT, baru diceritakan bahwa ada masalah pelecehan anak katanya. Saya juga kaget dan engga percaya, jadi saya tanya lagi, yang bener pak, polisinya bilang iya, tersangkanya udah ditangkap ada di mobil (polisi). Jadi ditangkapnya mah bukan di sini, kan ada dua pesantrennya sama yang di Antapani," ucapnya.
Agus menjelaskan bahwa, usia para santriwati di dalam Pondok Pesantren Madani Boarding School itu sekitar di bawah 16 tahun.
Atas adanya peristiwa tersebut, sebagai pengurus RT pun geram dan merasa kecolongan. Dugaannya selama ini, bahwa pondok pesantren tersebut digunakan untuk tempat belajar agama, ternyata justru menjadi tempat tindak asusila.
"Ya kesel aja merasa kecolongan dari adanya kejadian ini, engga ada satu warga pun yang menduga bakal ada seperti ini. Yang seharusnya pesantren itu tempat belajar agama, malah begini. Jadi kasihan lah ke santriwatinya, hancur lah masa depannya. Kalau tahu dari dulu mungkin bisa kita dicegah. Jadi marah lah warga disini juga ke dia (pelaku)," katanya.
Baca juga: Jalan Tol ke Bandara Kertajati Siap Beroperasi, Bisa Diakses dari Bandung via Tol Cisumdawu
Pilu Orangtua
Pilu. Itulah gambaran perasaan keluarga korban rudapaksa guru agama di Bandung. Dari 12 korban, 11 di antaranya berasal dari Kabupaten Garut.
Bukan cuma keluarga, kekecewaan juga dirasakan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan.
Dia merasakan betul rasa marah dan perasaan yang berkecamuk dari para orang tua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban perkosaan gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat, itu.
Korban rudapaksa guru pesantren bernama Herry Wiriawan yang berasal dari Garut ternyata masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
Diah menyaksikan pilunya momen pertemuan para orang tua dengan anak-anaknya yang sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren, ternyata telah memiliki anak setelah dirudapaksa guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia empat bulan oleh anaknya, semuanya nangis," kenang Diah.
Orang tua korban pun berat terima kenyataan
Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orang tua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut Diah, juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orang tua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung, sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orang tua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Orang tua dan korban sama-sama diberi terapi psikologi Kasus ini, menurut Diah, sangat menguras emosi semua pihak. Apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.
"Sama, kami semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orang tua mereka," kata Diah.
Orangtua korban kebanyakan bukan orang mampu
Menurut Diah, P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orang tuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya.
Bahkan, jika para orang tua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut. Karena, para orangtua korban, menurut Diah, bukan orang-orang yang tergolong mampu.
Mereka, kebanyakan adalah buru harian lepas, pedagang kecil dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa pesantren sambil sekolah gratis di pesantren tersebut.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.
Kisah orang tua, yang anaknya lahirkan dua anak
Diah menceritakan ada anak korban Herry Wirawan sampai melahirkan dua kali. Anak pertamanya berusia 2,5 tahun dan beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua.
"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," kata Diah.
Korban yang melahirkan paling akhir pada bulan November ini usianya masih 14 tahun.
Setelah melahirkan, dia pun menawarkan bantuan jika orang tuanya tidak sanggup mengurus. Namun, orang tuanya mau mengurusnya.
"Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya. (*)