Demo Buruh di Jabar
Tuntut Kenaikan Upah Minimum dan Pembatalan Uu Cipta Kerja, Buruh Ancam Mogok Nasional
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto Ferianto, mengatakan pihaknya menyuarakan mogok daerah dan mogok nasional
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Siti Fatimah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto Ferianto, mengatakan pihaknya menyuarakan mogok daerah dan mogok nasional menjelang akhir 2021.
Hal tersebut sebagai bentuk protes terhadap UU Cipta Kerja dan bentuk kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang dinilai kurang memperhatikan aspirasi buruh dan pekerja dalam penetapan upah minumum 2022.
"Mogok nasional dan mogok daerah terpaksa kaum buruh lakukan karena pemerintah memaksakan kehendak untuk mendegradasi hak-hak kaum buruh," katanya melalui ponsel, Rabu (17/11).
Baca juga: Serikat Buruh Kota Bandung Siap Gelar Aksi Turun ke Jalan, Jika Tuntutan Soal Upah Tak Dipenuhi
Serikat pekerja dan serikat buruh di tingkat nasional dan daerah, katanya, sudah sepakat untuk melakukan mogok daerah dan nogok nasional dengan dengan sejumlah tuntutan.
Tuntutam pertama, katanya, meminta MK membatalkan UU Cipta Kerja.
Kemudian menuntut penetapan Upah Minimum Tahun 2022 naik sebesar 10 persen.
"Mogok akan kita lakukan sebelum penetapan Upah Minimum Tahun 2022 dan di bulan Desember 2022, apabila MK tidak membatalkan UU Cipta Kerja yang menurut kami bertentangan dengan UUD 1945 dan UU 12 tahun 2011," katanya.
Ia menekankan dalam fakta-fakta persidangan, semua ahli menyatakan bahwa metode Omnibus Law tidak dikenal dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca juga: Ridwan Kamil Sebut Penetapan UMK Harus Sejahterakan Buruh dan Pelaku Industri
Karenanya, buruh pun mendesak MK memnatalkan UU tersebut.
Mengenai upah minimum, ia mengatakan para buruh menuntut pemerintah untuk menetapkan upah minimum 2022 tanpa menggunakan formula perhitungan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Alasannya, UU Cipta Kerja yang diuji secara formil dan materil di Mahkamah Konstitusi belum ada putusan, dan kita sedang menunggu jadwal sidang pembacaan putusan, karena PP 36 Tahun 2021 merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja dan UU-nya sedang diuji," katanya.
Pemerintah, katanya, harus menghormati proses hukum di MK dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja, termasuk peraturan turunannya sampai adanya putusan MK baik secara formil dan materil.
"Penetapan upah minimum berdasarkan PP 36 tahun 2021 menghilangkan hak buruh melalui Dewan Pengupahan untuk berunding karena semua data-data sudah diputuskan oleh Badan Pusat Statistik atau BPS sehingga fungsi Dewan Pengupahan hanya legitimasi dan mengamini saja," kata Roy.
Baca juga: Tunggu Keputusan Bupati Sukabumi, Jika UMK Tak Naik 8 Persen, Buruh Ancam akan Demo Besar-besaran
Dengan demikian, kata Roy, hal tersebut bertentangan dengan Konvensi ILO 98 tentang Hak Berunding Bersama dan juga Kepres Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan.
Dalam PP 36 Tahun 2021, kata Roy, disyaratkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kabupaten atau kota tiga tahun terakhir. Sedangkan faktanya, tidak semua kabupaten dan kota menghitung dan merilis pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan tersebut.