Detik-detik AH Nasution Selamat dari Penculikan G30S/PKI, Ada Peran Sang Istri dan Pierre Tendean

Seperti apa mencekamnya malam peristiwa G30S/PKI, sempat diceritakan oleh putri sulung Jenderal (Purn) AH Nasution, Hendriyanti Sahara.

Editor: Yongky Yulius
KOMPAS.COM/Wienda Putri Novianty
Diorama di dalam Museum Jenderal AH Nasution. 

TRIBUNJABAR.ID - Seperti apa mencekamnya malam peristiwa G30S/PKI, sempat diceritakan oleh putri sulung Jenderal (Purn) AH Nasution, Hendriyanti Sahara atau yang kerap disapa Yanti Nasution.

Saat pasukan Cakrabirawa merangsek ke rumahnya, sebenarnya  Johanna dan AH Nasution sudah terbangun karena ada nyamuk.

Saat itu, mereka berdua tidur dengan sang putri bungsu, Ade Irma Nasution.

Di saat bangun itu lah, pasukan Cakrabirawa mencoba merangsek ke rumah mereka.

"(Mereka terbangun saat) persis pintu depan bunyi, dibuka orang," ujar Yanti, dikutip Tribunjabar.id dari video di channel Youtube iNews Magazine yang tayang pada 29 September 2017.

Selanjutnya, Johanna mengintip. Ia melihat ada pasukan Cakrabirawa masuk.

Betapa beraninya istri AH Nasution, Johanna Sunarti saat malam peristiwa G30S/PKI, sempat diceritakan oleh Hendriyanti Sahara atau yang kerap disapa Yanti Nasution.
Betapa beraninya istri AH Nasution, Johanna Sunarti saat malam peristiwa G30S/PKI, sempat diceritakan oleh Hendriyanti Sahara atau yang kerap disapa Yanti Nasution. (Istimewa via Tribunnews.com)

Johanna memang sudah memiliki firasat bahwa akan ada orang yang berniat membunuh suaminya.

Karena itu, ia langsung bilang ke Nasution untuk jangan keluar.

"Lalu, mamah bilang sama ayah, 'itu yang membunuh kamu sudah datang, kamu jangan keluar, tutup pintu'. Pintu ditutup sama mamah," ujar Yanti.

Namun, AH Nasution sempat tak menggubris perkataan istrinya. Ia malah berniat menghadapi pasukan tersebut.

Sekali lagi, Johanna mengingatkan suaminya, bahwa yang dicari pasukan itu adalah seorang AH Nasution.

"Tapi ayah nekat, buka pintu itu lagi. Ditembak lagi. Di depan pintu ditembak lagi. Terus ayah menjatuhkan diri. Pelurunya lewat atas kepala mamah," ujar Yanti.

Tembakan itu membuat penghuni lain di rumah tersebut terbangun.

Ibunda AH Nasution pun ikut terbangun dan keluar dari kamarnya.

Ia menangis. Namun, Johanna menenangkannya agar tak menangis.

Baca juga: Ketampanan Pierre Tendean Korban G30S Jadi Magnet Kaum Hawa, Bikin Salfok Tiap Kawal AH Nasution

Berikutnya, Johanna menyerahkan putri bungsunya, Ade Irma ke Mardiah.

Mardiah adalah tante dari Ade Irma dan Yanti.

"Mungkin kan suasananya seperti itu. Tante saya (malah) keluar dari pintu yang Cakrabirawanya di situ.

"Adik saya tertembak lagi di situ. Adik saya tertembak, pintu ditutup lagi oleh ibu saya. Terus ibu saya yang lihat adik saya sudah tertembak," ujar Yanti.

Sambil menggendong Ade Irma yang sudah berdarah, Johanna meminta suaminya untuk menyelamatkan diri.

Ade Irma Nasution dalam Film Pengkhiatan G30S/PKI.
Ade Irma Nasution dalam Film Pengkhiatan G30S/PKI. (Youtube)

Akhirnya, ia membawa AH Nasution untuk melompati tembok Kedubes Irak yang berada di samping rumahnya.

"Di situ, ayah sudah naik, terus mau turun lagi. Terus mamah bilang, 'sudah jangan pikirkan kita, kamu yang dicari'," ujarnya.

AH Nasution akhirnya berhasil melarikan diri.

Sementara itu, Johanna yang masih menggendong Ade Irma mencoba untuk menelpon Mayjen Umar Wirahadikusuma.

Namun, panggilan tak tersambung. Teleponnya ternyata sudah diputus.

Di dalam rumahnya, Johanna pun sempat bertemu dengan pasukan Cakrabirawa.

Salah seorang anggota pasukan itu bertanya keberadaan AH Nasution.

"Mamah jawab, 'Pak Nasution sudah 2 hari tidak di rumah'," ujar Yanti.

Baca juga: Mengenang Kisah Hidup Pierre Tendean, Berkorban Demi Lindungi Jenderal AH Nasution di Malam G30S

Tak disangka, Johanna yang masih menggendong Ade Irma malah mengantar beberapa pasukan Cakrabirawa sampai ke depan rumah.

Johanna memastikan sampai pasukan itu benar-benar pergi.

Selanjutnya, Johanna mencoba mencari bantuan agar bisa membawa Ade Irma yang terluka ke rumah sakit.

"Ibu saya bilang, 'kamu tinggal di sini, kamu cari perlindungan dulu. Mamah mau bawa adek dulu ke rumah sakit'. Ibu saya berangkat ke RSPAD, saya masih ngumpet di belakang sama tante saya yang kena tembak sama nenek saya," kata Yanti.

Akhirnya, jam setengah 8 pagi, Yanti ke RSPAD.

Di sana, ia juga melihat ada anggota keluarga DI Pandjaitan yang terluka.

"Terus saya lihat adek saya sudah berdarah-darah. Lihat dia saya nangis. Dia bilang 'kakak jangan menangis' Terus dia tanya 'mamah kenapa ayah ditembak'. Itu yang terakhir saya lihat," ujarnya.

Ade Irma Nasution wafat di rumah sakit pada usianya yang masih kecil, 5,5 tahun.

Tonton videonya: Yanti Nasution ceritakan detik-detik pasukan Cakrabirawa merangsek ke rumahnya saat G30S.

Pierre Tendean Berkorban Demi AH Nasution

Dilansir Tribunjabar.id dari Kompas.com, saat itu (30/9/1965) Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu.

Kapten Tendean atau Pierre Tendean adalah ajudan AH Nasution yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi, menjadi korban G30S pada 1965.
Kapten Tendean atau Pierre Tendean adalah ajudan AH Nasution yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi, menjadi korban G30S pada 1965. (Facebook dan Kompas.com)

Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.

Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat.

Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan.

Lettu Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu.

Ternyata keributan itu berasal dari segerombol orang.

Disebutkan bahwa orang-orang yang datang ke rumah AH Nasution mengatasnamakan sebagai pasukan Tjakrabirawa.

Mereka pun menodongkan senjata sehingga Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik dan dikepung pasukan itu.

Demi melindungi atasannya, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution.

"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.

Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution pun langsung diculik.

Sementara itu, putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma pun tertembak.

Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean pun harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.

Tubuhnya yang tidak bernyawa diikat kakinya, lalu dimasukkan ke dalam sumur, di Lubang Buaya.

Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean pun tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.

Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.

Sebenarnya pada November 1965, Lettu Pierre dijadwalkan akan menikah dengan pujaan hatinya.

Ia disebut akan menikahi Rukmini Chaimin, di Medan.

Namun, takdir berkata lain. Ia meninggal mengatasnamakan atasannya di depan para pembunuh itu.

Sebagai bentuk kehormatan, ia pun dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten.

Kapten Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia, pada 5 Oktober 1965.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved