Virus Corona Ternyata Pernah Mewabah 20 Ribu Tahun Lalu di Asia Timur, Ini Hasil Penelitiannya
Studi tersebut menemukan bahwa wabah itu meninggalkan jejak dalam susunan genetik orang-orang dari Asia Timur
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNJABAR.ID, ARIZONA - Pandemi corona sudah menyerang selama hampir 2 tahun.
Hingga kini sudah ratusan juta orang yang menjadi korban di seluruh dunia, hampir 4 juta di antaranya meninggal.
Di Indonesia, jumlah kasus positif Covid-19 sudah mencapai 2 juta lebih.
Dari jumlah tersebut, 56 ribu di antaranya meninggal.
Pandemi global ini hingga sekarang belum juga bisa dikendalikan meski beragam virus telah dibuat.
Epidemi virus corona seperti ini ternyata pernah terjadi di kawasan Asia Timur lebih dari 20.000 tahun yang lalu, peristiwanya bahkan mirip seperti pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini.
Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi internasional tentang genom manusia.
Baca juga: KENALI Gejala Baru Terpapar Virus Corona Varian Delta, Ada Flu Berat sampai Kepala Pusing
Studi tersebut menemukan bahwa wabah itu meninggalkan jejak dalam susunan genetik orang-orang dari Asia Timur, daerah yang kini mencakup negara seperti China, Jepang, Mongolia, Korea Utara, Korea Selatan dan Taiwan.
Seperti yang diungkapkan para peneliti dari Queensland University of Technology, University of Adelaide, University of California San Francisco, dan University of Arizona.
"Genom manusia modern berisi informasi evolusioner yang menelusuri kembali puluhan ribu tahun lalu, seperti mempelajari silsilah pohon yang memberi kita wawasan tentang kondisi yang dialaminya saat tumbuh," kata Profesor Kirill Alexandrov dari Aliansi Biologi Sintetis CSIRO-QUT.
Dikutip dari laman The Tribune of India, Jumat (25/6/2021), dalam 20 tahun terakhir, virus corona bertanggung jawab atas terjadinya tiga wabah besar SARS-CoV yang mengarah ke Sindrom Pernafasan Akut Parah.
Yang pertama berasal dari China pada tahun 2002 dan menewaskan lebih dari 800 orang.
Kemudian ada MERS-CoV yang mengarah ke Middle East Respiratory Syndrome dan menewaskan lebih dari 850 orang.
Lalu yang ketiga adalah SARS-CoV-2 yang terjadi saat ini dan mengarah ke Covid-19, yang sejauh ini telah menewaskan 3,9 juta orang di seluruh dunia.
Terkait penelitian yang diterbitkan dalam jurnal 'Current Biology', tim menganalisis genom lebih dari 2.500 manusia modern dari 26 populasi di seluruh dunia, untuk memahami bagaimana manusia beradaptasi dengan sejarah wabah virus corona.
Tim peneliti pun menemukan peran jenis protein tertentu yang dikenal sebagai VIP (protein yang berinteraksi dengan virus), protein ini merupakan bagian dari 'mesin seluler' yang berinteraksi dengan virus yang masuk ke dalam tubuh.
Dalam jutaan tahun evolusi manusia, seleksi alam telah menyebabkan terjadinya fiksasi varian gen yang mengkode protein yang berinteraksi dengan virus (VIP) pada tiga kali tingkat yang diamati untuk kelas gen lainnya.
Dalam studi tersebut, peneliti menemukan tanda-tanda adaptasi pada 42 gen manusia berbeda yang mengkode VIP.
Baca juga: Batuk dan Demam adalah Gejala Paling Umum Anak Terpapar Covid-19, Penderita Asma Berisiko Tinggi
"Kami menemukan sinyal VIP di lima populasi dari Asia Timur dan menemukan nenek moyang orang Asia Timur modern pertama kali terpapar virus corona lebih dari 20.000 tahun yang lalu," kata Penulis utama penelitian tersebut, Dr Yassine Souilmi, dari Fakultas Ilmu Biologi University of Adelaide.
Selain itu tim peneliti juga menemukan 42 VIP, terutama yang aktif pada paru-paru, jaringan yang paling terpengaruh oleh virus corona.
"Dan mengkonfirmasi bahwa 42 VIP ini berinteraksi langsung dengan virus yang mendasari pandemi saat ini," jelas Souilmi.
Studi ini membantu mendapatkan pemahaman tentang bagaimana genom dari populasi manusia yang berbeda, bisa beradaptasi dengan virus yang baru-baru ini diakui sebagai pendorong signifikan evolusi manusia.
Ini juga dapat mendorong identifikasi virus yang telah menyebabkan epidemi di masa lalu.
"Ini, pada prinsipnya, memungkinkan kami untuk menyusun daftar virus yang berpotensi berbahaya dan kemudian mengembangkan diagnostik, vaksin, dan obat-obatan untuk mengantisipasi kembalinya virus tersebut," jelas Alexandrov.