Sosok Siti Saroyah, Guru Hamil Ambil Risiko Dilahap Buaya Demi Mengajar, Gaji Turun 3 Bulan Sekali

Guru di Sukabumi menantang maut dilahap buaya demi memberikan ilmu untuk siswanya.

Penulis: Fidya Alifa Puspafirdausi | Editor: Seli Andina Miranti
Istimewa
Siti Saroyah, guru di SMP 4 Cibitung, Dusun Ciloma Desa Cibitung, Kabupaten Sukabui mengajar di atas perahu. 

TRIBUNJABAR.ID - Guru di Sukabumi menantang maut dilahap buaya demi memberikan ilmu untuk siswanya.

Keadaan serba keterbatasan itu tidak mengurungkan niat mengajar guru honorer SMP 4 Cibitung.

Dia adalah Siti Saroyah. Guru honorer berusia 27 tahun.

Baca juga: Apa Itu Penyakit GBS? Penyakit yang Disebut Diidap Guru Susan di Sukabumi yang Lumpuh usai Divaksin

Siti Saroyah adalah guru di SMP 4 Cibitung, Dusun Ciloma, Desa/Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi.

Ia sudah tiga tahun mengajar di sekolah tersebut.

Selama pandemi Covid-19, sekolah dilarang melaksanakan belajar mengajar.

Siti Saroyah tidak mau menyerah dengan keadaan.

Siti Saroyah, guru di SMP 4 Cibitung, Dusun Ciloma Desa Cibitung, Kabupaten Sukabui mengajar di atas perahu.
Siti Saroyah, guru di SMP 4 Cibitung, Dusun Ciloma Desa Cibitung, Kabupaten Sukabui mengajar di atas perahu. (Istimewa)

Ia memutar otak agar seluruh siswanya bisa mendapat ilmu seperti sekolah biasa.

Oleh sebab itu, Siti Saroyah mengajar di atas perahu di muara Cikaso.

Siti Saroyah terpaksa mengajar tatap muka untuk beberapa siswa.

Muridnya kesulitan belajar daring sebab tidak ada sinyal dan tidak semua siswa memiliki ponsel atau telepon genggam.

Mengajar di atas perahu bukan hal mudah untuk Siti Saroyah.

Sungai tempat mereka belajar itu masih banyak buaya.

Buaya-buaya itu kerap muncul ke permukaan air.

Tidak jarang buaya menjadi penonton dan mengintai kegiatan mereka.

Baca juga: Guru di Cisolok Sukabumi Lumpuh Usai Divaksin, Keluarga Dapat Kabar Penyakit Ini yang Dialami Susan

Selain risiko dimakan buaya, Siti Saroyah juga mengajar dalam keadaan hamil.

Siti Saroyah tidak menampik masalah mengajar tatap muka di atas perahu terkendala transportasi.

Ia sengaja tidak mengajar di sekolah sebab takut dilarang.

Untuk mencapai Ciloma, ada dua jalan yakni melalui darat dan air.

Bila melalui darat maka Siti Saroyah dan siswanya harus melewati hutan.

"Untuk kesulitan akses ke Ciloma emang kesulitannya di transportasi, ketika jalan darat emang ada jalan darat tapi harus melewati hutan, jalan air kalau posisinya air naik gak bisa berangkat juga.

Terus kemarin kendala gara-gara corona, pembelajaran tidak efektif apalagi kan ditutup, jadi hanya dua sampai 3 hari dalam seminggu, terus untuk semester dua sekarang juga sama, jadi kita harus ngasih soal ke tiap siswa," ujarnya via telepon pada TribunJabar.id, Minggu (2/5/2021).

Mengambil risiko dilahap buaya bukan berarti Siti Saroyah tidak khawatir.

Namun tidak ada cara lain. Siti Saroyah harus 'diam-diam' mengajar agar tidak ketahuan.

"Jadi kesusahannya sinyal, kalau khawatir (sergapan buaya, red) pasti ada karena tidak ada cara lain harus gimana, jadi kita kalau misalkan kemarin di sekolah gak bisa, jadi inisiatifnya itu di atas perahu.

Kemarin kan kita pas belajar di atas perahu itu di Cikaso, kalau di Cikaso terlalu deket dengan jalan kemarin itu kan, takutnya tidak di perbolehkan juga.

Jadi kemarin kita di atas perahu terus di pinggir sungai di bawah pohon," terangnya.

Siti Saroyah memilih mengajar di atas perahu karena siswanya tidak hanya berasal dari wilayah Cibitung.

Mereka juga berasal dari Kecamatan Tegalbuleud.

Lokasi muara Cikaso dipilih karena berada di tengah.

Baca juga: Harus Check Up ke RSHS, Keluarga Guru Susan yang Lumpuh Usai Divaksin Bingung Cari Tempat Singgah

Ia juga memikirkan kondisi yang tidak terlalu membebani siswanya.

"Siswa pun ada dari Tegalbuleud, ada di Cibitung. Jarak ke sekolah kalau lewat air 45 menit, kemudian jalan kaki deket. Tapi anak anaknya yang lebih extrime, halus melewati turun gunung naek gunung," ucapnya.

Ketika ujian, Siti Saroyah mengantarkan langsung soal ujian ke setiap siswanya.

"Paling kendala sekarang untuk pembagian soal ujian sekolah ke anak harus ngasih langsung ke anaknya, enggak bisa melalui media internet atau pake HP kita kesulitannya di sinyal.

Apalagi saya sendiri sekarang lagi hamil jadi tantangan juga luar biasa harus turun, naik perahu," ujarnya.

Pengabdian mengajar Siti Saroyah tidak sejalan dengan gaji yang diterimanya.

Dalam sebulan ia dibayar Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu tergantung jam per bulan.

Bahkan gaji Siti Saroyah cair tiga bulan sekali.

Baca juga: Guru di Cisolok Sukabumi Lumpuh Usai Divaksin, Keluarga Dapat Kabar Penyakit Ini yang Dialami Susan

"Ngajar sudah 3 tahun menjadi honorer gaji kadang 300 kadang 400 tergantung jam per bulan. Biasanya gajihan tiga bulan sekali," jelasnya.

Gaji tersebut habis terpakai ongkos.

Siti Saroyah berharap pemerintah memperhaikan kesejahteraan guru di pelosok.

Apalagi perjuangan mengajar mereka cukup berat dan tidak sedikit kendala yang berasal dari faktor lainnya.

"Harapannya mudah-mudahan kesejahteraan guru terpencil bisa diperhatikan, apalagi honorer yang hanya mengandalkan hasil dari honor pembagian jam saja kalau dihitung dengan ongkos sudah habis dipake bensin gaji. Dan juga mudah-mudahan sinyal dan transportasi di Ciloma bisa bagus," harapnya.

Artikel ini diolah dari laporan wartawan TribunJabar.id, M Rizal Jalaludin.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved