Amien Rais Laporkan Kasus Tewasnya 6 Laskar FPI ke Mahkamah Internasional, Diprediksi Akan 'Dicueki'

Kasus meninggalnya enam anggota laskar FPI ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

Editor: Giri
Kompas.com
Satu di antara adegan dalam rekonstruksi kasus penembakan kepada enam anggota FPI di Karawang, Senin (14/12/2020) dini hari. Kasus ini dilaporkan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan ke International Criminal Court. 

TRIBUNAJABR.ID, JAKARTA - Kasus meninggalnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas di tangan polisi saat mengawal Rizieq Shihab ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

Namun Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yakin, kasus itu tak akan sampai ke pengadilan.

Komnas HAM beralasan, Indonesia bukan negara anggota Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma.

"Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party)," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).

Adapun pelaporan kasus ini ke Mahkamah Internasional dilakukan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya enam laskar FPI yang digawangi Amien Rais dan koleganya.

Pelaporan ini berangkat dari kekecewaannya atas temuan Komnas HAM dalam kasus ini.

3 Puisi Joko Pinurbo yang Ada di Buku Kumpulan Puisi Perjamuan Khong Guan, Sastrawan Asal Sukabumi

Kabupaten Bandung Akan Gelar Rapid Test Antigen Kolosal, Targetnya 20 Ribu Warga

Taufan menjelaskan, Mahkamah Internasional lahir sebagai complementary untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.

Ia menyatakan, Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara.

Dengan demikian, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi "unable" dan "unwilling".

Sesuai Pasal 17 Ayat (3) Statuta Roma, kondisi "unable" atau dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional secara menyeluruh ataupun sebagian.

Akibat kegagalan tersebut, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.

Sementara, "unwilling" atau kondisi tidak bersungguh-sungguh, menurut Pasal 17 Ayat (2) Statuta Roma, adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.

"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan," kata Taufan.

Cerita Bek Persib Bandung Victor Igbonefo Saat Mengadang Robin van Persie dan Arjen Robben

Transpuan Ditemukan Tewas di Kamar Hotel di Kota Bandung, Ini Hasil Olah TKP Polisi

Ia menegaskan, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional.

Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman apabila sistem peradilan nasional "collapsed" atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali.

Halaman
12
Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved