Longsor di Sumedang
Gara-gara Longsor Maut di Cimanggung, Warga Kampung Cipareuag Ikut Khawatir, Ada di Bawah Perumahan
Pasalnya, seperti Kampung Bojongkondang, lokasi Kampung Cipareuag juga berada di lereng di bawah pemukiman.
Penulis: Hilman Kamaludin | Editor: Ravianto
Tanah itu dihasilkan oleh proses pengurukan lahan perumahan. Jarak tebing dengan rumah penduduk hanya sekitar tujuh meter.
"Setiap turun hujan saya gelisah. Pasti saya periksa tebing itu, khawatir roboh dan menimpa rumah saya," ujar Mus Mulyadi (33), warga RT 04/07, Desa Sukadana, saat itu.
Mus, buruh pabrik, hanya bisa pasrah karena tak bisa melayangkan protes terhadap perusahaan pengembang perumahan bersubsidi itu.
Padahal, empat tahun pembangunan perumahan itu berlangsung telah mengusik kenyamanannya.
"Backhoe yang sedang dioperasikan bising sekali. Yang paling repot kalau hujan. Air beserta lumpur turun ke rumah, padahal sebelum ada perumahan, tidak ada yang kami keluhkan," ujarnya.
Lokasi Kampung Cipareag berada di lembah antara Gunung Geulis dan Gunung Aseupan. Selain kondisi tanah dengan kemiringan 45 derajat, banyak pohon penahan erosi, terutama bambu, saat itu sudah mulai hilang.
Kekhawatiran bertambah karena kampung ini juga pernah dua kali mengalami banjr longsor. Pertama, pada 9 Juni 2015, saat hujan deras mengguyur kawasan tersebut.
Banjir lumpur disertai batu-batu sebesar kepalan tangan menerjang rumah-rumah warga. Kedua, pada 7 September 2016.
Pada kejadian kedua itu, banjir lumpur tidak hanya menerjang rumah-rumah, tapi juga madrasah dan masjid.
Dalam wawancara 2017 lalu, Cahya Muhammad Nuh, Direktur Utama PT Kresna Eka Karya Nugraha, mengatakan sudah sering mendengar keluhan warga soal tebing yang dikhawatirkan roboh menimpa permukiman.
Tembok penahan tebing, ujarnya, bisa menjadi solusi. Namun, kata Cahya, perlu waktu bagi mereka untuk membangun tembok penahan tersebut.
"Saya tampung (keluhan), tapi saya juga usaha, tidak mau rugi. Karenanya, saya tidak bisa segera membangunkan benteng untuk menahan tanah itu," ujar Cahya kepada Tribun, Selasa (29/8/2017).
Cahya mengatakan, warga yang merasa khawatir terjadi longsor tak jarang mendatanginya. Biasanya warga datang ke kantor pemasaran.
"Kami jelaskan bahwa pembangunan sudah sesuai analisis teknis dari Dinas Cipta Karya. Kami sudah berencana membangun tembok penahan tebing dan melakukan penghijauan di area perumahan. Tapi warga selalu ingin segera," ujarnya.
Di lahan perumahan yang terus merayap hingga ke puncak bukit di kaki Gunung Geulis itu, rencananya dibangun 3.000 unit rumah.
Saat itu, pembangunan sudah berlangsung empat tahun dan baru selesai sekitar 700 unit rumah.