VIDEO-Dimasa Pandemi Produksi dan Penjualan Langseng di Desa Cileunyi Kulon Mengalami Penurunan
Saat memasuki kampung langseng ini, terdapat belasan industri rumahan yang setiap harinya memproduksi alat masak berbahan seng
TRIBUNJABAR.ID - Keberadaan pengrajin langseng di Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung begitu melegenda. Sejak tahun 1980-an dikenal sebagai sentra penghasil alat masak berbahan dasar seng, atau biasa disebut langseng. Konon pengrajin langseng dikawasan ini hanya memiliki saingan di Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.
Saat memasuki kampung langseng ini, terdapat belasan industri rumahan yang setiap harinya memproduksi alat masak berbahan seng. Suara mesin gerinda dan palu sengaja dipukul ke objek lembaran seng.
Pembuatan langseng di Kampung Langseng, seluruhnya dibuat secara manual, bertempat di halaman belakamg rumah yang dijadikan bengkel.
Tahun 1980-an, jumlah produksi rumah langseng di Desa Cikalang Cileunyi Kulon, mencapai puluhan, seiring berjalannya waktu, jumlah itu semakin berkurang.
Satu diantara banyaknya pelaku usaha pembuatan langseng yang masih bertahan, Asep Halim (63), mengatakan, permintaan pasar terhadap alat masak semakin berkurang.
“Dulu waktu semua orang kayanya pake langseng, saya bisa ngeluarin barang sampe 5 truk dalam satu minggu, sekarang orang pada pake magic jar,” ujarnya saat ditemui di bengkel langseng miliknya, Rabu (14/10/2020).
Asep menambahkan meroketnya bahan baku seperti tembaga juga menjadi salah satu kendala yang dihadapi pengrajin.
“Alternatifnya sekarang saya pake alumunium untuk membuat langseng yang tentu harganya jadi lebih murah, 1 kg alumunium harganya dibawah Rp 100 ribu,” ujar pemilik MJ Group tersebut.
Dengan dikerjakan oleh 6 orang pegawai, di gubuk kayu berukuran 15x15 meter ini dalam satu hari mampu membuat 15-20 set langseng. Namun karena permintaan barang yang merosot ditambah dengan adanya pandemi Covid-19, kini dalam 1 bulan dia mengaku hanya bisa menjual 4 truk langseng. Meskipun permintaan barang sedikit, dia tetap memproduksi langseng setiap harinya.
“Permintaan langseng ini kan semakin berkurang, karena itu tadi, orang-orang udah jarang yang pake langseng. Ditambah sekarang pandemi kan udah hamir 8 bulan,” ujarnya.
Langseng yang diproduksi berukuran 1 kg sampai 15 kg. Dan bisa juga custom. Diawali dengan membuat sketsa, memotong lembaran seng, membentuk badan langseng sampai akhirnya alat masak siap pakai. Pembelinya pun datang dari banyak kalangan.
Asep bercerita, langseng produksiannya sudah terjual sampai ke seluruh Indonesia. Kalimantan, Sumatera hingga Nusa Tenggara. Harga yang dia tawarkan pun terhitung murah. 1 set berisi 7 langseng, dengan dihargai Rp 265 ribu.
“Jauh lebih murah dari alat masak impor yang 1 setnya bisa berjuta-juta,” ujarnya.
Sejarah dinamai kampung langseng, katanya sekitar 20 tahun lalu ketika ada salah seorang warga membuat lagseng dan sukses, kemudian diikuti oleh warga lain sampai setiap rumah memproduksi langseng.
Kini, usaha Asep beserta rekan-rekan sesama pembuat langseng sedang tertatih-tatih. Meski begitu, Asep berharap para pembuat langseng di kampung langseng tetap ada.
“Saya berharap usaha saya sama kawan-kawan pengrajin langseng tetap jalan, dan semoga harga bahan baku gak semakin naik,” kata dia.
Jemput Bola
Trik agar produksiannya tetap bertahan, yaitu cara pemasaran jemput bola. Berbeda dengan kiat pemasaran produk lain. Yang didahului dengan pemesanan barang, pemasaran langseng justru dilakukan dengan mendatangi konsumen.
“Trik itu bikin kita bertahan, kalo ketemu penjual langseng di jalan manapun, bisa dipsatikan itu berasal dari Cileunyi Kulon.” Kata Asep.
Saat penjualan sedang jaya-jayanya, hasil penjualan langseng selama enam bulan bisa dijadikan sumber utama pendapatan. (*)
Penulis: Wildan Noviansah/Job2
Video Editor: Edwin Tk