Puncak Sulibra, Tak Jauh dari Kota, Mendakinya Mudah, Bisa Lihat Sunrise di Antara Lautan Kabut

Halimun atau kabut tipis keluar dari tanah yang dijadikan kebun kentang di ketinggian 2100 meter di permukaan laut

Penulis: Mega Nugraha | Editor: Ichsan
tribunjabar/mega nugraha
Puncak Sulibra, Tak Jauh dari Kota, Mendakinya Mudah, Bisa Lihat Sunrise di Antara Lautan Kabut 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Halimun atau kabut tipis keluar dari tanah yang dijadikan kebun kentang di ketinggian 2100 meter di permukaan laut (Mdpl) kemudian terbang ke udara‎, seusai hujan.  

Evan (24) bersama teman-temannya, sedang berjalan di antara petak kebun saat halimun itu keluar dari perut bumi. 

Bersama lima temannya, Evan hendak menggapai Puncak Sulibra di Gunung Artapela tepatnya di Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.  

Puncak Sulibra berada di ketinggian 2194 mdpl. Puncak Sulibra Gunung Artapela, jadi lokasi pendakian favorit muda-mudi.

Meski ketinggiannya di atas 2.000 mdpl, pendakiannya tidak sulit.

Butuh waktu kurang dari 3 jam dari titik awal pendakian di Kampung Cirawa, Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. 

Baca juga: Di Hulu Sungai Citarum Hutan Sudah Gundul, Sejauh Mata Memandang Hanya Kebun Sayur

Puncak Sulibra Gunung Artapela berupa tanah datar dengan rumput hijau segar.

Di sebelah barat, di lihat dari citra tampilan Google Maps, merupakan kompleks Pegunungan Malabar.

Di sebelah timur, menjelaga Gunung Rakutak dan di sudut lainnya, Gunung Wayang. Kawasan ini merupakan daerah hulu Sungai Citarum dengan titil nolnya berada di Situ Cisanti.

"Puncaknya mudah didaki, dari titik pendakian paling lama tiga jam," ujar Evan, warga Jalan Dipati Ukur Kota Bandung, Sabtu  (22/11/2020). 

Mendaki puncak gunung  di atas 2.000 mdpl ‎dengan waktu tempuh kurang dari tiga jam terbilang menggiurkan.

Apalagi, dengan ketinggian tersebut, para pendaki bakal menemukan fenomena alam yang luar biasa. Seperti matahari terbit yang berkelindan dengan lautan awan.

"Menariknya di sini itu selain pendakiannya tidak butuh waktu lama, matahari terbit dan lautan awannya mantap," ucap Evan.

Di Hulu Sungai Citarum Hutan Sudah Gundul, Sejauh Mata Memandang Hanya Kebun Sayur
Di Hulu Sungai Citarum Hutan Sudah Gundul, Sejauh Mata Memandang Hanya Kebun Sayur (tribunjabar/mega nugraha)

Baca juga: AC Milan Wajib Gerak Cepat Pinang Matteo Lovato Jika Tak Ingin Disalip Lagi Juventus

Hal senada dikatakan Shinta (33), warga Kota Cimahi. Ia berkemah di Puncak Sulibra dan menikmati malam di atas gunung. Ia mencapai puncak dengan waktu dua jam dari titik pendakian.

"Saya dua jam perjalanan tanpa istirahat, jalan terus. Termasuk spektakuler lah pendakian ke puncak dua jam, apalagi puncaknya di atas 2000 mdpl," ucap Shinta yang datang bersama empat temannya. 

Selain matahari terbit di antara lautan awan yang jadi daya tarik, pemandangan alamnya juga terbaik. Menurutnya, tengah malam saat tidak mendung, pendaki bisa melihat fenomena angkasa.

"Kalau malam langitnya cerah, kita bisa lihat Galaksi Bima Sakti lho kang, keren," ucap dia.

Riki Septiyadi dari Komunitas Sulibra, menerangkan, pendakian ke puncak itu bermula dari agenda lingkungan Komunitas Sulibra pada 2013 yang menemukan lahan terbuka yang luas di puncak gunung.

"Awalnya dari prihatin karena ada lahan terbuka di puncak gunung. Kemudian, kami mendaki ke puncak itu untuk penanaman pohon. Lama kelamaan, jalur pendakian itu dikunjungi banyak orang," ucap Riki.

Jalur pendakian Puncak Sulibra sendiri baru dibuka sejak 2016 bersamaan dengan upaya penanaman pohon oleh komunitas tersebut.

Namun, tidak semua pohon yang ditanam di kawasan puncak itu berhasil.

"Ada yang berhasil, banyak yang gagal karena aktivitas manusia di perkebunan itu," ucapnya.

Meski begitu, saat ini, upaya penanaman di kawasan itu terus dilakukan Riki dan kawan-kawannya.

Meski menawarkan landscape pemandangan yang indah berupa bentang alam dan hutan, rute pendakiannya justru melewati lahan kritis.

Baca juga: Link LIVE STREAMING RCTI Napoli vs AC Milan, Liga Italia, Kemenangan Harga Mati bagi Rossoneri

Sejauh mata memandang, bukit-bukit gundul menjelaga. Bukit-bukit itu ditanami tanaman sayuran seperti kentang, worltel hinga tomat. 

Saat hujan deras, lumpur di bukit-bukit yang gundul itu meluncur deras terbawa air menuju saluran air hingga ke Sungai Citarum.

Selain itu, lumpur pun terbawa ke jalan. Sehingga, seringkali jalan penghubung ke Kertasari itu banjir air bercampur lumpur.

"Pada 2013 saat kami mendaki, kawasan puncak dan sekitarnya itu memang lahan terbuka. Tapi berupa padang rumput yang menghampar luas," ujar dia, seraya menunjukan kondisi bukit itu masih dipenuhi padang rumput.

Lahan-lahan di bukit itu, berada di kawasan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani. Papan pengumuman berisi imbauan untuk tidak merusak di hutan lindung itu banyak ditemukan.

Selain Perhutani, lahan itu dikelola oleh PT Perkebunan Negara dan selebihnya di kelola perusahaan swasta lewat hak guna usaha (HGU). Petani menyewa lahan HGU itu.

Jalan setapak di tengah kebun di bukit gundul itulah yang harus dilewati pendaki untuk menuju Puncak Sulibra. ‎Akses petani menuju kebun-kebun itu‎ menggunakan motor yang dimodifikasi jadi motor trail sehingga bisa melibas lumpur. 

Pepep Dw, pegiat lingkungan‎ di Bandung menerangkan, kawasan tersebut era pemerintahan kolonial dijadikan perkebunan kina lewat perusahaannya. Belakangan, setelah kemerdekaan, pemerintah menasionalisasi perusahaan asing. 

"Pascaperalihan, kebun-kebun kina itu ditebang. Lahannya kemudian dikelola oleh pemerintah dan swasta lewat pemberian hak guna usaha (HGU) ucap dia," ujarnya.

Hingga akhirnya, pembukaan besar-besaran pun massif. Berkelindan dengan kebutuhan perut warga sekitar dengan Berkebun sayuran, sekalipun kawasan itu berstatus hutan lindung.

Baca juga: Wisata Edukasi Sejarah di Curug Walanda Citatah KBB, agar Milenial Tahu Kehidupan Pendahulunya

"Harusnya fungsi-fungsi hutan lindung harus tetap dijaga. Mana hutan lindung yang bisa dimanfaatkan dan dikelola warga lewat pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan mana untuk buffer zone," ujar Pepep.

Saat Tribun turun dari puncak jelang sore, Sabtu (21/11/2020) turun hujan deras. Air mengalir deras dari perbukitan. Jalan raya dipenuhi lumpur yang terbawa air.

Masuk ke aliran air‎ hingga akhirnya bermuara di Sungai Citarum yang berujung di Laut Jawa, melintas Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Purwakarta, Karawang dan Bekasi. 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved