UU Cipta Kerja Disahkan, Pengamat: Jokowi Tak Paham Beban Masyarakat, Picu Demo Besar Gelombang Dua

Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja telah resmi diundangkan pemerintah, bisa memicu demo gelombang kedua. Buruk sedang sulit menjadi kecewa.

Penulis: Cipta Permana | Editor: Kisdiantoro
job4/Fakhri Fadlurrohman
Aksi demo buruh PT Kahatex Cijerah menolak UU Cipta Kerja di kawasan Pabrik Kahatex, Jalan Cigondewah Kaler, Kota Cimahi, Selasa (6/10/2020). 
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja telah resmi diundangkan pemerintah, setelah Presiden Joko Widodo/Jokowi menandatangi surat tanda pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dengan nomor UU 11 Tahun 2020, Senin (2/11/2020) tengah malam. 
Bahkan, salinan UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang memuat struktur 15 bab dan 186 pasal tersebut, telah diunggah di laman resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara (JDIH Setneg) RI, www.setneg.go.id
Menanggapi perihal tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah mengatakan, meskipun persetujuan Presiden terhadap UU Cipta Kerja ini sudah dapat diprediksi akan terjadi, karena merupakan inisiasi pemerintah.
Namun, pihaknya menyayangkan pengesahan dilakukan secara tiba-tiba di ditengah situasi polemik dan masifnya gelombang penolakan masyarakat. 
"Menyayangkan keputusan Presiden yang terkesan terburu-buru dalam mengesahkan UU Cipta Kerja ini, karena dampaknya tidak saja rentan penolakan di masyarakat, tapi juga  kontennya yang lebih dominan berpihak pada korporasi. Apalagi selama proses legislasinya yang banyak menuai persoalan," ujarnya kepada Tribun Jabar melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa (3/11/2020).
Dengan langkah yang telah diambil Presiden Jokowi tersebut, menurutnya, tidak hanya menimbulkan kekhawatiran dan dan kekecewaan dari masyarakat pekerja, akan tetapi lebih dari itu, Presiden Jokowi seolah menegaskan pengabaian terhadap berbagai kelompok intelektual, termasuk Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan tokoh lain yang memang telah mengkaji Omnibus Law UU Cipta Kerja ini sebelum disahkan.
"Bahkan, hingga saat ini, salinan yang sudah resmi diunggah dan dapat diunduh publik di JDIH Setneg RI pun masih terdapat beberapa kesalahan, hal ini jelas akan menjadi preseden buruk bagi produk legislasi kita," ucapnya.
Disinggung terkait dampak yang akan terjadi di masyarakat pasca pengesahan UU Cipta Kerja ini, menurutnya, kondisi ini dapat memantik kembali gelombang aksi unjuk rasa yang lebih besar di masyarakat.
Bahkan, mosi tidak percaya terhadap Pemerintah, termasuk Presiden pun berpotensi kembali di gaungkan berbagi lapisan masyarakat yang sudah merasa lelah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak lagi mendengar aspirasi rakyat.
"Presiden semestinya memahami kondisi publik dalam masa pandemi ini, ketika kesulitan telah banyak dirasakan masyarakat, beban masyarakat pun kini bertambah dengan pengabaian aspirasi.  Maka bisa saja, situasi ini justru memantik kelelahan publik dalam berharap pada pemerintah, dan puncaknya tentu potensi unjuk rasa yang lebih besar berpeluang kembali terjadi.
Untuk itu Presiden seharusnya bersabar setidaknya memastikan UU Ciptaker yang barun saja disetujui, telah sesuai dengan kepentingan masyarakat, sekaligus tidak ada cacat prosedural juga konten," ujar Dedi.
Dedi pun menambahkan, upaya Judicial Review (JR) yang diajukan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pun kemungkinan kecil mampu menggagalkan penerapan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh pemerintah. Hal tersebut, bercermin dari upaya serupa yang dilakukan terhadap Revisi UU KPK tahun 2019 lalu.
 
"Jadi menurut saya, sangat kecil kemungkinan itu (pembatalan pengesahan) dapat terjadi setelah di ajukan JR ke MK. Apalagi, telah banyak pengajuan JR yang pada akhirnya dimenangkan oleh pemerintah. Bahkan kita punya pengalaman bagaimana Revisi UU KPK juga yang saat itu digugat, tetapi tetap saja gugatan publik tidak peroleh hasil sesuai argumentasi penolakan," katanya (cipta Permana).
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved