Para ''Petinggi'' Diduga Berada di Balik Rusuh Omnibus Law, Disebut Kompori Massa Lewat Cuitan
Irjen Argo Yuwono, mengatakan Syahganda punya peran dalam unjuk rasa tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di berbagai daerah.
TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan meneriakkan kata ”merdeka” saat dihadirkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian di lobi Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Saat digeladang ke lobi Gedung Bareskrim Polri, kedua tangannya terikat. Mantan Komisaris Pelindo II pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengenakan baju tahanan berwarna oranye.
Ada delapan tersangka yang dipamerkan Polri di Gedung Bareskrim, kemarin. Seperti Syahganda, mereka sudah menggunakan baju tahanan bertuliskan 'Tahanan Bareskrim Polri'. Tangan mereka juga diborgol.
Baca juga: Pemadaman Listrik Hari Ini Terjadi di 3 Wilayah di Jawa Barat, Cimahi dan Bekasi Siaga Mati Lampu
Selain Syahganda, dua petinggi KAMI lainnya, yakni Jumhur Hidayat dan Anton Permana juga menjadi tersangka. Seperti halnya Syahganda, keduanya juga anggota Komite Eksekutif KAMI. Tersangka lainnya adalah Ketua KAMI Medan Khairi Amri dan tiga pengurusnya, yakni Juliana, Devi dan Wahyu Rasari Putri, serta anggota KAMI Jakarta, Kingkin Anida.
Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono, mengatakan Syahganda punya peran dalam unjuk rasa tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di berbagai daerah. Polisi menuduh aktivis era '80-an itu memanas-manasi massa dengan cuitannya di Twitter.
"Dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, bela sungkawa demo buruh. Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama kejadiannya," kata Argo di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Jumhur Hidayat menjadi tersangka karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.
"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif. Investor dari RRT dan pengusaha rakus. Ada beberapa tweet-nya. Ini salah satunya,” kata Argo.
Baca juga: Tentang Konfliknya dengan Jose Mourinho, Mesut Oezil: Kami Seperti Dua Petinju yang Bertatapan
Argo mengatakan unggahan itu menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah. Selain bernada menghasut, kata Argo, unggahan itu memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.
Tersangka lainnya, Anton Permana, ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube. Anton dibekuk setelah menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia. Polisi menyebut Anton melanggar pasal penyebaran informasi yang bersifat kebencian berdasarkan SARA.
"Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali. Misalnya multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI jadi Negara Kepolisian Republik Indonesia," kata Argo.
Anton juga menggunggah status yang menyebutkan bahwa disahkannya Omnibus Law menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.
"Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," tulisnya.
Seperti hal Syahganda, Jumhur, dan Anton, tiga pengurus KAMI Medan yang ditangkap juga dituduh melanggar pasal tentang ujaran kebencian dan penghasutan. Mereka diduga melanggar pasal ujaran kebencian dan penghasutan terkait unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Medan.
Meski demikian, dalam kasus ini para tersangka dijerat dengan pasal yang berbeda-beda. Untuk petinggi dan pengurus KAMI Medan, mereka dijerat pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hal tersebut termaktub dalam 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP. Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Adapun Syahganda disangkakan dengan pasal 28 ayat (2), 45A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 14 ayat (1) dan (2) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan ancaman 6 tahun.
Jumhur Hidayat dijerat dengan pasal dalam Pasal 28 ayat 2 kita juncto Pasal 45A ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU No 1 Tahun 1946. Ancamannya hukumannya selama 10 tahun.
Anton Permana dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 207 KUHP dengan ancaman penjara 10 tahun
Baca juga: JUMAT Tiba, Ini 5 Amalan Berpahala Besar di Hari Jumat, Dicintai Rasulullah hingga Diberi Syafaat
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/syahganda-nainggolan.jpg)