Demo Tolak UU Cipta Kerja

Polisi Diminta Kooperatif soal Bantuan Hukum bagi 226 Pendemo yang Ditahan di Mapolrestabes Bandung

Sebelas lembaga bantuan hukum (LBH) yang tergabung dalam tim Advokasi Demokrasi Indonesia wilayah Jawa Barat minta Polrestabes Bandung kooperatif

Penulis: Cipta Permana | Editor: Dedy Herdiana
Tribun Jabar/Cipta Permana
 Tim Advokasi Demokrasi Jawa Barat jelaskan terkait situasi proses pendampingan bantuan hukum terhadap ratusan peserta aksi unjuk rasa Omnibus Law yang melapor mendapat tindak penangkapan dan penahanan oleh petugas kepolisian, melalui konferesni pers via Zoom, Senin (12/10/2020). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Cipta Permana

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Sebelas lembaga bantuan hukum ( LBH) yang tergabung dalam tim Advokasi Demokrasi Indonesia wilayah Jawa Barat minta pihak Polrestabes Bandung kooperatif terkait bantuan hukum bagi 226 peserta unjuk rasa UU Cipta Kerja yang ditahan di Mapolrestabes Bandung.

Hal ini diungkapkan Juru bicara Tim Advokasi Demokrasi Indonesia wilayah Jawa Barat, Lasma Natalia, menyusul peristiwa pihak kepolisian yang terkesan menghalang-halangi tugas advokat, dengan tidak memberikan data nama peserta aksi yang ditangkap.

"Advokat yang sedang melaksanakan tugas bantuan hukum tidak diberikan akses informasi, tidak dapat mengecek nama-nama yang masuk ke pengaduan dan hanya mendapatkan informasi bahwa pihak keluarga telah dihubungi atau sudah dipulangkan," ujarnya dalam konferensi pers melalui aplikasi Zoom, Senin (12/10/2020).

Baca juga: Unisba Bersikap Tegas, Ini Enam Poin Pernyataan Terkait Perusakan & Pemukulan Satpam oleh Polisi

Dijelaskan Lasma, sebelumnya Tim Advokasi Demokrasi wilayah Jawa Barat mulai Rabu (7/10/2020) hingga Jumat (9/10/2020) mendapat laporan terdapat 226 orang peserta aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang mengaku diduga mendapat tindak penangkapan dan penahanan oleh petugas Kepolisian RI wilayah Jawa Barat di berbagai kabupaten/kota di Jabar selama 6-8 Oktober 2020.

Lasma Natalia mengatakan, untuk menindaklanjuti pengaduan yang datang dari masyarakat tersebut, maka pihaknya pun melakukan pengecekan dengan mendatangi Polrestabes Bandung untuk memberikan bantuan hukum.

Namun lanjut Lasma, advokat yang akan melakukan proses bantuan hukum tersebut tidak diberikannya akses.

"Ini bertentangan dengan prinsip sistem peradilan yang adil (fair trail) sebagaimana diatur dalam konstitusi, KUHAP, dan Konvenan hak-hak sipil dan politik atau Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005, bahwa setiap orang sama kedudukannya di mata hukum dan memiliki hak pendampingan oleh kuasa hukum saat diperiksa.

Selain itu, upaya menghalang-halangi seseorang untuk mendapat bantuan pendampingan hukum, termasuk dalam pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia), yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum, dimana setiap warga negara berhak mendapatkan akses pendampingan hukum supaya memastikan hak-hak mereka dipenuhi," paparnya.

Serta, melanggar Prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara angka 8, yang menyatakan bahwa orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara berhak dikunjungi, berkomunikasi, dan berkonsultasi dengan pengacara tanpa penundaan.

Atas dasar tersebut, maka Tim Advokasi Demokrasi Wilayah Jawa Barat meminta
pihak kepolisian harus memberikan akses pendampingan hukum bagi massa aksi dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi; dan pihak kepolisian membuka informasi terkait data massa aksi yang sudah dibebaskan dan massa aksi yang dilanjutkan pemeriksaannya.

"Kami berharap pihak kepolisian dapat bersikap kooperatif dengan kami, agar pemberian hak-hak setiap warga negara yang telah diatur oleh konstitusi dan Undang-undang dapat berjalan sebagaimana mestinya," katanya. (Cipta Permana).

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved