Jabar Ternyata Tetapkan Siaga 1 Bencana Sejak September, Langkah Antisipasi Longsor dan Banjir
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menerapkan siaga 1 bencana sejak September 2020.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Giri
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menerapkan siaga 1 bencana sejak September 2020.
Penerapan tersebut merupakan langkah antisipatif Jabar saat memasuki musim hujan, mengingat selama ini sebagian besar bencana di Jabar dipicu oleh curah hujan tinggi, yakni banjir dan longsor.
Hal itu dikatakan Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, dalam rapat bersama Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, soal antisipasi dampak bencana di musim hujan terhadap kenaikan kasus Covid-19 via konferensi video di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Jumat (9/10/2020).
“Sudah sebulan lalu Jabar siaga 1 karena ternyata September sudah hadir hujan. Kami (Jabar) ada kejadian kebencanaan di Cianjur dan Sukabumi,” kata Ridwan Kamil, Sabtu (10/10).
Emil --sapaan Ridwan Kamil-- mengatakan, pihaknya sudah mengirim surat edaran (SE) kepada kepala daerah di 27 kabupaten/kota di Jabar.
SE tersebut berisi soal antisipasi bencana di musim hujan mengingat 60 persen bencana alam yang terjadi merupakan bencana hidrologis.
“Hidrologisnya terbagi dua untuk yang dari Jabar tengah ke utara bentuknya banjir, dan tengah ke selatan bentuknya longsor. Karena Jabar secara geografis tengah ke utara dan tengah ke selatan lahan-lahan miring,” ucapnya.
Menurut KEmil, Pemda Provinsi Jabar pun menyiapkan cetak biru Jabar sebagai provinsi berbudaya tangguh bencana (resilience culture province).
Budaya Tangguh Bencana Jabar ini akan ditanamkan kepada seluruh warga melalui pendidikan sekolah sejak dini hingga pelatihan.
“Ini adalah upaya agar ketangguhan bencana ini menjadi budaya sehingga tidak melulu jadi urusan BPBD. Jadi, ini seperti di Jepang kami ikuti. Dan akan masuk ke kurikulum sekolah-sekolah. Kemudian menghadirkan kerelawanan bencana di tingkat RT/RW,” katanya.
“Di Jawa Barat itu per tahun terjadi 2.000 bencana, jadi kalau dibagi setahun, per hari terjadi tiga kali kebencanaan di Jawa Barat,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat, Dani Ramdan, mengatakan, hampir semua kawasan di Jawa Barat berpotensi mengalami banjir dan longsor, terutama derah-daerah yang berdekatan dengan sungai dan berbukit.
"Kawasan tengah dan selatan Jabar ini biasanya berpotensi banjir dan longsor, apalagi yang kawasannya terjal, bertebing, atau dekat dengan sungai. Kemudian kawasan utara Jabar biasanya mengalami banjir luapan sungai jika curah hujan tinggi," katanya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, katanya, lokasi pengungsian pun sudah disiapkan untuk menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Di antaranya dengan menambah jumlah pengungsian supaya pengusngsi bisa menjaga jarak.
"Jangan sampai ya yang sudah tertimpa bencana ini malah tertular Covid-19. Seperti di Kabupaten Bandung, April lalu, kami sudah melakukan protokol kesehatan di pengungsian, dengan cara menambah gedung pengungsian dan penyediaan tenda tambahan," katanya.
Dalam rapat sebelumnya, Luhut Binsar Pandjaitan meminta kepala daerah menyiapkan fasilitas bagi warga terdampak bencana.
Fasilitas tersebut disesuaikan dengan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19 saat bencana terjadi.
“Saya titip saja kepada Pak Ridwan (Gubernur Jabar) dan gubernur lainnya supaya kalau sampai ada apa-apa atau kebencanaan, tempat pengungsian tolong dipersiapkan tidak seperti biasa karena harus ada jaga jarak. Mungkin pengungsian per famili akan lebih bagus. Maka penularan itu relatif akan lebih tekendali,” ucap Luhut.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menjelaskan, saat ini Indonesia sudah memasuki musim hujan.
Musim hujan di Indonesia sendiri datang secara bertahap, dan diprediksi berakhir sekitar akhir Maret atau April 2021.
Menurut Dwikorita, pemerintah perlu mengantisipasi peningkatan curah hujan.
Sebab, kata ia, bersamaan dengan masuknya musim hujan ini, BMKG Jepang, Amerika Serikat, dan Australia telah mendeteksi terjadinya La Nina di Samudera Pasifik.
La Nina ini merupakan anomali suhu muka air laut, di mana suhu di laut akan lebih dingin sampai bisa minus satu derajat celcius atau lebih.
“La Nina ini akan mengakibatkan aliran masa udara basah yang lebih kuat dari normalnya dari wilayah pasifik masuk ke Indonesia, terutama Indonesia timur, tengah, dan utara. Dampaknya adalah curah hujan bulanan di Indonesia ini akan semakin meningkat, peningkatan ini bervariasi atau tidak seragam dari segi ruang dan waktu,” katanya.
• Bioskop di Bandung Tetap Buka Meski Diwarning Gubernur Ridwan Kamil, Ini Alasan Pemkot Bandung
• Nenek Dede Cicih Ditemukan Meninggal di Dalam Gorong-gorong, Ternyata Hilang Sudah Seminggu
“Misalnya mulai diprediksi akhir Oktober sebagian atau 30 persen masuk musim hujan. Mulai Oktober sekarang ini sudah mulai terjadi peningkatan curah hujan sampai bisa 40 persen bahkan lebih, terutama untuk hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatera mulai Oktober atau November,” katanya.
Dwikorita mengatakan, pada Desember, Januari, dan Februari mendatang, curah hujan akan meningkat di wilayah Indonesia bagian tengah, timur, dan utara.
• Berita Persib, Supardi Enggan Memikirkan Kompetisi Lanjut atau Tidak, Hanya Lakukan Ini
“Jadi, itu sekilas potensi peningkatan hujan akan lebih tinggi dari normalnya dapat mencapai 40 persen yang tentunya akan berdampak pada terjadinya bencana hidrometrologi baik banjir, longsor, angin kencang, atau puting beliung. Itulah sekilas prediksi cuaca selama kurang lebih selama enam bulan ke depan,” ucapnya. (*)