Kisah Asep Tetap Setia Layani Servis Mesin Tik di Banceuy, Mampu Kuliahkan Anak Sampai Jadi Dokter

Toko ini memang tak hanya melayani jasa servis mesin tik, tapi juga penjualan suku cadangnya.

Shania Septiana/job1
SERVIS MESIN TIK - Asep di ruko tempatnya bekerja sebagai ahlih servis mesin tik di kawasan Banceuy, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, Kamis (17/9/2020). 

Tidak seperti 30 tahunan lalu, tak banyak lagi yang datang ke toko tempat Asep (56) bekerja.

HARI-hari ini, seiring kemajuan teknologi digital, sedikit saja yang masih memerlukan jasanya sebagai tukang servis mesin tik.

Namun, Asep bertahan.

Ditemui di toko milik sahabatnya, di kawasan Banceuy, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, Kamis (17/9/2020), pagi, Asep masih sibuk membersihkan mesin tik-mesin tik tua yang dipajang di sana dari debu.

Rutinitas yang dilakukannya setiap pagi.

Tak hanya mesin tik tua, sejumlah mesin tik baru juga ada di sana.

Toko ini memang tak hanya melayani jasa servis mesin tik, tapi juga penjualan suku cadangnya.

Asep juga menjual mesin tik baru di toko tersebut.

Pada masa jayanya tahun 1990-an lalu, kata Asep, toko ini selalu ramai pengunjung.

Dulu, saking banyaknya pelanggan yang ingin membetulkan mesin tik, ia dan tujuh karyawannya bahkan kerap lembur hingga pukul satu dini hari.

"Pelanggan berdatangan dari banyak daerah. Ada dari Serang dan Jakarta. Banyak juga yang dari Jatinangor. Anak-anak IPDN itu, kalau ada satu yang beli, besoknya bisa satu barak pada datang ke sini buat beli mesin tik,” kata Asep, yang tinggal di Jalan Purnawirawan, kompleks Pharmindo Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi itu.

Asep bercerita, dari hasil penjualan mesin tik, dia mampu menguliahkan dua anaknya.

Anak bungsunya masih kuliah di Unjani jurusan Informatika semester 5, sementara anak sulungnya sudah menjadi dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit swasta.

Dulu, kata Asep, anak sulungnya juga kuliah Kedokteran Unjani.

Bekerja sebagai tukang servis mesin tik dilakoni Asep sejak 1989.

Sebelumnya, Asep bekerja sebagai pegawai kontrak di sejumlah instansi pemerintahan. Tugasnya adalah memelihara alat tulis kantor, terutama mesin tik.

Namun, karena kontraknya tak diperpanjang, Asep pun beralih menjadi tukang servis mesin tik.

Ia memilih usaha itu karena hanya itulah satu-satunya keahliannya.

"Dulu, satu hari bisa dua puluhan mesin tik yang saya betulin. Sekarang, orang yang datang untuk ngebetulin mesin tik sudah enggak banyak. Paling cuma satu, dua orang sehari," ujarnya.

Karena sudah jarang yang datang untuk membtulkan mesin tik, kata Asep, ia dan sahabatnya pun sudah jarang kerja lembur.

"Sekarang, ruko hanya buka dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00," ujarnya.

Asep mengatakan, mulai menurunnya pelanggan yang membetulkan mesin tik mulai ia rasakan pada tahun 2000-an.

Namun, puncaknya pada tahun 2004. Saat itu, jumlah pelanggan sudah benar-benar menurun karena kehadiran komputer.

Pada tahun 1990-an, kata Asep, pendapatan mereka juga fantastis. Omzetnya ketika itu mencapai Rp 8 juta per hari.

"Itu dari jasa servis saja, belum dari hasil jual-beli mesin tik," ujarnya.

Meski pembelinya sudah tak banyak, di ruko tempat Asep bekerja masih dijual berbagai jenis dan merek mesin tik dengan berbagai ukuran.

“Kami jual di kisaran harga Rp 250 sampai Rp 300 ribu. Ukurannya ada yang double folio, ada yang satu folio atau ukuran 13 inci. Font-nya juga beragam. Ada huruf kecil, sedang dan huruf besar. Kami juga masih menjual merek yang paling bagus itu Brother dari Jepang, dan Olivetti yang antik,” kata Asep. (job1/shania septiana)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved