Selalu Ada Falsafah di Balik Karya Amrizal Salayan, Daun Pun Disulap Jadi Karya Seni
Amrizal Salayan dikenal sebagai pematung dan pelaku seni yang memiliki ciri khas.
Penulis: Kemal Setia Permana | Editor: Januar Pribadi Hamel
Amrizal Salayan dikenal sebagai pematung dan pelaku seni yang memiliki ciri khas.
Apapun yang ada di sekitarnya bisa langsung disulap menjadi sebuah karya seni yang berfalsafah.
Baik itu dalam bentuk maupun judul dan deskripsi karya-karyanya.
Sebagai contoh, daun-daun yang berjatuhan di pekarangan rumahnya bisa disulap menjadi sebuah karya seni bernilai tinggi.
Bahkan daun pisang yang sudah kering kerontang pun bisa dijadikan sebuah karya seni bernilai tinggi yang berhasil ia sulap menjadi sebuah bentuk patung mirip manusia.
"Kemarin dan esok adalah hari ini," tutur Amrizal Salayan yang mulai berfalsafah saat ditemui di Studio Amrizal Salayan, Jalan Awiligar Utara, Cimenyan, Kabupaten Bandung, belum lama ini.

Amrizal memaknai segal hal di sekitarnya dengan pandangan berbeda dan lebih mendalam. Semua itu bisa diuangkapkannya melalui karya-karya yang dia ukir dan bentuk.
Itulah mengapa karya-karya Amrizal selalu diberi judul yang memiliki makna dalam dan harus dicerna lebih jauh lagi.
Beberapa judul karyanya yang memiliki arti falsafah mendalam di antaranya adalah Segulung Daun Menegadah ke Langit (2000).
Karya berbentuk sembilan manusia berdiri berjudul "Ia Ada dengan Ketiadaannya (2003), karya berbentuk daun berjudul "Hamba I" dan "Hamba III" (2005), karya patung berbentuk orang mati berjudul "Siapa Berikutnya?" (2007), dan karya lainnya.
Nyaris Gagal Kuliah
AMRIZAL Salayan adalah sosok yang mau bekerja keras dan pantang menyerah. Dia mengalami hampir gagal kuliah di Fakultas Seni Rupa ITB.
Dikenal sebagai pematung senior yang handal dan berpengalaman memiliki jam terbang tinggi, tidak lantas membuat dirinya tinggi hati. Dia selalu menitipkan rasa rendah hati para mahasiswa dan murid-muridnya.
• Kisah Amrizal Salayan, Pematung yang Nyaris Gagal Kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
"Karena saya selalu ingat masa lalu yang penuh kerja keras dan tantangan, saking sulitnya hidup saya dulu, saya nyaris gagal kuliah di ITB," tutur Amrizal.
Kisah ini bermula ketika ia nekat melancong ke Bandung pada 1979. Saat itu ia masih duduk di bangku kuliah IKIP Padang.