Ki Hadjar Dewantara, Peletak Tonggak Pendidikan yang Enggan Dijadikan Nama Jalan dan Taman
Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai sosok penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia.
TRIBUNJABAR.ID - Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai sosok penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Atas jasa-jasanya itu pula, tanggal lahirnya, 2 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Hari Pendidikan Nasional diperingati untuk mengenang dan menghormati jasa Ki Hadjar Dewantara. Pria kelahiran Pakualaman, Yogyakarta, 2 Mei 1889, ini dikenal sebagai pencetus Taman Siswa dan jargon terkenal Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Sistem pendidikan yang diajarkannya bahwa segala ilmu pengetahuan harus didasarkan pada jati diri bangsa. Ajaran ini masih terus diimplementasikan hingga hari ini.
Dikutip dari pemberitaan harian Kompas edisi 16 Agustus 1985, pandangan ini banyak dikenal sebagai "Teori Nasi Goreng". Maksudnya, bahan dasar tetaplah nasi yang merupakan bahan makanan pokok asli masyarakat Indonesia, tetapi dalam pembuatannya bisa menggunakan mentega, sosis, dan bahan lain yang asalnya dari negara lain.
Rasanya tetap enak, tetapi nasi goreng berbahan tambahan apa pun tetaplah makanan berbahan dasar nasi.
Berdasarkan pemberitaan harian Kompas edisi 2 Mei 1968, karena jasa-jasanya, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Ia dianggap telah memelopori sistem pendidikan nasional berbasis kepribadian dan kebudayaan nasional. Ki Hadjar ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959 pada Tanggal 28 November 1959.
Kisah Ki Hadjar Dewantara
Banyak kisah tentang Ki Hadjar Dewantara, yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia tidak menginginkan namanya diabadikan sebagai nama jalan atau taman-taman. Hal itu ternyata merupakan wasiat Ki Hadjar Dewantara kepada keluarganya, sebelum mengembuskan napas terakhir pada 26 April 1959.
Melansir artikel lain dari Harian Kompas edisi 23 April 1985, pihak keluarga dan Majelis Luhur Taman Siswa telah menyampaikan hal ini kepada semua wali kota dan bupati se-Indonesia.
Surat berisi informasi yang sama juga pernah dikirimkan kepada semua menteri di Kabinet Pembangunan III. Dalam surat itu, dilampirkan kesaksian dari pihak Taman Siswa dan keluarga yang benar-benar mendengar dan mengetahui wasiat itu.
Beberapa di antaranya yang menjadi saksi adalah ketiga putra dan putri Ki Hadjar Dewantara yaitu Ki Subroto Arya Mataram, Nyi Ratih Saleh Lahade, dan Ki Sudiro Alimurtolo.
Meski penamaan ini menunjukkan penghormatan dan upaya bangsa untuk tetap mengingat sosoknya, namun Ki Hadjar Dewantara merasa keberatan dan tak berkenan.
Ketika itu, kepada Harian Kompas, Panitera Umum Majelis Luhur Farnan Siswa H Moesman W berharap pemerintah dan masyarakat memberi perhatian terhadap wasiat tersebut dan menghargainya dengan tidak menamai jalan atau taman dengan nama " Ki Hadjar Dewantara".
"Pengabadian nama Ki Hadjar Dewantara sebetulnya membesarkan hati Majelis Luhur Taman Siswa, namun bagaimana lagi kalau beliau keberatan," ujar Moesman.