Imbas Corona Seorang Ibu Masak Batu di Kenya, di Jabar Pernah Ada, Kisah Serupa di Masa Sahabat Nabi

Kisah seorang ibu memasak batu demi menenangkan anak-anaknya yang kelaparan kembali terungkap. Pernah ada di Jabar dan pada masa Khulafaur Rasyidin

Editor: Dedy Herdiana
Caroline Mwawasi/Tuko via BBC via Kompas.com
Peninah Bahati Kitsao janda 8 anak di Kenya yang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. 

TRIBUNJABAR.ID - Kisah seorang ibu yang memasak batu di atas tungku demi menenangkan anak-anaknya yang lapar kembali terungkap media.

Episode kemiskinan yang seperti mengulang kisah di masa Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab ra, lima belas abad yang lampau, juga pernah terjadi di negeri ini, Indonesia, tepatnya di Cianjur Jawa Barat sekitar lima tahun lalu.

Sementara kisah terbaru, muncul di Kenya yang dilakukan oleh seorang janda delapan anak.

Peninah Bahati Kitsao janda 8 anak di Kenya yang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan.
Peninah Bahati Kitsao janda 8 anak di Kenya yang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. (Caroline Mwawasi/Tuko via BBC)

Janda yang bernama Peninah Bahati Kitsao itu, memasak batu agar meyakinkan anak-anaknya yang kelaparan bahwa ia sedang memasak makanan.

Dikutip Tribunjabar.id dari Kompas.com yang melansir BBC pada Kamis (30/4/2020), bahwa Kitsao berharap anak-anaknya akan tertidur sambil menunggu "makanan" mereka.

Kitsao biasanya bekerja mencuci pakaian di kawasan tempat tinggalnya, tetapi pekerjaan itu sekarang sulit didapat karena orang-orang membatasi interaksi terkait pandemi virus corona yang sedang berlangsung.

Salah seorang tetangganya yang bernama Prisca Momanyi memberi tahu media tentang keadaan Kitsao.

Setelah diwawancarai oleh NTV Kenya, Kitsao pun menerima bantuan uang dari ponsel dan rekening bank yang dibuka untuknya oleh Momanyi, karena ibu 8 anak tersebut tidak bisa baca tulis.

Kitsao tinggal di rumah dengan 2 kamar tidur tanpa air atau listrik. Ia menggambarkan kedemawanan sebagai "keajaiban".

"Saya masih belum percaya warga Kenya bisa sangat peduli, setelah saya menerima telepon dari seluruh negeri bertanya bagaimana mereka bisa membantu," katanya kepada situs berita Tuko.

Dia mengatakan kepada NTV bahwa anak-anaknya yang kelaparan tidak terus-menerus tertipu oleh trik memasak batu.

"Mereka mulai memberi tahu saya bahwa mereka tahu saya berbohong, tetapi saya tidak bisa melakukan apa-apa karena saya tidak punya apa pun."

Tetangganya kemudian datang untuk melihat apakah keluarganya baik-baik saja setelah mendengar anak-anak menangis, lapor NTV.

Sebagai bagian dari langkah-langkah untuk melindungi golongan rentan dari krisis Covid-19, pemerintah Kenya telah meluncurkan program pemberian makanan.

Peninah Bahati Kitsao janda 8 anak menempatkan batu di tungku agar kelihatan memasak oleh anak-anaknya. Ia berharap anak-anaknya tertidur saat menanti makanan-nya selesai dimasak.
Peninah Bahati Kitsao janda 8 anak menempatkan batu di tungku agar kelihatan memasak oleh anak-anaknya. Ia berharap anak-anaknya tertidur saat menanti makanan-nya selesai dimasak. (Caroline Mwawasi/Tuko via BBC)

Akan tetapi bantuan ini belum sampai ke tangan Kitsao, yang menjanda sejak tahun lalu ketika suaminya dibunuh oleh sekelompok geng.

Tetangganya juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah dan Palang Merah Kenya, yang ikut datang untuk membantu Kitsao.

Lebih banyak rumah tangga di lingkungan kota pesisir itu kini juga akan mendapat bantuan pangan, kata pihak berwenang.

Seperti banyak warga Kenya berpenghasilan rendah lainnya, Kitsao kesulitan mendapatkan penghasilan selama sebulan terakhir, sejak pemerintah memberlakukan aturan-aturan guna membatasi penyebaran virus corona.

Aturan-aturan itu di antaranya termasuk larangan bepergian ke dalam dan ke luar kota-kota besar, lapor wartawan BBC Basillioh Mutahi dari ibu kota Nairobi.

Banyak perusahaan telah mengurangi operasional mereka, atau telah menangguhkan semuanya.

Itu berarti pekerja dengan kontrak pendek atau pekerja kasar akan kehilangan pekerjaan utamanya.

Warga yang menjalankan bisnis kecil juga terkena dampak penerapan jam malam.

Kisah tragis Kitsao bertepatan dengan kabar Kementerian Kesehatan Kenya yang menghabiskan banyak uang hasil sumbangan Bank Dunia untuk menanggapi pandemi, untuk para stafnya.

Uang itu dipakai untuk membelanjakan teh, makanan ringan, dan biaya telepon seluler.

Rincian tentang berapa banyak staf yang disediakan bantuan itu tidak jelas, tetapi kadung memantik kemarahan di media sosial bahwa pemerintah telah membelanjakan dana itu saat warga Kenya terus menderita.

Negara di Afrika Timur ini hingga Jumat (1/5/2020) siang WIB telah mencatatkan 396 kasus Covid-19 dengan 17 korban meninggal dan 144 pasien sembuh, menurut data dari Worldometers.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Janda Kenya Memasak Batu untuk 8 Anaknya yang Kelaparan"

 

Ibu Memasak Batu di Cianjur

Sementara di Cianjur, kondisi itu sempat dilakukan oleh keluarga Anun Suherman (45) .

Saking miskinnya dan tidak memiliki apapun untuk dimasak, istri Anun terpaksa memasak sebongkah batu di dalam wajan supaya anak-anaknya yang kelaparan tidak merengek minta makan.

Di gubuk reyot inilah keluarga Anun tinggal selama 35 tahun di Kampung Bolenglang, Desa Sukasari, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur.
Di gubuk reyot inilah keluarga Anun tinggal selama 35 tahun di Kampung Bolenglang, Desa Sukasari, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur. (TRIBUNJABAR/DIAN NUGRAHA RAMADAN)

Hampir 35 tahun Anun tinggal di gubuk reyot berukuran 4x8 meter di Kampung Bolenglang, Desa Sukasari, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur.

Dari pernikahannya dengan Iyah Khodijah (30), kata Anun, mereka dikaruniai tujuh anak, yakni Diana Safitri (12), Dinda Marisa (10), Risma (9), Ai Lestari (7), Ratna (5), Risna (2), dan Dede Siti Nurazizah (2 bulan). Namun, Risma dan Ai Lestari sejak bayi sudah diambil oleh nenek mereka.

Menurut Anun, ibu kandungnya ingin ikut merawat kedua anaknya.

"Dua puluh tahun saya tinggal di gubuk itu, terus menikah. Kalau tinggal sama istri di rumah itu baru 15 tahun," ujar Anun yang sehari-hari menjadi buruh tani itu.

Tak ada pekerjaan lain yang bisa diandalkan oleh Anun selain "nengah" atau mengurus sawah milik orang lain.

Setiap tiga bulan, ujar Anun, sawah yang ia garap bisa menghasilkan 14 kuintal beras, dan Anun mendapat setengahnya.

Tujuh kuintal beras itu, kata Anun, tentu tak bisa mereka manfaatkan semuanya.

Separuhnya harus dijual, dan uangnya dipakai untuk keperluan menggarap sawah kembali.

"Pernah ketika itu sawah gagal panen dan saya benar-benar tidak punya beras. Anak-anak ribut ingin makan. Beruntung saya suka menanam singkong dan talas, istri kemudian merebus talas sebagai ganti beras. Tapi paling lama kondisi seperti itu berjalan dua hari. Setelah bekerja apa pun, saya pulang pasti bawa beras. Paling parah ya memasak talas itu, atau singkong atau jagung," ujar pria yang nyaris setiap malam memancing lele di kali untuk menambah penghasilan.

Bahkan ketika tidak ada makanan apapun yang bisa dimakan, istri Anun sempat memasak sebongkah batu untuk meredakan tangis dan rengekan anak-anak mereka yang kelaparan meminta makan.

Kondisi itu diketahui oleh Kapolres Cianjur, AKBP Asep Guntur Rahayu, dari rekannya sekitar akhir bulan September.

"Begitu saya dengar, saya bilang, keluarga Anun harus segera ditinjau. Berangkatlah kami, rombongan Polres ke rumah Anun. Begitu sampai di lokasi, benar rumah Anun tinggal dapur saja," ujar Kapolres di Mapolres Cianjur, Selasa (3/11).

Anun, kata Kapolres, tidak bisa mereka usulkan untuk menerima program bantuan rumah tinggal layak huni karena mereka tidak tinggal di tanahnya.

Kapolres pun kemudian mendatangi Kantor Badan Pertahanan Nasional (BPN) sambil berharap dapat menemukan jalan keluar.

"Di BPN itulah akhirnya kami ketahui bahwa pemilik tanah yang sebagian tanahnya digunakan Anun tuntuk tempat tinggalnya ternyata belum memiliki sertifikat tanah. BPN kemudian membuatkan sertifikat tanah itu secara gratis, namun dengan perjanjian, Anun mendapat hibah sedikit tanah dari tuan tanah itu. Pemilik tanah setuju dan memberikan Anun tanah seluas 72 meter persegi. Bersama Kepala Perumnas dan beberapa donatur, kami kemudian membangunkan rumah," ujarnya.

Rumah tersebut, ujarnya, rencananya baru akan selesai dalam 45 hari, namun baru 35 hari rumah itu ternyata sudah bisa ditempati.

Sesuai janjinya, Kapolres memyerahkan rumah tersebut kepada Anun dan keluarganya, Jumat (30/10).

"Kapolres bilang, saya tinggal isi rumah baru ini. Waktu peresmian juga langsung dikasih sertifikat rumah dan tanah ini," ujar Anun.

Sambil bersila di teras rumahnya yang baru, Anun yang mengenakan topi loreng dan kaus bertuliskan "pemburu" itu mengaku sangat bahagia setelah dia, istri dan keempat anaknya akhirnya bisa tinggal di rumah yang layak.

Di rumah yang baru, ujarnya, mereka tak lagi kedinginan dan tidur dalam keadaan basah jika hujan karena gentingnya yang bolong.

"Kami bertahan karena mau bagaimana lagi, hanya itu yang kami punya," kata Anun.

Rumah baru berukuran enam kali enam meter itu terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dan satu kamar mandi.

Sambil tersenyum, Anun bilang anak-anaknya yang belum bisa menjaga kebersihan.

"Ibunya terpaksa berulang kali mengepel lantai. Anak-anak terus saja lalu lalang dan loncat-loncat di dalam rumah," ujarnya.

Anun mengaku tak sedikit pun pernah menyangka akan bisa mendapatkan rumah baru yang selama ini bahkan memimpikannya pun tak berani.

Banyak pihak, ujarnya, mulai memberikan bantuan setelah sejumlah wartawan dari berbagai media massa mengangkat kisah hidup mereka tahun 2013.

"Ada yang ngirim beras, ada juga uang ngirim uang belanja," kata Anun.

Namun begitu, ujar Anun, tak pernah ia bayangkan bahwa salah seorang yang kemudian datang mengunjunginya ternyata benar-benar mewujudkan mimpinya memiliki rumah.

"Kapolres Cianjur datang ke gubuk saya dua bulan lalu. Saat iku Kapolres bilang akan berupaya agar kami dapat memiliki rumah," kata Anun. (Tribunjabar.id)

Sedih! Sang Istri Terpaksa Memasak Batu Agar Anak-anak Tidak Menangis Minta Makan

 

Kisah Umar Bin Khattab dan Ibu yang Memasak Batu

Berikut ini kisah Umar bin Khattab, sosok kepala negara yang sangat peduli kepada warganya.

Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat getol membela umat Islam dari gangguan para kafir Quraisy.

Ilustrasi: kisah Umar bin Khattab dan ibu yang memasak batu
Ilustrasi: kisah Umar bin Khattab dan ibu yang memasak batu (google.com via TribunJateng.com)

Dia menjadi khalifah kedua umat Islam menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq yang meninggal karena sakit.

Umar bin Khattab menjadi khalifah dari tahun 634 sampai 644 Masehi.

Ia juga merupakan ayah dari Hafshah, istri Nabi Muhammad.

Umar memiliki julukan Al Faruq, artinya orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.

Julukan Umar Al Faruq ia dapat langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Ada sebuah kisah teladan mengenai Umar sebagai khalifah yang patut ditiru para pemimpin era kini.

Ketika itu, Tanah Arab sedang dilandada paceklik atau dikenal sebagai Tahun Abu.

Musim kemarau panjang yang membuat tanah-tanah di Arab menjadi tandus.

Suatu sore, Khalifah Umar mengajak sahabatnya Aslam blusukan ke kampung terpencil di sekitar Madinah.

Di dekat sebuah gubuk reot, langkah Umar terhenti.

Ia mendengar tangisan seorang gadis kecil.

Karena penasaran, Umar pun mengajak Aslam mendekati gubuk lusuh itu memastikan keberadaan penghuninya.

Khalifah Umar berpikir mungkin penghuni gubuk itu membutuhkan bantuan.

Umar pun sampai.

Di dalam gubuk, seorang perempuan dewasa sedang duduk di depan perapian.

Perempuan itu terlihat sedang mengaduk-aduk bejana.

Setelah mengucapkan salam, Umar meminta izin untuk mendekat.

Khalifah Umar bertanya, "Siapa yang menangis di dalam?"

"Anakku," jawab perempuan itu agak ketus.

"Kenapa anak-anakmu menangis? Apa dia sakit?" tanya Umar.

"Tidak, mereka lapar," jawab perempuan itu.

Seketika Umar dan Aslan tertegun.

Keduanya masih duduk di tempatnya cukup lama.

Sementara gadis di dalam gubuk masih saja menangis.

Dalam keadaan seperti itu, perempuan yang menjadi ibunya terus saja mengaduk bejana.

"Apa yang kau masak? Mengapa tidak juga matang masakanmu?" tanya Umar penasaran.

"Kau lihatlah sendiri!" jawab perempuan itu.

"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan terkaget.

"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum," kata perempuan itu.

"Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar dia bangun dan menangis minta makan," ucap perempuan itu.

"Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya," lanjut perempuan itu.

Perempuan itu tidak tahu jika yang dihadapannya adalah Khalifah Umar.

Mendengar semua itu, Aslam sempat hendak menegur tetapi dicegah oleh Umar.

Umar lantas menitikkan air mata.

Ia segera bangkit lalu mengajak Aslam kembali ke Madinah.

Sampai di Madinah, Umar segera pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum.

Umar langsung mengangkut karung gandum tersebut di pinggangnya.

"Wahai amirul mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu," kata Aslam mencegah Umar.

Wajah Umar marah padam.

"Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau mau memikul beban di pundakku ini di Hari Pembalasan kelak?" kata Umar dengan nada tinggi.

Aslam tertunduk mendengar perkataan Khalifah Umar.

Sembari terseok-seok, Khalifah Umar mengangkat karung itu dan diantarkan ke gubuk tempat tinggal perempuan itu.

Sesampai di sana, Umar meminta Aslam membantunya menyiapkan makanan.

Umar sendiri yang memasak makanannya.

Setelah matang, Umar segera mengajak keluarga miskin tersebut makan.

Melihat mereka bisa makan, Umar pun merasa tenang.

Umar kemudian pamit.

Ia meminta perempuan itu esoknya menemui Khalifah Umar di kediamannya.

"Berkatalah yang baik-baik. Besok temuilah amirul mukminin dan kau bisa temui aku juga di sana. Insya Allah dia akan mencukupimu," kata Umar sebelum pergi.

Keesokan harinya, perempuan itu pergi menemui Khalifah Umar bin Khattab.

Perempuan itu kaget.

Sebab sosok amirul mukminin yang kemarin telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya.

"Aku mohon maaf. Aku telah menyumpahi dengan kata-kata dzalim kepada engkau. Aku siap dihukum," kata perempuan itu.

"Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan seorang ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan ini di hadapan Allah? Maafkan aku, ibu," kata Khalifah Umar.

Begitulah kisah Umar bin Khattab yang takut masuk neraka karena menelantarkan rakyatnya.

Ia begitu sedih karena ternyata ada rakyatnya di daerah terpencil yang tidak sejahtera.

Ia pun takut apabila di hadapan Allah ia dinyatakan tidak adil.

Hingga Umar memutuskan sendiri mengangkat sekarung gandung sebagai rasa bersalahnya.

Demikian kisah Umar bin Khattab, sosok pemimpin yang mempunya kepedulian yang sangat besar kepada rakyatnya. (tribunjateng/fajar bahruddin achmad)

 Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Kisah Umar Bin Khattab dan Ibu yang Memasak Batu, Blusukan Khalifah Umar di Tahun Abu

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved