Peneliti Unisba Raih Paten Pertama dari Dirjen DJKI
Penelitian dari tim peneliti dosen Unisba meraih Paten pertama bagi Unisba setelah memperoleh Sertifikat dan Dokumen Paten

“Saat ini hasil dari Coaching Clinic Paten yang sedang diajukan baik untuk Paten biasa maupun Paten sederhana sudah jauh meningkat dibandingkan sebelumnya,” jelasnya.
Selain itu, LPPM Unisba juga turut serta memfasilitasi semua supporting elemen untuk peneliti, mulai dari sosialisasi pendampingan dan pendaftaran paten termasuk biaya-biayanya.
Pentingnya Paten bagi Peneliti dan Lembaga
Pada kesempatan tersebut, Tatty juga menjelaskan, bahwa Paten adalah kekayaan yang tidak berwujud yang bisa memberikan manfaat ekonomi.
Selain itu, Paten juga merupakan hak khusus yang diberikan negara kepada inventor atas invensinya untuk selama waktu tertentu (20 tahun) secara monopoli mengelola hak nya baik oleh sendiri atau mengijinkan orang lain untuk melaksanakannya.
Paten juga, lanjutnya, berharganya seperti artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal yang terindex scopus. “Bedanya, artikel/tulisan yang dipublikasi tentang hasil penelitian, sedangkan paten, penelitiannya menghasilkan produk atau proses baru dibidang teknologi,” jelasnya.
Merujuk hal tersebut, maka bagi Lembaga, Paten memiliki nilai 35 % dari seluruh penilaian dalam akresiditasi dan pemeringkatan Perguruan Tinggi. Sementara bagi dosen yang penelitiannya memperoleh Paten, dapat memberikan manfaat sebagai pemegang Paten untuk produk atau proses yang dihasilkannya dan dapat diajukan untuk meningkatkan Jabatan Fungsinal (Jafung).
Disamping itu, Paten juga memberikan manfaat ekonomi karena peneliti secara eksklusif memproduksi sendiri atau mengijinkan pihak lain memproduksinya dengan imbalan royalti, bisa dijual dan bisa disewakan hak nya.

Seorang peneliti jika ingin mendapatkan paten, lanjutnya, harus inovatif. “Penelitiannya harus mengajukan ide baru tentang penyelesaian masalah dibidang teknologi yang “something new sometihng better”. Jangan melakukan penelitian yang peneliti lain sudah lakukan,” ungkapnya.
Selain itu, idea dosen juga harus memiliki nilai Kebaruan (novelty), mengandung langkah maju dibidang teknologi yang diteliti (inventive step) dan bisa diproduksi oleh dunia industri (industrial applicable).
Berbagai kendala, tambahnya, tentu akan dihadapi oleh peneliti dalam mengajukan Paten.
“Biasanya, kendala yang dihadapi adalah ketika peneliti merencanakan penelitian, sering menduplikasi yang sudah ada. Padahal meskipun terbuka, penelitian yang bermaksud untuk mengembangkan produk atau proses yang sudah ada tapi ya itu tadi harus memenuhi tiga unsur paten di atas. Caranya harus melakukan dulu “searching patent” sebelum mengajukan proposal, yaitu menelusuri prior of art (yang sudah lebih dulu) jadi penelitian yang diajukan wajib memilik sesuatu kebaruan kalau disandingkan dengan peneliti-peneliti lain,” katanya.
Tatty menambahkan, para peneliti juga harus menyadari bahwa hasil penelitiannya dalam pemecahan masalah dan kebaruan produk atau prosesnya harus bersifat rahasia dan tidak boleh diungkapkan kecuali dalam forum - forum resmi.
“Jadi sebaiknya tidak diungkapkan sebelum didaftarkan permohonan Paten nya. Peneliti yang tergesa-gesa melakukan publikasi atas hasil penelitiannya, kadang tidak sadar dia sudah mengungkapkan kepada publik dan ini berakibat penelitiannya sudah tidak baru lagi dan bisa jadi orang lain akan melakukan sedikit modifikasi dan lebih dulu mendaftarkan paten atas namanya. Peneliti juga perlu tahu mau memilih antara publikasi di jurnal atau didaftarkan patennya lebih dulu supaya masih terjaga unsur kebaruan dan yang paling dulu daftar.” paparnya.
Untuk mendapatkan Paten, Tatty mengatakan, maka berlaku sistem pendaftaran yang first to file yang artinya paten diberikan kepada mereka yang pertama kali mengajukan permohonan jadi adu cepat dengan peneliti lain. Permohonan diajukan kepada DJKI Kemenkumham RI, untuk diperiksa baik syarat formal maupun syarat substantif, Masa yang diperlukan minimal 36 bulan.