Malagnya Siswi SMPN 40 Makassar Ini, Putus Sekolah Gara-gara Tak Sanggup Beli Batik Seharga 1 Juta
Seorang siswi SMP ini harus putus sekolah lantaran tak sanggup membeli batik yang seharga 1 juta rupiah, begini nasibnya.
Seorang siswi SMP ini harus putus sekolah lantaran tak sanggup membeli batik yang seharga 1 juta rupiah, begini nasibnya
TRIBUNJABAR.ID - Malang niang nasib Rini Ayu Lestari (15).
Siswi kelas satu SMP Negeri 40 Makassar itu, terpaksa putus sekolah lantaran tidak sanggup membayar seragam.
Seragam yang diadakan pihak sekolah itu berupa batik, baju olahraga, dan beberapa item perlengkapan lainnya yang dipaketkan.
Harganya Rp 1,1 juta per siswa.
Ditemui di rumahnya, Jl Taman Gosyen II, Makassar, Minggu (27/10/2019) sore, Rini sapaan Rini Ayu Lestari tampak asik bermain dengan adik bungsunya yang masih berumur delapan bulan.
• Kisah Sedih Pekerja Migran Asal Cianjur di Arab Saudi, Wajah Berdarah dan 5 Tahun Gaji Belum Dibayar
Juga terlihat ibunya, Daeng Ti'no (38).
Sang ayah, Muhlis (39), sibuk menyambung selang pipa bekas.
Saat dihampiri di teras rumahnya, Rini bercerita, awal mula ia memilih tidak lagi menginjakkan kaki ketika diminta pulang oleh seorang guru.
Penyebabnya, Rini mengenakan seragam batik sekolah dasar. Berbeda dengan seragam batik yang diadakan pihak sekolah.
"Itu hari saya pakai batik'ji juga. Tapi batik waktuku SD, karena belumpi ada uangnya mamaku beli batik sekolah (SMP Negeri 40). Jadi disuruhka pulang sama guru, tapi tidak lansung'ja pulang itu hari," ungkap Rini.
Seragam batik di SMP Negeri 40 digunakan pada hari Rabu dan Kamis.
Pasca mengalami 'pengusiran itu', pekan selanjutnya, Rini memilih tidak menginjakkan kaki di sekolah pada hari Rabu dan Kamis.
Lambat laun, ia pun memilih tidak lagi melanjutkan pendidikanya.
• Ada Putra Sulung Veronica Tan di Acara 7 Bulanan Puput Nastiti Devi, Sean Ucapkan Ini kepada Ahok
Terlebih, ia mengaku kerap dipukul oleh seorang siswi se-kelasnya.
"Tidak lansung'ja berhenti itu hari, sempat'ja lagi ke sekolah, tapi bukan hari Rabu sama Kamis. Tapi ada juga temanku sering pukuli pertuku kalau lewatka di dekatnya, jadi tidak mauma pergi sekolah," ujarnya.
Rini pun menghabiskan hari-harinya dengan menjadi pengasuh adik bungsunya yang baru berusia delapan bulan.
Memasuki sebulah tidak menginjakkan kaki di sekolah, pihak sekolah yang diwakili guru BK kelas satu, Diah, menyambangi Rini di rumahnya.
Sang guru menanyakan alasan Rini tidak lagi ke sekolah.
Sang ibu (Dg Ti'no) yang menemui ibu Diah, pun menjelaskan alasan putri sulungnya tidak lagi menginjakkan kaki di sekolah.
"Jumat lalu kalau tidak salah guru B-Knya (Ibu Diah) datang kesini, dia tanyaka kenapa Rini tidak pergi sekolah. Jadi saya bilangmi, belumpika sanggu bayar seragamnya yang Rp 800 ribu, tapi gurunya bilang suruh'mi datang bisaji itu dikomunikasikan," terang Daeng Ti'no.
Rini pun dibujuk untuk kembali melanjutkan sekolahnya. Namun bocah 15 tahun itu kukuh tidak menginjakkan kaki di sekolah.
• Runutan Peristiwa Lahirnya Sumpah Pemuda, Diawali Munculnya Organisasi Pemuda hingga Jadi Pergerakan
Alasannya, tidak ingin membebani kedua orang tuanya yang dalam kondisi kesulitan ekonomi.
"Dibujuk'ji itu hari sama gurunya ini Rini, bilang ke sekolahmi lagi. Tapi, ini anak (Rini) nabilang ke saya janganmi dulu mama, kalau tidak ada uangta, malu-maluka juga. Jadi saya bilangmi, iya pale nak, adapi uangku lagi baru lanjutko," ungkap Daeng Ti'no.
Senada yang diungkapkan Daeng Ti'no, Diah guru BK Rini di SMPN 40 menuturkan, pihaknya masih membuka ruang agar Rini dapat kembali melanjutkan pendidikannya.
"Sudah saya tanya mamanya (Daeng Ti'no) itu hari, bilangka suruhmi kembali sekolah anak'ta, kalau masalah pembayarannya itu bisaji dikomukasikan sama koperasi, bisa'ji dibayar sedikit-sedikit," kata Diah.
Daeng Ti'no mengaku pasrah atas kondisi yang dialami. Ia yang keserhariannya hanyalah seorang buruh cuci pakaian mengaku tidak dapat berbuat banyak.
"Mau'mi diapa, karena tidak ada sekalimi juga uangku lunasi seragamnya yang maaih ada Rp 800 ribu, karena baru Rp 300 ribu bisa kubayar itu hari waktu pertama-pertama masuk," kata Daeng Ti'no.
Upah menjadi buruh cuci di komplek Perumahan Taman Gosyen Indah sebesar Rp 500 ribu per bulan, kata Daeng Ti'no hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari.
• Vina Garut Sakit, Begini Kondisinya Setelah Video Panas Lawan 3 Pria Viral dan Mantan Meninggal
Terlebih kondisi suaminya Muhlis, yang sudah tiga pekan tidak keluar rumah lantaran tidak mendapat ajakan menjadi buruh bangunan.
"Tiga Minggu'ma ini tidak keluar-keluar, tidak ada panggilan. Kalau ada panggilan biasaja dapat Rp 85 ribu per hari," ujar Muhlis.
Kondisi yang dialami Muhlis dan Daeng Ti'no serta putrinya Rini kian pelik.
Dua pekan pekan lalu, ia baru saja memindahkan rumahnya lantaran diminta pindah oleh sang pemilik lahan.
"Ini barupa dua minggu pindah rumah kasihan, karena nasuruhki pindah punyanya lahan kesini. Ini lahan yang sekarang juga bukanji lahanku, tapi sudahka minta sama pemiliknya bilang selesaipi sekolahnya anakku baru pindahka lagi," ujarnya yang sudah 12 tahun terakhir menempati lahan orang lain.
Sebelum pamit kepada keluarga asal Jeneponto ini, awak tribun kembali menghampiri Rini menanyakan hasratnya untuk kembali melanjutkan sekolah.
Ia mengaku masih sangat ingin melanjutkan pendidikannya. Namun apalah daya, kondisi keluarga yang kurang mampu membuatnya hanya bisa pasrah.
"Iye, masih mauja sekolah kak. Tapi adapi uangnya mamaku kodong, malu-maluka juga kalau ke sekolah baru belumpi nabayar uang bajuku," tutur Rini sambil menunduk.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/siswi-putus-sekolah.jpg)